Monday, July 13, 2009

Telaga Senja (77)

Engkau terlena dalam pelukan dingin malam /Matamu terpejam, kembang masih erat kau genggam /Butir pasir beterbangan, sinar bulan berkilauan /Kau tersenyum dalam diam /Kau tertidur makin lelap /Seperti bintang wajahmu gemerlap /Kudekap erat sukmamu, kuselimuti tubuhmu

Aku terjaga, pekik ombak Laut Selatan /Matahari pagi di atas puncak bukit karang /Sebatang pohon kering, membelah matahariku /‘ku bertanya kepadamu, /“Mimpi indahkah kau semalam?” /Kiranya kini kau t’lah hilang musnah /seperti namamu yang kutulis di pasir /ditelan ombak Pantai Laut Selatan
==========================
Sementara pikiran bagai riak gelombang yang sedang gelisah, suara hati bertanya, membatin, kenapa mesti ada riak gelombang, bukankah warna-warni pelangi Magda masih membentang dalam sukma?. Ya, masih terbentang menutupi semua ruang bahkan warnanya belum pudar, jawabku dalam benak.
============================

SEANDAINYA Laura akhirnya memutuskan, mencari jalan terbaik untuk dirinya, itu sangat wajar, karena dia belum menangkap “signal” dari diriku. Atau selama ini dia merasakan tangan terulur hampa, simpulku lagi dalam hati. Lantas, apa yang aku lakukan? Sederatan tanya masih terangkai dalam hati tetapi belum satupun dapat terjawab dan pertanyaan yang tersisa; Bila memang Laura sebelumnya telah mempunyai teman khusus, mengapa tak pernah sekalipun dia menyinggungnya sama seperti aku lakukan. Padahal, kepada Laura, aku mengaku masih mempunyai teman khusus Magdalena, dan Laurapun sudah berbicara langsung dengannya saat menyampaikan selamat hari ulang tahun Magdalena.

“ Bang tenang dulu. Untuk apa kunci kamarku? Abang kan punya kamar? “ tanyanya ketika aku meminta kunci kamar Lam Hot.
“Aku mau pindahkan barang-barangku kekamarmu untuk sementara. Malam ini aku mau cari penginapan lain,” jawabku.
“ Kok abang reaktif seperti ini. Tenang dululah bang.Katanya abang pemain.!?”
“ Hot, suasananya sudah nggak aman nih. ”
“ Kan abang nggak ada ikatan apapun dengan dia.?” ujarnya sambil menyerahkan kunci kamarnya.
“ Hah...antara ada dan tiada,” jawabku ketawa.
“ Abu-abu dong! Hidup ini harus tegas, hitam atau putih. Jadi abang mau nginap dimana?”
“ Belum tahu ke hotel mana aku menginap, mungkin agak keluar kota biar lebih nyaman. Nggak usah kau sibuk cariin aku, besok pagi aku akan jemput barang-barangku. Kamu juga nggak usah usil telepon Magda.”
Cemmananya abang ini, disini sebel, kesana takut.!” ejeknya.

Segera Lam Hot dan Rima kutingalkan. Serasa mau terbang, aku berjalan cepat melupakan kaki yang masih nyeri mencari angkutan ke hotel. Koper dan barang kecil lainnya aku pindahkan ke kamar Lam Hot, kemudian menitipkan kunci ke petugas shift malam. Seorang karyawan hotel yang telah mengenaliku menyusul dari belakang, bertanya: “ Bapak mau kemana? Tadi mbak Laura dan om Laurance tungguin bapak.!”

“ Oh..iya, aku nggak kemana-mana,” jawabku diiringi rasa bimbang untuk pindah hotel setelah diberitahu Laura menunguiku sebelumnya. Ditengah kebimbangan, akhirnya ku putuskan hengkang malam ini juga. Aku menyisir sisi jalan mencari warung namun tak kunjung ketemu. Sengaja aku tidak ke bar, karena aku yakin Lam Hot pasti mencari ke bar sepanjang “down town” bila aku tak pulang hingga larut malam. Aku menghampiri seorang pemuda tanggung yang sedang berdiri dipinggir jalan, menanyakan warung tempat anak muda nongkrong.

“ Orang Sumatera ya mas?” tanyanya setelah mendengar aksen suaraku.
“ Bukan. Aku orang Sulawesi Utara,” ujarku mengelabui identitas sambil memperhalus tekanan suara. Merasa malu juga, orang langsung dapat menebak tepat suku dari mana, gara-gara aksenku sangat kental, payah.
“ Aku nggak tahu tongkorongan anak Sulawesi, kalau tongkrongan orang Sumatera aku tahu,” terangnya.
“ Iya nggak apa-apa, tapi anak muda kan, bukan ibu-ibu,” kelakarku. "
" Sarang" ibu-ibu juga ada mas, mereka hampir setiap hari main kartu karo."
" Maksudmu, joker karo.?"
" Oh...iya...ya , joker karo. Kakak iparku orang Sumatera mas. Sering juga kakak itu main kesana," ujarnya kemudian dia menerangkan arah jalan ke warung tongkrongan anak muda.
" Tempatnya agak jauh mas." ujarnya. Dia tidak menolak ketika diminta mengantarkanku.
“ Mas tolong antarkan aku kesana, ntar nanti kamu pulang dengan beca yang sama,” bujukku.

Setelah mendekat dengan warung yang dituju, sayup terdengar nanyian berirama andung ( ratap, pen), " Na hinahli bangkudu" karya komponis Nahum Situmorang. Ah...suasana sekitar mengingatkanku kedai tuak di petigaan Jl. Sei Wampu dan Jl. Binjai, Medan. Ingat, tempo dulu, Mawar dan Magda menjemput dari kedai itu saat melampiaskan kedongkolanku terhadap Magda. Kini, kejadian beberapa tahun silam terulang kembali dalam situasi yang hampir sama, pelampiasan rasa dongkol.

Horas! sapaku setelah aku masuk dalam warung. Lima orang pemuda yang berada disana menyambut hangat sambil membalas sapaanku. Setelah memperkenalkan diri lengkap dengan marga, seorang diantaranya tiba-tiba berdiri menghampiriku; “horas bang”, ujarnya sambil menyodorkan tangannya, ternyata kami satu marga. Kelima pemuda yang nongkrong di warung adalah mahasiswa, hal itu aku ketahui saat pembicaraan kami yang berlangsung akrab. Dua diantaranya dari Medan dan Siantar, selebihnya dari Jakarta. Awal perkenalan aku agak sedikit kikuk ketika seorang memperkenalkan marganya sama dengan Magdalena.

Sambil bercakap-cakap, mataku liar menyapu seputar meja dan lemari warung, tak satupun gelas atau botol berisi alkohol.
Aku menanyakan kepada Rio semargaku bila diwarung itu boleh nenggak minum keras(miras).
“ Boleh bang, kebetulan kita semua lagi bokek,” jawabnya ketawa. Pemuda Olan semarga dengan Magda usia termuda diantara kelimanya segera bergegas dan menghidupkan motornya setelah aku memberi sejumlah uang membeli minuman. Malam ini jadi “pesta”, kataku dalam hati.

Sekembalinya Olan dan Rio membeli miras, aku mulai mengutakatik gitar memancing kelima mahasiswa untuk bersama-sama mengolah vocal. Sejumlah lagu kami nyanyikan, tuntas. Luar biasa, olah vocal mereka menakjubkan. Penasaran, aku tanyakan langsung kepada Rio, kok suaranya bagus sekali.
“ Bawaan lahir bang,” ujarnya diiringi tawa.
“ Kalian punya group?“
“ Ya bang. Kadang kala kami nyambi di sejumlah bar hotel. Kebetulan sekarang lagi lebaran, bar agak sepi,” tambahnya. Setelah miras masuk beberapa teguk, Rio kembali menyerahkan gitar sekaligus mereka berlima “request” agar aku nyanyi sendiri. Aku memilih lagu yang mereka sudah lantunkan sebelumnya, kebetulan lagu yang aku suka sejak Bunga meninggalkanku, dulu. “ Na hinali Bakkudu ” http://www.youtube.com/watch?v=PDbcjXp9zRQ ( Bersambung)

Los Angeles, July 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/