Sunday, January 31, 2010

Telaga Senja (220-HABIS)

=====================
Selama acara berjalan Magda menunjukkan dirinya sebagai boru ni “raja”, santun dan menghormatiku sebagai suami meski baru saja dia menghajarku. Hatiku pun lega ketika Magda tertawa; Dia merasa geli, saat disuruh mengenakan kain sarung yang diberikan ibuku. “ Pap, mama sudah pantas jadi mamak-mamak iya..!”
======================

ESOK hari setelah pulang dari gereja, kami kembali ke Medan diantar oleh linangan airmata ibu. Keduanya, Magda dan ibu dalam waktu singkat telah terjalin hubungan batin sebagai orangtua terhadap anak. “ Anju ma ripem i inang.” ( Sabarlah terhadap suamimu inang, pen) pesan ibuku saat kami akan meninggalkan seluruh keluargaku. “ Manja benar mama ke ibuku,” ujarku dalam perjanan pulang. “ Tak seberapalah dibandingkan mami memanjakan papa, bahkan berlebihan.” balasnya seraya menjewer kupingku.

“ Pap, sebelum ke rumah di kebun, kita mampir sebentar ke rumah. Mama kangen kepada mami.”
“ Kita belum bisa menemui mami. Jangan berulang melakukan pelanggaran adat. Ayah kan sudah mengingatkan.?”
“ Ya. Tetapi tadi malam sehabis doa syukuran, inang bilang, boleh. Asal jangan dilihat orang lain. Ntar sebelum kesana, kita tanyakan Rina lewat telepon, memastikan bahwa tidak seorangpun famili lain berada di rumah.”

Aku menyerah , setelah Magda dengan segala bujuk mempengaruhiku agar bersedia mampir di rumah menemui maminya, mertuaku. Setengah jam mendekati rumah, sekitar pukul 22:00 Magda menelepon Rina. Magda berjalan buru-buru ke mobil, “ Pap, mami ada. Nggak ada orang lain di rumah. Ayo kita kesana sekarang juga pap,” desaknya. Magda buru-buru memacu mobil menuju ke rumah. Tanpa di sadarinya, Magda memarkirkan mobil di depan rumah. “ Magda, kita parkir di luar sana!” seruku. Magda tak perduli, dia tak sabaran dan menyeretku dari mobil.
“ Cepatan pap, ntar ada orang yang lihat.!”

Mami Magda kaget melihat kedatangan kami malam itu. Kebetulan mami belum tidur. Magda meninggalkanku di depan pintu; dia langsung “menyergap” mami diiringi teriakan,” Mamiiii..!” Keduanya berangkulan, lama. Mami mengelus wajahnya, “ Sehat kau inang? Mana Tan Zung? tanya mami, suaranya serak.

“ Ada mam.!” jawab Magda sembari melepaskan pelukannya.
“ Papa....kesini pap.” teriak Magda memanggilku, tanpa mereka sadari aku berdiri di belakang mereka. Mami memelukku erat.
"Sehat kau amang?” tanyanya masih dengan linangan airmata. Mami menggiring kami masuk ke kamarnya.

“ Kemana saja kalian selama ini?”
“ Mami cariin kami.?”
“ Ya nggak lagi. Mami sudah tahu dari adikmu Jontahn dan Rina. Tetapi mereka nggak pernah beritahu dimana kalian.”
“ Kami berpindah-pindah tempat. Kami seperti orang buronan mam,” ucap Magda sesugukan dipelukan maminya.
“ Mami dan Jonathan nggak bisa berbuat apa-apa. om mu si kapten dan om Robert bersikeras melarang rencana pernikahan kalian.”
“ Kami sudah menikah dicatatan sipil mam,” potong Magda.
“Iya, mami sudah tahu. Tetapi mereka masih terus mencari tahu keberadaanmu.”
“ Kenapa mami nggak marahin mereka.!” sentak Magda. Mami terdiam.

Lagi mami sesugukan,” Mami nggak bisa berbuat-apa-apa inang. Seandainya papi masih hidup, kalian nggak bakalan tersiksa seperti ini.” Magda berteriak histeris didalam pelukan maminya memanggil almarhum papinya. Ratapan ibu dan putri keturunan batak ini “menghunus” amarahku terhadap om si kapten dan om Robert. “ Manusia bebal,” ucapku dalam hati. Aku dan mami kewalahan menghentikan tangisan Magda memangil-manggil papinya.

" Papi, aku sudah menikah dengan abang Tan Zung..., papi...kami dikejar-kejar seperti manusia penjahat," ratapnya. Cukup lama aku membujuk Magda untuk menghentikan ratapannya. " Mami, kami harus bagaimana?" tanya Magda diakhir isakannya.

“ Magda, mami usulkan untuk sementara ini, pergilah kalian jauh-jauh. Mereka terus mencari. Mereka sudah tahu alamat di kebun itu.”
“ Tetapi mami setuju pernikahan kami?”
“ Setuju nggak setuju, kalian telah melangsungkan .”

“ Mami kok nggak bikin beras di kepala kami?” Pertanyaan lugu ini mengundang haru dan tangisan maminya. “ Iya inang, sebentar ,” jawab maminya sesugukan, lalu meninggalkan kami di kamar. Sejenak kemudian bersama Rina masuk ke kamar. Mami memberi kami sipir ni tondi seperti dilakukan ayahku dikampung, disaksikan Rina.

“ Meski papi sudah tiada, anggaplah dia ada bersama mami memberi kalian sipir ni tondi,” ucapnya diiringi airmata. Seusai menaruh sipir ni tondi, Magda dan mami berangkulan, Magda terus sesugukan.
“ Mami, kami juga telah diberi sipir ni tondi di kampung.” ucap Magda lirih.
“ Kapan kalian ke kampung,?” tanya mami heran.
“ Kami baru pulang dari sana mam.” jawab Magda.

“ Zung jaga adikmu ini bailk-baik. Kamu sudah tahu tabiat Magda. Juga kamu inang, jangan terlalu manja. Ingat inang, kamu bukan lagi sendiri. Mami akan cepat mati kalau mendengar kalian ribut. Tidak usah berkecil hati walau perjalanan hidup kalian seperti ini. Anakku Tan Zung dan boruku ( putri, pen)Magda, tidak boleh dendam kepada siapapun, termasuk kepada kedua om mu yang mencoba merintangi pernikahan kalian. Doa mami mengiringimu inang dan hela ku (mantu,pen)

Naung dua gabe sada hamu boru tu helahi. Tung burju-burju hamu marnatua-tua i. Borhat maho boru rap hon tangiangki. Tubuan laklak tubuan sikkoru. Tubuan anak hamu tubuan boru. Na sangap jala na martua, di jolonta nang di jolo ni Tuhan. Gabe ma ho boru gabe ma ho boru raphon helahi. ( H A B I S)

Los Angeles. Sunday, January 31, 2010
Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Telaga Senja (219)

====================
Jadi maksud papa, hanya ayah dan ibu yang melahirkan dan membesarkan, orang tua? Tulang bukan orangtuamu? Mamiku juga bukan orangtua papa?”
“ Lho kenapa mami diikut-ikutkan.?”
“ Papa jawab! Apakah mamiku orangtua papa juga.?”

====================
Aku di skak habis oleh Magda yang belum lama kunikahi. Tak menyangka kalau dia berpikir sejauh itu. Ucapanku menjerat leherku sendiri. Magda yang selama ini kuanggap tak tahu apa-apa tentang tatakrama kekerabatan, karena lahir dan di besarkan di kota, salah. Meski awalnya ibuku melarang pernikahan kami, namun aku yakin, ada alasan khusus sehingga akhirnya ibu dapat menyetujuinya. Salah satu alasan adalah, setelah melihat dan merasakan kebaikan serta kelembutan hati Magda saat datang bersama ke Jakarta melawatku kala opname di rumah sakit. Selain itu, Magda sangat santun jika berbicara kepada kedua orangtuaku. Kesabarannya, meski kadang beringas, melumpuhkan kekerasan hatiku. Mawar dan Rina berunglangkali memuji kesabaran Magda atasku. " Dia pantas menjadi soripada bang ( isteri, pen)" puji Lam Hot adikku satu ketika di Jakarta.

“ Papa belum menjawab pertanyaanku. Apakah mamiku, orangtua papa juga.?"
" Ya iya lah. Mamimu orangtuaku juga, sebab dia mertuaku!” jawabku enteng, tanpa beban. Walaupun aku telah menjawab, Magda tetap merasa tak puas.
“ Papa! Aku serius. Mama nggak suka mendengar cara papa menjawab inang. Ingat pap. Papa bukan sendiri lagi. Pikirkan juga mama. Mama sangat menyesal dan malu terhadap inang. Tahu begini, papa masih menyimpan dendam, mama tidak akan mau datang kesini.”
“ Mam, kenapa kita jadi ribut?”
“ Karena aku isteri papa. Sadar nggak kalau mama sudah bagian dari keluarga papa.”

“ Ya...ya. Pergilah, temanin ibu. Kalau mau undang tulang silahkan. Tetapi jangan marah kalau aku tetap esketean( tak mau bicara, pen) dengan tulang.”
“ Pap..! Kenapa masih berkeras hati, padahal dia tulang kandungmu, saudara kandung inang? Papa tidak bersyukur atas kebaikan amang dan inang menyambut kehadiran mama meski sebelumnya mereka menolak pernikahan kita? Jika papa masih bersikeras, mama tidak akan keluar dari kamar ini. Biar papa sendiri menghadapi undangan itu,” ancamnya.

“ Mam, aku hanya marah kepada tulang, bukan kepada famili lainnya?Kenapa mereka jadi ikut dikorbankan?”
“ Karena papa tidak sedikitpun mau mengorbankan perasaan meski secuil. Papa, sungguh mama kecewa,” ujarnya menumpahkan rasa kesal seraya merebahkan tubuhnya ke atas tempat tidur.

Pertengkaran berakhir ketika ibuku memanggil Magda. “ Magda, sudah siap kamu inang?” Magda diam tak menjawab. Segera aku menghampirinya,” Mam, pergilah bersama ibu. Panggillah tulang dan nantulang serta semua anak-anaknya. Janji, papa nggak akan marah,” ucapku pelan. Lagi, ibu memanggil Magda, “ Ayo lah inang sebelum kita kesiangan.”
“ Ya. Sebentar inang,” jawabnya dari kamar. Dia bergegas tak memperdulikan ucapanku.

Magda dapat secara cepat menyesuaikan diri dengan ibuku, mertuanya. Magda menghardiku ketika aku minta ikut. ” Abang nggak usah ikut. Ntar ribut lagi dengan tulang. Abang bantuin masak ibu-ibu itu,” ujarnya. Ibuku ketawa mendengar perintah Magda. Sekembalinya dari perjalanan mengundang famili dekat dan tetangga, Magda melihatku sedang nongkrong di kedai tuak tidak jauh dari rumah. Buru-buru aku pulang kerumah sebelum dia menjemputku.

Belakangan ini, Magda sudah mulai menunjukkan dirinya sebagai isteri, peduli pada suami, apalagi jika bersentuhan dengan minuman keras. Dan memnag, ini pula persyaratan utama yang Magda ajukan sebelum menikah. Telah kuteken mati pula, tanda setuju. Tiba di rumah, Magda langsung menyongsongku ke teras rumah dengan mata melotot.

“ Papa ngapain disana? Pagi-pagi begini papa minum tuak?” tanyanya geram.
“ Nggak. Papa cuma nongkrong, bertemu dengan teman-teman lama. “
“ Oh...iya? Gelas orang lain di depan hidung papa? Begitu caranya minum tuak di kampung iya?” sindirnya.

“ Mam suaranya jangan terlalu keras, papa malu jika mereka mendengar mama marah-marah.”
“ Papa tahu malu juga? Kok papa tega membiarkan mereka sibuk menyiapkan masakan , sementara papa berleha-leha dengan teman-teman minum tuak?”suaranya semakin keras seraya berbalik meninggalkanku. Bah! Magda sudah berani marah-marah di hadapan kedua orangtuaku. Ibu dan ayahku tersenyum simpul pula melihat kegalakan menantunya.

Ibu mengajak Magda ke dapur menemui ibu-ibu yang sedang memasak. Aku melangkah masuk kamar. Magda mengangguk lalugeleng-geleng kepala mendengar serius pembicaraan ibu. Seusai mendengar pembicaraan ibu, Magda menemuiku ke kamar. Dia menatapku dengan wajah geram.

“ Menurut inang, mereka setiap hari nongkrong disana hingga larut malam, tak peduli kepada isteri dan anaknya. Papa mau seperti mereka? “
“ Mam, tadi hanya minum setengah gelas, itupun sekedar menghargai mereka, ” ujarku mengaku jujur.
“ Menghargai mereka? Tetapi papa tidak menghargai diri sendiri. Juga tidak menghargai mama karena dikampung papa. Begitu!?"
“ Kali terakhir, papa mohon ampun. Nggak akan terulang lagi,” janjiku.

Magda dapat mengampuni secara tulus atas pelanggaran ringan yang aku lakukan. Selama acara berjalan Magda menunjukkan dirinya sebagai boru ni “raja”, santun dan menghormatiku sebagai suami meski baru saja dia menghajarku. Hatiku pun lega ketika Magda tertawa; Dia merasa geli, saat disuruh mengenakan kain sarung yang diberikan ibuku. “ Pap, mama sudah pantas jadi mamak-mamak iya..!”(Bersambung)

Los Angeles. Sunday, January 31, 2010

Tan Zung

"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/