Saturday, August 15, 2009

Telaga Senja (101)

=====================
“ Nggak ada orang menjagaimu di rumah sakit selama dua malam itu.!?”
“ Ya...ada mas..!”
“ Ah..kok malah berbelit. Tadi bilang nggak ada. Sekarang ada. Siapa dia?”
“ Malaikat mas.!”
=======================
Tudinganku kepada Laura ditanggapi enteng, meski awalnya dia merasa difitnah, bahkan dia berani bermain kata ketika dia menjawab ” Malaikat ” saat kutanyakan siapa menemaninya selama dua malam di rumah sakit. Senyumannya saat menjawab tudinganku seakan juga mentertawakan kecemburuanku.

Memang Laura bukan Magda yang selalu “beringas” kala aku menuduh macam-macam, tak jarang telapak tangannya melayang ke wajahku pelampiasan rasa marah sekalihus rasa sayangnya. Soal kelembutan hati, keduanya bak semangka dibelah dua, kembaran. Tangan Laura masih diatas kedua pahaku dengan wajah “kemenangan”, dia bertanya: “ Mas marah karena cemburu atau cari gara-gara agar aku dan mas ribut lalu kita berpisah.?“ Pertanyaan yang sangat sukar ku jawab. Cemburu? Mungkin itu jawaban yang paling tepat. Untuk apa aku marah kalau bukan cemburu!?

“ Menurut Laura, karena apa?” tanyaku.
“ Cemburu ! Tetapi mas, untuk apa mencemburuiku seandainya, Gunawan menjadi pilihanku. Bukankah mas telah mempunyai pilihan? “
“ Inilah kebodohanku, aku terbawa perasaan, karena aku menganggap Laura adalah sahabat yang layak dipercaya, namun akhirnya tega membohongiku. Laura sendiri bertutur, kalau Gunawan bukan tipe lelaki yang kamu iginkan, bahkan diriku kamu ciptakan menjadi tameng. Kemudian, kamu berubah pikiran, bagiku tak menjadi masalah karena itu hakmu. Tetapi mestinya kamu harus jujur, jangan justru terus menari diatas kebohongan.

" Mas, aku tidak berubah pikiran. !"" Sudah, nggak usah kita bicarakan itu lagi. Kita kembali bersahabat seperti sejak lima bulan lalu. Kalaupun kamu menganggapku cemburu, itu benar. Laura, nih kunci mobil, silahkan pulang duluan. Nanti aku pulang naik taksi. Mungkin besok pagi atau lusa akan menghadap Adrian, aku mau undur diri dari pekerjaan,” ujarku sambil menghabiskan minumanku yang tersisa, lantas meninggalkannya.

Laura berusaha menahan tanganku, kemudian melepaskannya, kemungkinan dia merasa malu dengan sejumlah pengunjung di mini bar itu. Aku kembali lagi ke mini bar karena kelupaan membayar minuman. Disana, Laura masih duduk termenung, kedua tangannya menopang wajah dengan tatapan hampa kedepan. Malam itu, aku menjadi manusia bebal. Tak sedikitpun hatiku terenyuh melihat dia yang terpuruk, duduk menyendiri.

***
Uang tunjangan hari raya dan gaji sebulan penuh yang masih utuh ku tukarkan dengan chips ( alat taruhan, pengganti uang tunai, pen.) Jumlah uang yang ditukarkan mendapat imbalan kamar gratis satu malam berikut voucher lunch dan dinner di restauran hotel itu. Sebelum duduk di meja bacarat, aku menaruh sejumlah taruhan di meja rolet pada angka sesuai tahun kelahiranku, hasilnya jeblok. Kemudian memasang berturut - turut pada angka sesuai tanggal kelahiran Magda, Laura dan Susan; semuanya ke laut, apes. Kurang lebih satu jam duduk dimeja bacarat, pikiran kurang konsentrasi sementara “modal” naik turun. Sambil menunggu pergantian shift para bandar, aku menuju ke night club dilantai dua diluar gedung casino. Sejenak aku mampir di mulut pintu mini bar, menoleh kedalam, Laura sudah tidak ada disana.

Dalam keremangan ruangan, mataku liar mencari Sonya, pramuria yang pernah menolongku ketika mabuk berat saat pertama aku berkunjung ke night club ini, namun tak kunjung tampak. Saat menikmati tembang-tembang manis dengan lirik-lirik cinta, pikiranku melayang kepada Laura. Tetapi malam ini aku telah “menyiksa”nya, entah dimana kini keberadaanya. Teguk demi teguk alkohol terus mengalir lewat tenggorokan tanpa kontrol.

Dari sejumlah perempuan malam yang menawarkan diri duduk bersamaku semuanya ku tolak.
Heh...Sonya dimana,” tanyaku setengah teler kepada seorang pramuria ketika menambah minumanku. “ Sebentar dia datang mas,” jawabnya.
“ Kalau dia sudah datang, tolong sampaikan, abang temannya Rina menungguuuu...., okey..?” kataku, sambil merogoh kantong dan memberinya selembar uang, tak tahu nilai nominalnya berapa.

Tak lama kemudian, semerbak wangi di sisiku menyadarkan kehampaan rasa. “ Bang, kebanyakan minum,” ujarnya. Selain karena remang dan mataku sudah mulai nanar, wajahnya tampakku samar.
“ Sonya? Darimana? Aku menunggumu sejak kemarin,!” ucapku. Sonya hanya ketawa mendengar ocehanku.
“ Bagaimana khabar Rina?. Dari mana saja bang sudah lama nggak pernah ketemu.”

Aku tak pedulikan pertanyaannya, “ Sonya temani aku dance,” ajakku sembari menarik lengannya, tetapi dia menolak.
“ Bang, terlalu banyak minum.” Aku terus membujuknya hingga akhirnya dia mau mengikutiku.

Didepan beberapa kali aku hampir jatuh, tak mampu menahan tubuh. Sonya mengajakku duduk kembali,” Bang, lebih baik istrahat dulu. Abang dilihatin sama security. Abang punya kamar? “
“ Iyalah, antarkan aku ke kamar. Kepalaku hampir mau pecah nih.”
Sonya menuntunku duduk ke tempat dudukku semula.. “ Abang tunggu disini, aku mau clock out.”
“ Lho baru datang sudah clock out?”
“ Nggak, aku sudah kerja sejak buka. Aku tadi lihat abang waktu masuk, cuma aku lagi kerja,” ujarnya lalu meninggalkanku. Sementara menunggu, aku meminta lagi minuman menyempurnakan “kebengalanku”. Tak berapa lama Sonya sudah ada disampingku. Tangan Sonya meminta gelas secara paksa dari tanganku saat mau meneguk.

” Cukup! Tadi aku bilang abang terlalu banyak minum. Abang mau Sonya antar atau mau jalan sendiri?” ancamnya. Aku hanya menurut kemauannya, takut ditinggal. Dia mendampingiku jalan hingga ke kamar. Segera aku berlari ke kamar mandi, dada terasa mau pecah, mau muntah. Sonya menemuiku di kamar mandi setelah aku membersihkan muntahan di dalam sink. Badan menggigil kedinginan ketika Sonya melap setengah tubuhku dengan handuk basah.

“ Mau telepon ke Medan lagi bang?” guyonnya sambil menuntunku keluar dari kamar mandi. Saat keluar dari kamar mandi, aku mendengar ketukan pintu kamar. Sonya membuka pintu setelah menghantarkan aku ke tempat tidur. Dia kaget ketika melihat adikku Lam Hot dan seorang perempuan bersamanya berdiri didepan pintu.

“ Hot ngapan malam-malam begini. cariin kakaknya? Sudah gede kok dicariin.?” tanya Sonya. Lam Hot tidak menjawab Sonya. Sayup kudengar Lam Hot melangkah cepat seperti mengejar seseorang, suaranya terdengar memanggil...” Mbak...tunggu. Mbak mau kemana.?” ( Bersambung)

Los Angeles, August 2009


Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/