Wednesday, September 16, 2009

Telaga Senja (125)





There's something in your eyes/that's far too revealing/Why must it be like this love without feelin'/Something's wrong with you I know/I see it in your eyes/Believe me when I say/It's gonna be okay

I told you from the start I/won't be demanding/I won't be demanding/If you have a change your heart/I'll be understanding/I'll be understanding/When love becomes a broken heart/and dreams begin to die/Believe me when I say/We'll work it out some way

(*)
I'll never try to hold you back/I wouldn't try controlling you/If it's what you want/It's what I want/I want what's best for you/And if there's something else/that you're looking for/I'll be the first to help you try/Believe me when I say/It's hard to say goodbye

We've lost that loving touch we/used to feel so much//I try to hide the truth that's in my eyes/The love without feeling/But when I feel we're not in love, I know I'm losing you/Believe me when I say/We'll work it out some way

(*)
If it's what you want/It's what I want/I want what's best for you/I'll never try to hold you back/I wouldn't try controlling you/If it's what you want/It's what I want/ I want what's best for you/And if there's something else/that you're looking for I'll be the first to help you try/Believe me when I say/It's hard to say goodbye

I'll never try to hold you back/I wouldn't try controlling you/If it's what you want It's what I want/I want what's best for you/And if there's something else/that you're looking for/ I'll be the first to help you try

====================
“ Titik air mata kebahagian mas. Setelah aku mampu mencurahkan semua yang lama terpendam dalam hati.”
“ Kamu bahagia diatas ketersiksaan sahabat yang mengasihimu.!?”
“ Aku tak mampu lagi membedakan antara kasih dan cinta mas! Pergilah, sebelum mereka terlalu lama menunggumu.”
====================

SEJUK itu hanya berlangsung sejenak, selebihnya rangkaian kalimat getir dan gersang. Air bandang itu datangnya begitu tiba-tiba dan tertumpah ruah kala menikmati simponi pagi menjelang siang. Tak tahu lagi harus berbuat apa, kecuali pasrah. Aku membiarkan Laura keluar dari kamarku meninggalkan sejuta tanya. Selera makanku pun hilang sama seperti Laura yang telah menolak makan bersamaku. Ditengah perasaan galau, aku berangkat ke kantor Cecep membawa seluruh berkas-berkas yang telah kami selesaikan.

Tiba di bawah aku baru sadar, kalau aku sedang di Bandung. Tak tahu jalan menuju ke kantor. Aku tahu hanya alamatnya. Siang itu tak satupun taksi lalu lalang didepan hotel. Aku kelimpungan, sesak dihati. Aku kembali ke hotel duduk di lobby, mengharap, Cecep atau Tia akan menelponku. Tidak lama, Tia telah datang bersama sopir menyusulku ke hotel, sementara aku tak tahu keberadaaan Laura.

Senyum Tia mengembang dibibirnya ketika bersua denganku di lobby hotel. Siang itu pakaiannya sedikit agak “sopan” dibanding hari sebelumnya. Blouse lengan panjang bermotif kembang - kembang kecil dipadu dengan trouser berwarna gelap. Sepasang anting teruntai di ujung daun telinganya serasi dengan jenjang leher yang dibungkus dengan kulitnya berwarna kuning langsat. Tia mengajakku ke kamar hotel sebelum menuju kantornya.

Tia berhasil membujukku untuk membuka kembali berkas-berkas yang telah Laura tutup dengan akurat dan rapi. Dia meminta ada semacam “rekonsiliasi,” yang seharusnya tak bisa terjadi, setelah investigasi telah berlangsung. Aku bagai dihipnotis mengikuti kemauannya. Selain karena masih diliputi rasa kecewa atas ulah Laura, otakku liar kurang konsentrasi. Kepala Cabang Cecep menyampaikan pesan lewat Tia, agar “memperbaiki” posisi laporan akhir, tentu saja dengan “penyulapan” angka-angka.
***
Suatu ketika, adikku Lam Hot yang telah lebih dulu bekerja sebagai auditor intern perusahaannya, telah mengingatkanku agar bijak dalam menyimpulkan suatu laporan, lihat situasinya. “ Investigasi keuangan itu gampang-gampang susah. Ada sejumlah pimpinan dan manager keuangan yang cooperative, ada yang bengal. Biasanya tipe manusia seperti ini banyak maunya, dan sudah pasti bermasalah. Tak jarang diikuti ancaman terselubung. Tetapi kemauannya dituruti, “pukulannya” besar,” terangnya kala itu. Tapi tak jarang, lanjut Lam Hot, pimpinan sadar akan kesalahannya langsung mengambil inisiatif “menyelesaikan “ lewat bebagai cara diantaranya perempuan dan uang. Pada saat ini kita berada pada posisinya yang sangat sulit. Kita mau, resiko pemecatan jika sampai ketahuan. Ditolak, ancaman pisik atau kita dilaporkan dengan macam-macam fitnah. Tetapi biasanya seperti ini, kantor sudah maklum, walau kadangkala kita diperiksa juga.
***
Sebelum permintaan Cecep dan Tia diajukan, aku tertanya-tanya, bagaimana mereka tahu laporan yang aku susun, sementara aku belum pernah memperlihatkannya kepada siapapun, kecuali Laura. Aku yakin, Ririn telah membaca semua laporanku ketika pagi itu aku dan Laura ribut di luar hotel. Langsung saja aku tembak Tia, “ Ririn membocorkan laporanku iya!?” tanyaku. Meskipun Tia tidak menjawab, dari mimik wajahnya, mengatakan “iya”. Lalu kebijakan apa yang harus ku tempuh ? Peringatan adikku Lam Hot jauh hari sebelumnya agar lebih bijak, menjadi acuanku menjawab permintaan Cecep dan Tia.

Banyak jalan menuju Roma. Aku siap untuk itu walau satu jalan diantaranya terancam batu longsor. Aku pakai payung baja bila perlu, bisik hatiku. Nah kalau logsor itu langsung menelungkupiku?. Ah...lanteunglah semua itu, kataku lagi dalam hati. Jangankan mengubah angka, seandainya Tia bertingkah seperti kemarin, aku siap melayaninya sebagai pelampiasan kekecewaanku terhadap Laura, juga kepada Magda yang banyak maunya. Hari itu, aku betul-betul siap jadi “pelacur” profesi dan pelacur sungguhan. Gila!.

Aku hanya menganti angka-angka yang kubuat sebelumnya dengan yang telah mereka siapkan. Memang masih ada sejumlah angka yang mereka harus pertanggungjaawabkan namun jumlahnya hanya sekitar 25 persen dari angka yang seharusnya.
“ Tadi pagi aku telah telepon pak Adrian di Jakarta. Beliau setuju mas kembali besok pagi,” ujarnya , senyumnya merekah. “ Nanti malam nggak ada acara kan? Temanin Tia iya, kita ke night club? ajaknya. Bah! tahu pula dia “cekian” ku? " Hm...Iya aku nggak kemana-mana, bolehlah. Dengan siapa kita kesana?
“ Kita berdua mas.!”
“ Pukul berapa kita berangkat ?” tanyaku semangat.
“ Menurut mas, baiknya pukul berapa.?
“ Terserah Tia. Yang mengundang kan kamu !?”

Bagai kerbau dicucuk hidung, mungkin iya juga siang itu aku jadi “kerbau”, aku turut saja apa maunya Tia. “ Kita makan dulu mas. Mas kelihatannya belum makan siang, “ ujarnya menduga-duga. Wah...ketemu nenek sihir kedua nih, pikirku setelah tebakannya benar. Memang aku tak jadi makan siang dengan Laura karena perseteruan hati.

Sementara kami makan siang, “gombal-menggombal” berlangsung. “ Perempuan itu bernasib mujur bila bersuamikan mas. Lelaki setia meski tampak jantan.!” ujarnya. Lho, kalau tampak jantan mestikah jadi pejantan seperti hewan? tanyaku geli dalam benak.

“ Begitu malangnya nasib lelaki yang mengkhianatimu Tia. Dia mensia-siakan kejujuran yang terbentang dalam bening matamu,” balasku ngegombal. Weleweleh...kejujuran? Wong kemarin saja dia mancing-mancing kok. Bahkan baru saja juga dia mengajakku ke night club. Sekali gombal tetap gombal, puich...burgshiiik... (Bersambung)

Los Angeles. September 2009

Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Telaga Senja (124)

http://www.youtube.com/watch?v=VnY_2mGQcNc

==========================
Laura,aku kecapekan setelah tadi malam telah melayani dua perempuan,” bisikku. Laura tak tahan menahan gelaknya. Pelan, dia sorongkan kepalaku dari pipinya. Aku kehilangan kesemibangan, aku dan Laura terjerembab ke atas tempat tidur.
==========================

GELAK duet diatas tempat tidur meredam ombak yang gelisah meski hanya sebentuk fatarmogana, namun berlangsung sempurna. Bening mata menyatu dalam rongga jiwa serta dalam deburaan nafas kasih. Gelora api yang sedang membakar hampir saja meluluhkan kekukuhan jiwa menerjang ketidakpatutan setelah malam sebelumnya lolos dari pertarungan berahi liar dengan Tia dan Ririn.

Kalau saja Laura tidak mengingatkan, pagi itu adalah pengkhiantanku yang tak terampuni terhadap Magdalena. “ Mas, cukup. Aku tidak ingin menodai kesucian hati mbak Magda dan mas meski akupun butuh. Cukup mas!?,” bujuknya dalam suara lembut. Mas , lagi-lagi mengguriskan kenangan baru dalam sudut hatiku," tambahnya seraya telapak tangan mengusap wajahku.

“ Terimakasih Laura, maaf.....aku...”
“ Nggak mas, nggak ada yang perlu dimaafkan,”potongnya seraya menutup mulutku dengan kelima jarinya. “ Ayo bangun, sebentar lagi kita menemui Cecep dan Tia di kantornya. Mas, marah...?” tanyanya ketika aku tak merespon.
“ Ya. Aku marah terhadap diriku sendiri,” balasku, lantas bangkit dari tempat tidur. Laura masih bersikap manja. Dia mengulurkan tangannya, berucap: “ Tolong aku mas!”
“ Laura, jangan nyalakan api yang telah padam,” ingatku seraya menarik tangannya dari atas tempat tidur.

“ Biarkan mas apinya menyala asal tidak liar membakar sekitar,” tawanya renyah. Sebelum Laura kembali ke kamarnya, dia mengusulkan, kami makan siang di dalam kamar. Dia akan memesan makanan lewat pelayan hotel.
“ Nggak lebih baik kita makan di luar,?” tanyaku.
“ Mas, aku pingin makan di sini. Boleh nggak.?”
“ Kenapa harus di dalam kamar. ?”
“ Aku mau makan bersama mas tanpa kehadiran siapapun. Mungkin yang terakhir sebelum aku kembali ke Yogya.”
“ Laura serius mau pulang ? Kapan?”
“ Nanti aku beritahu mas.”

“ Kamu nggak fair? Dua minggu lalu, ketika aku mau keluar, kamu marah dan menyiksa dirimu. Sekarang malah kamu mau keluar. Baiklah Laura, sebelum kamu mengundurkan diri, besok aku akan mengajukan mundur setelah semua kuberi pertanggungjawaban pekerjaanku. Untuk siang ini juga, aku tak bersedia makan bersamamu. Aku tahu, kita berjalan dalam lorong tanpa seberkas sinar penunutun harapan. Bahkan, pagi ini, Laura menaruh sembilu pemutus temali kasih disetiap tapak yang yang kita akan lalui.”

“ Mas, Selalu memberiku tetesan madu, gurih, tetapi aku tak mampu menelannya. Bukan saja bibirku getir akan cita rasanya, tubuhku pun terguncang kala madu itu menyelusiri dan menyatu dalam tubuh. Ijinkan aku mas, pergi menikmati madu yang mas teteskan di padang pasir, kering, penyempurna hati yang gersang. Mas, biarkan aku bersendung rindu di padang luas tak bertuan hingga saatnya madu yang masih merekah kering tanpa sebuah harapan. Cukup mas. Jangan lagi bersendung dengan lirik-lirik asmara yang menghantarkanku ke keperaduan abadi di tepian telaga diujung senja.....”

”.... dan senja itu telah kamu paksakan tiba sebelum waktunya. Laura juga menghantarkanku keperaduan abadi sebelum ajal menjemputku. “
“ Mas, bukan aku penentu ajal, bahkan kehidupan sekalipun. Seandainya aku memiliki keduanya, aku tidak akan pernah merasa kesepian pada harapan yang pupus.
" Laura memiliki keduanya, setidaknya hinga siang ini."
" Semuanya itu adalah kepalsuan. Sebuah ironi dalam kehidupan! Mas, manalah mungkin dirimu memiliki mentari dan rembulan, sekaligus."
" Aku tidak mengharapkan itu terjadi, tetapi jangan kamu paksakan matahari itu berhenti kala bumi itu membutuhkan sinarnya."

" Aku akan menahan jalannya matahari seandainya tanganku cukup panjang menyanggahnya. Mas, dikeheningan malam, rembulan itu berbisik ditengah gubahan lagu yang tercipta untukku,” Jangan mengharap hujan turun ditengah terik matahari.”
" Laura! Kini kamu bukan lagi sahabat yang aku kenal sebelumnya; Perempuan bersahaja, optimis dan santun serta inpiratif setidaknya bagiku."
" Terimakasih mas atas pujiannya. Sekiranya sanjungan itupun benar, semuanya berubah diluar kemampuanku seiring perjalanan waktu. Mas, meski aku menengadah keatas selaksa hari, mengharap, itu hanyalah kesia-siaan dan kebodohan."

" Cukup Laura! Tapi Laura tidak akan mengambil melati yang kupetik dan kini tersemat pada dadaku, bukan!?"
" Nggak mas.Biarkan dia luruh manakala tak seorangpun memberi air meski hanya setetes."

" Laura, aku setuju makan bersamamu, dikamar ini. Setelah itu kita berangkat bersama menemui Cecep dan Tia."
"Mas, aku tak lapar lagi. Pergilah sendiri menemui mereka. Biarkan aku sendiri untuk sesaat, sebelum aku pulang ke Jakarta," ujarnya dengan titik airmata.

" Laura! Baru saja kita menikmati keindahan pagi. Berpeluk dalam sendagurau kasih. Kenapa harus berakhir dengan rintihan dan airmata?"
" Titik air mata kebahagian mas. Setelah aku mampu mencurahkan semua yang lama terpendam dalam hati."
" Kamu bahagia diatas ketersiksaan sahabat yang mengasihimu.!?"
" Aku tak mampu lagi membedakan antara kasih dan cinta mas! Pergilah, sebelum mereka terlalu lama menunggumu." (Bersambung)

Los Angeles. September 2009


Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/