Wednesday, April 22, 2009

Telaga Senja (17)



http://www.youtube.com/watch?v=ohdHhTfI2Go

Zung, sudah ya, telephon aku setelah terima surat ini, agar aku dapat tidur.
Peluk ciumku ; Magdalena Elisabeth yang pernah menyangimu.

SURAT berisi kenangan masa lalu kubaca berulang, isinya menukil kenangan manis. Aku ingin segera menelephon dia, namun hati mendua mengingat pertengakaran kami terakhir ketika aku habis main judi dan mabuk berat. Tubuh terbaring lesu diatas tempat tidur, tercenung, sukar memutuskan apakah aku menghubunginya sesuai permintaan diakhir tulisannya.

Ibu kost memanggilku dari balik pintu kamar.” Zung kamu ketiduran? Ibu dari tadi mengetuk kamarmu tidak ada jawaban. Kenapa wajahmu kusut. Ribut dengan pacar,?” tanyanya, ketika aku membuka pintu kamarku, lantas memberitahu kalau Rina baru saja menelefonku. Ditengah galaunya hati, aku menghubungi Rina ingin tahu untuk apalagi dia menelefonku.
“ Hot, tadi Rina telephon aku, tolong panggilkan dia,” pintaku kepadanya ketika dia mengangkat gagang telefon.
“ Kebetulan bang. Cuma mengingatkan: Kalau ngomong jangan ketus-ketus seperti tadi sore apalagi kepada perempuan."
" Rina marah?"
" Nggak, cuma sedkit kesal. Tetapi Rina sudah maklum kok gaya abang bicara. Sebentar bang, aku panggilkan kak Rina.”

Heh..mas masih mau telefon aku iya!?”
“ Rina, jangan panggil heh...Bagi orang Sumatera, itu tak sopan.”
Duh...mas kok jadi sensitif setelah baca surat isteri..eh..pacar. ?”
“ Tadi Rina menelefonku? Ada yang perlu?”
“ Ya. Aku minta maaf kejadian tadi sore. Nanti jadi kan kita makan malam bareng.?”
“ Nggak. Kepalaku pusing, nggak punya selera makan.”
Lho, tadi mas janji mau makan malam dengan aku dan adik Lam Hot?”
“Rina! Janji nikah pun dapat batal, apalagi hanya janji makan ,” ujarku ketawa.
“Mas, nggak lucu,” balasnya. Rina meletakkan gagang telefon mengakiri pembicaraan kami.
***
Aku minta tolong kepada ibu kost untuk menghubungi Magdalena. Ibu kos heran: “ Mau bicara dengan pacar harus pakai orang ketiga.?”
“ Bu, tolong bilangin aku sedang sakit."
“ Nggak ah, ibu nggak mau bohong,” tolaknya.
“ Benar ibu, aku lagi sakit. Kepalaku pusing.”
Ibu kos mengalah, dia memutar nomor telefon yang ku berikan. “ Magdalena? Iya ini ibu tempat tingganya nak Tan Zung; Dia mau bicara. Dia sedang sakit.”

“ Zung, benar sakit? Sakit apa? Tadi malam mabuk lagi.?” tanyanya diujung telefon.
“ Nggak! Magdalena, aku minta maaf kejadian beberapa minggu lalu. Aku tidak bisa mengendalikan diriku saat itu. Magdalena sehat? Suratmu baru aku terima siang ini. Surat itu terlambat aku terima karena di alamat tidak tercantum RT/RW. Aku menelephon karena diakhir surat, Magda minta aku segera menghubungi setelah membacanya.”

“Mengapa ibu itu yang duluan menenlephon aku, kenapa bukan abang langsung.?”
“ Aku masih trauma kejadian lalu ketika Magda marah dan menutup telefon setiap mendengar suaraku.”
“ Makanya abang jangan keras kepala.”
“ Ya, nggak lagi. itu makanya aku telephon kamu malam ini. Magda aku rindu.”
“ Abang telefon aku, karena rindu atau karena sakit?”
“ Kedua-duanya. Magda masih marah?”
“ Masih! Abang nggak pernah mau dengar omonganku.”

“ Aku selalu dengar, cuma sering lupa.”
“ Bang, lagi minum iya.?”
“ Nggak. Aku hanya bercanda. Magda jangan marah-marah terus.!”
“ Aku marah karena aku kasihan pada abang.”
“ Karena kasihan atau karena kasih.”
“ Terserah yang mana. Abang jugul!”
***
“ Magda, aku sudah pindah dari tempat adikku setelah bekerja. Kemarin aku gajian tetapi semua gajiku raib, aku kecopetan. Itu sebabnya kepalaku pusing.”
“ Abang sudah kerja? Kok nggak beri tahu aku.?”
“Dua minggu lalu aku menelefonmu. Tetapi ketika mendengar suaraku, langsung kamu tutup.”
“ Aku kesal, abang tak mau berubah, padahal dulu sudah janji nggak mau mabu-mabukan lagi. Main sama perempuan lagi, huh...”
“ Dia bukan perempuan nakal. Untung ada dia menuntunku masuk ke kamar.”
“ Apakah abang masih dapat dipercaya.?”
“ Aku masih seperti yang Magda kenal, jujur dan setia.”
“ Jujur ? Setia kepada siapa?. Belum lama di Jakarta sudah jalang dengan perempuan lain.”

“ Itu hanya kebetulan, dia perempuan baik. Buktinya malam itu dia mau bantuin aku telefon kamu.”
Halah..abang selalu punya alasan. Abang masih punya uang? Berapa aku mau kirim?” tanyanya prihatin.
“ Nggak usah. Aku masih ada uang sisa dari Medan.”
“ Abang selalu menolak, kalau aku mau memberi sesuatu.”
“ Magda, nantilah aku terima kalau kamu sudah kerja.”
“ Aku sudah bekerja sejak dua minggu lalu bang. ”
“ Tetapi kamu belum gajian. "

“ Zung, aku masih punya tabungan. Berapa aku kirim untuk bayar kosmu,? desaknya. Abang nggak pernah mau terima pemberianku, tetapi pemberian Susan abang terima.”
“ Ya... iya, kirimkanlah,” jawabku setelah dia menyebut nama Susan-- mengingatkanku isi suratnya-- lantas aku menyebutkan jumlah pembayaran kosku. Di akhir percakapan Magda mengingatkanku, agar tidak teler, jangan main judi dan main perempuan lagi.
" Nggak lagi, aku janji. Kecuali kepepet," godaku.
" Banggggg!!!!!" teriaknya diujung telefhon. (Bersambung)
Los Angeles. April 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/