Thursday, October 29, 2009

Telaga Senja (151)

Three times a lady
Thanks for the times/That you’ve given me/The memories are all in my mind/And now that we’ve come/To the end of our rainbow/There’s something/I must say out loud/You’re once, twice/Three times a lady/And I love you

Yes you’re once twice/Three times a lady/And I love you/I love you

When we are together/The moments I cherish/With every beat of my heart /To touch you to hold you/To feel you to need you/There’s nothing to keep us apart

You’re once twice/Three times a lady/I love you/I love you
=========================
Sepeninggal ibu kost, aku seperti orang hukuman menunggu eksekusi ke tiang gantungan. Magda menyelimuti seluruh tubuhku karena menggigil, iya, juga karena takut menunggu peluru lanjutan dari Magda. Ah...dia terus menggantung. Aku semakin dihantui rasa gusar dan ketakutan, tak sabar menunggu “peluru” berikutnya
==========================

AKU yang selama ini menyombongkan kesempurnaan raga, khususnya dihadapan perempuan, kini telah runtuh justru di depan perempuan yang selama ini aku cintai sekaligus aku khianati dan di sakiti. Disisi tempat tidurku Magda terus berusaha menormalkan pernafasannya, membuat aku semakin tersiksa.
“ Magda, aku mau tidur,” ujarku karena di hantui rasa takut. Sungguh aku belum siap jika dia akan membuka aibku selama aku berpisah darinya.
“ Zung sudah nggak tahan barang sejenak. Kan bang baru istrahat? Ini kesempatan kita bicara bebas dan terbuka sebelum kita kembali ke Medan.”
“ Iya bicaralah. Jangan menggantung seperti itu. Sejak tadi aku tersiksa menunggu.”
Magda memiringkan wajahku ke arahnya. Aku melihat dan merasakan gelora gelisah di dalam rongga dadanya. Dia mendekatkan wajahnya kemudian menatap mataku, berucap:
“ Abang kok masih terus menyiksaku?”

“Apa lagi ini Magda.” tanyaku. Dia tidak langsung menyahut, hanya mengelenggelengkan kepalanya.
" Magda, aku kenapa? Kamu masih menyimpan marah?”
“ Zung. Setelah abang mabuk-mabukan di hotel dengan seorang perempuan, lima bulan lalu, abang sudah berjanji tidak akan mau menyiksa dirimu dengan minum alkohol.”
“ Memang aku sudah berhenti !”

“ Zung, botol apa yang tersimpan di bawah tempat tidurmu? Aku juga menemukan bungkos rokok di lemari pakian abang.” Kemudian dia beranjak dari kursi mengambilkan botol bekas minumanku minggu lalu sehari sebelum kecelakaan dan sisa bungkos rokok dari lemari.
“ Ini botol apa bang?” tanyanya sambil mengangkat ke depan wajahku. Aku di schak mat!
Iya itu botol minumanku.”
"Abang masih terus merokok?" Magda menatapku lama, sementara botol minuman masih digemgamnya. “ Kapan aku dapat mempercayamu bang?” tanyanya dengan bibir bergetar. Aku tak mampu melihat redup wajahnya. Aku memalingkan wajahku menatap langit-langit. Kembali dia memutar wajahku berpaling kearahnya, berucap,” Abang nggak kasihan kepada Magda? Abang masih mencintaiku dengan tulus?”

“ Ya, masih. Kita kan sudah merencanakan pernikahan!?”
“ Zung, malam ini aku mau jujur dan terbuka. Kalau abang masih menyiksa dirimu dengan minuman dan rokok, aku akan berpikir ulang untuk menikah. Aku khawatir jika kita sudah menikah, kebiasaan buruk ini akan semakin menggila. Aku serius bang!”

“ Magda juga yang membuat aku seperti ini. Minuman itu aku beli minggu lalu sebelum berangkat ke Bandung. Malam itu Magda marah-marah dan tak pernah menaggapiku serius. Selalu salah sangka dan menuduhku macam-macam. Padahal aku terus berusaha menghindari minuman jahanam itu. Magda, aku minum dan merokok karena terpaksa, pelarian. Tak ada sahabat mendengar curahan hati yang sedang bergelora. Bahkan terpadamkan kala aku berbicara denganmu.”

“ Kenapa sih abang selalu menyalahkan aku? Kenapa abang nggak pernah jujur? Dari mulut abang sendiri telah mengaku, kalau abang mempunyai sahabat tempat mencurahkan hati, Laura. “
“ Magda, sekarang apa maumu? “
“ Abang kesal?”
“ Ya.”
“ Kesal? Abang sudah nggak boleh dibilangin?” tanyanya dengan suara meninggi.
“ Iya aku kesal, karena selama lima tahun Magda terlalu memanjakanku. Ketika jauh, aku menjadi manusia cengeng dan binal. Mentalku rapuh. Itu sebabnya, aku bersedia kembali ke Medan. Cukup sudah aku bergelimang dusta selama enam bulan belakangan ini. Aku ingin kembali seperti Tan Zung yang Magda kenal lima tahun lalu.“

Magda mendekatkan bibirnya ke telingaku berucap pelan: “Zungngng....! Aku memanjakanmu karena aku mencintai dengan setulus hati."
" Iya, aku tahu itu 'yang. Tetapi aku telah mengkhianatimu. I loved you but I lied," balasku. Hatinya mulai pulih atas pengakuanku.
"Tetapi, abang juga memanjakanku kok,” balasnya mengembalikan hatiku yang tertekan karena terbuka tabir kemunafikan. Bibirnya menyentuh ujung bibirku lembut, penuh makna. “ Zung, nggak mau minum lagi kan? Janji bang?”
“ Ya. Aku janji demi ikan di laut dan burung di udara,” jawabku, lantas diganjar ciuman lagi. Thank you Magda, sudah enam bulan aku berkalang rindu.....”
Huhhh...abang keenakan ,” ujarnya diiringi tamparan manis di wajahku.
***
" Zung belakangan ini, setelah makam malam, mami sering bicara tentang kesehatan, juga kepada Rina yang sedang hamil.”
“ Mami pernah sekolah di fakultas kedokteran seperti om dokter Robert?”
“ Nggak. Mami dulu bekas perawat bidan. Tetapi setelah aku dan adik Jonathan sudah beranjak remaja, papi melarang mami bekerja. Dari mami aku tahu, kalau lelaki peminum sukar mendapat keturunan. Kalaupun punya akan menggangu kesehatan si baby dalam kandungan ibu dan akan mempengaruhi perkembangan kesehatan setelah lahir. Sejak saat itu, aku selalu khawatir terhadap abang. Aku tahu, abang sudah tak pernah minum lagi selama kita berhubungan, kecuali bulan-bulan terakhir sebelum abang "ceraikan" aku.”

“ Kalau sedang stress, boro-boro pikirin keturunan. Pikirin diri sendiri saja sudah nggak mampu”
“ Belajarlah menguasai diri!"
" Sudah keluar semua uneg-unegnya? Telepon Lam Hot biar kamu dijemput."
" Abang mengusir aku? Kan tadi aku sudah minta ijin ke ibu?"
" Tempat tidurku kecil. Kamu tidur dimana?"
" Aku tidur di kursi. Seandainyapun tempat tidur abang berukuran besar,akupun belum mau tidur bareng dengan abang? Emang aku Susan?" gelaknya.

" Tidur di kursi? Kalau kamu sakit, siapa lagi yang mengurus aku.?"
" Nanti aku panggilkan mamatua atau Laura," tawanya sambil mencium pipiku.
" Kamu sebut nama Laura, tetapi mencium pipiku. Kenapa? Nyindir?"
" Abang merasa iya? Kenapa sih abang bisa sampai kegaet?"
" Bukan kegaet, tetapi kepeleset. Lama-lama jadi lengket."
" Halahhh..dasar. Memang maunya abang.!"

" Magda, besok pagi tolong telepon tempat kostku yang dulu. Kalu boleh aku tinggal di kamar"perpustakaan" kita dulu."
" Abang nggak mau tinggal di rumah mami?"
" Emang aku lelaki murahan. Belum jadi sudah tinggal dirumah mertua?" balasku disambut pelukan Magda.
" Tetapi kalau sudah nikah, mau kan tinggal di rumah mami?"
" Lihat nantilah." ( Bersambung)

Los Angeles. October 2009


Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/