Monday, November 16, 2009

Telaga Senja (163)


Bed Of Roses
Sitting here wasted and wounded at this old piano /Trying hard to capture the moment this morning I don't know /'Cause a bottle of vodka is still lodged in my head /And some blond gave me nightmares, think that she's still in my bed /As I dream about movies /They won't make of me when I'm dead

With an ironclad fist I wake up and french kiss the morning /While some marching band keeps it's own beat in my head /While we're talking /About all of the things that I long to believe /About love, the truth, what you mean to me and the truth is /Baby you're all that I need

I wanna lay you down in a bed of roses //For tonight I'll sleep on a bed of nails /I wanna be just as close as your Holy Ghost is /And lay you down on a bed of roses

Well I'm so far away the step that I take's on my way home /A king's ransom in dimes I'd give each night /To see through this pay phone /Still I run out of time or it's hard to get through /Till the bird on the wire flies me back to /You I'll just close my eyes, whisper baby blind love is true

I wanna lay you down in a bed of roses /For tonight I'll sleep on a bed of nails /I wanna be just as close as your Holy Ghost is /And lay you down on a bed of roses

Well this hotel bar's hangover whiskey's gone dry /The barkeeper's wig's crooked /And she's giving me the eye /Well I might have said yeah /But I laughed so hard I think I died /Ooh yeah

Now as you close your eyes /Know I'll be thinking about you /While my mistress she calls me to stand in her spotlight again /Tonight I won't be alone /But you know that don't mean I'm not lonely /I've got nothing to prove for it's you that I'd die to defend

I wanna lay you down in a bed of roses /For tonight I'll sleep on a bed of nails /I wanna be just as close as your Holy Ghost is /And lay you down

I wanna lay you down in a bed of roses /For tonight I'll sleep on a bed of nails /I wanna be just as close as your Holy Ghost is /And lay you down on a bed of roses


======================
“Oalah..jadi kita berdua sudah pernah “ janda” dan “duda?”
“Ya. Tetapi mama baru sekali menjanda. Papa entah sudah kali keberapa menjadi duda.”
“ Papa termasuk yang baik hati dong. Mau menikahi seorang janda”
“ Kan dengan jandanya papa juga ?”

=====================
AKU harus akui, Magda lah satu-satunya , diantara sejumlah perempuan sahabat , mampu mengikuti alur pikiranku serta cepat dan tepat mengambil keputusan tat kala aku terjerat dalam keragu-raguan. Kecuali, dalam alur asmara, apalagi setelah kami “bercerai” , Magda kadangkala harus melalui jalan panjang dan berliku. Tetapi semuanya bermuara pada wujud cinta kasihnya.

Sejak kehadirannya di Jakarta, perhatian Magda melebihi dari apa yang aku pirikan. Kini, Magda memberlakukanku seolah telah menjadi suaminya. Ditengah ketidakberdayaan tubuh, aku mengikuti jalan pikiran dan keputusannya. Keputusan mendadak pulang ke Medan aku setujui meski terus berupaya membujuknya, denga segala dalih, agar dia mau menunda beberapa hari lagi.
***
Kami pulang lebih awal beberapa jam dari waktu yang dokter tentukan. “ Pap, kita lebih baik pulang ke rumah. Disini juga papa hanya istrahat. Sambil menunggu mamatua datang, mama akan mengepak barang-barang papa. Siapa yang bicara dengan ibu kost. Papa atau nmama?” tanyanya.
“ Semua urusan, aku serahkan ke mama. Aku tinggal terima bersih."
“ Memang papa selalu begitu. Tidak pernah mau berjuang bersama dengan mama ...”balasnya ketawa
“ Belum cukupkah lima tahun lebih berjuang hanya untuk Magda seorang? Mama carilah diseluruh dunia ini, berapa orang yang mampu merawat cintanya selama itu hanya kepada satu orang? Putih bersih mam.!”

“ Mama tidak membantah itu. Yang mama mau katakan, ketika mama hampir diterkam serigala, papa malah pergi meninggalkanku bahkan ikut mencambukku dengan cemeti mematikan,” ujarnya sambil menolongku turun dari ranjang.
“ Ya. Badai itu datangnya begitu tiba-tiba. Ditengah kesehatanku diambang kematian, mama membiarkan papa berjalan di lorong nan gelap. Disana papa mendengar lolongan malam serigala itu. Sangat menakutkan. Meski dengan susah payah, papa berhasil keluar dari lorong gelap, tetapi papa menemukan mama sedang...”

“ ....pap, sudah, ” potongnya. “Sejak dari dulu mama sudah katakan, itu bukan kemauanku. Papa saja mengambil keputusan emosional. Sudah papa. Nggak usah di ungkit lagi. Mama sih nggak apa-apa. Tetapi papa, kalau sudah menyinggung “putihnya salju” selalu larinya kesana. Papa menggagap hanya salju milik papa yang maha putih. Milik orang lain berwarna kelabu. Papa nggak fair juga lah."
“ Ya, mam. Papa janji, mau belajar (lagi) sabar dari mama. Maka itu, sekarang, papa turut apa yang mama katakan. Tetapi kalau boleh.....”
“ Tetapi.... apalagi...hah?” tanyanya sambil mencubit lambungku.
“ Kalau boleh, kita pulang minggu depan.”
” Atau mama pindah ke sini?” balasnya. Magda tahu jika aku sengaja angekin dia.

Tiba dirumah, Magda menemui ibu kost sekaligus memberitahukan rencana pulang ke Medan. Setelah bicara dengan ibu kost, perempuan batak ini, dengan sigap membereskan kamarku. Dia mengentakku ketika mau membantu dia.
“ Pap, jangan cari perkara lagi. Papa duduk saja, sambil menunggu mamatua dan Lam Hot datang.
***
Magda kembali “unjuk gigi” dalam pertemuan kami berempat; ibu, aku, Lam Hot dan Magda . Magda menolak usulan ibuku agar kami bicara di rumah Rina, tempat adikku kos. Tetapi dia bersikukuh membicarakan yang berkaitan denganku harus di tempaku tinggal.
“ Mama tua, Magda mau, kita bicara di kamar abang. Disinilah tempatnya abang, bukan di rumah Rima. Ibu mengalah. Dalam pembicaraan di kamarku, Magda tetap bersikeras harus pulang besok pada penerbangan terakhir.
“ Mamatua, Magda nggak tega melihat abang terus menderita seperti ini. Mamatua tinggal dulu dengan Lam Hot hingga rindu mamatua telah puas.”
Ibuku meminta ikut pulang bersamaku. Lam Hot tidak mengijinkannya.

“ Nanti ayahmu marah. Dikira ibu nggak pedulikan abangmu,” kata ibu ke Lam Hot.
“ Mama tua, nanti Magda yang bicara dengan papa tua. Mama tua nggak usah kuatir.”
“ Kak, ibu bukan takut pada ayah. Takut pada abang. Abang ini kan terlalu dimanjakan oleh ibu.” ujar Lam Hot disambut tawa cerah ibuku sambil membantah.
“ Hot, ibu selalu bersikap sama kepada kalian semua anak-anakku. Nggak ada yang dibedakan.”
Suasana tegang agak mencair setelah Lam Hot mengeluarkan jurus reseh. Dipancing pula oleh Magda.

“ Lam Hot cemburu iya?” pancing Magda.
“ Ya iyalah. Waktu masa kecil kami, kalau Lam Hot sedikit saja salah, langsung ibu main cubit. Tetapi bila abang? biar salah sebesar apa pun pura-pura nggak tahu. Pernah abang mau dilibas oleh ayah, tetapi nggak jadi karena dibelain ibu. Waktu itu, ujian sidi. Masya abang jawab mantunya Naomi, Maria? Ketawalah semua seisi gereja. Ayah langsung pulang, karena malu.” tuturnya, disambut tawa lepas ibu dan Magdalena.
“ Apa hubungannya Naomi dengan Maria?” tanya Magda

“ Abang pikir, vorganger ( Ketua majelis gereja, pen) tanyakan siapa menantu namboru ( bibi, pen) Naomi. Memang, namboru punya menantu, namanya Maria. Gara-gara abang sok pintar itu, akhirnya belajar sidinya diulang setahun lagi.”
“ Jadi siapa nama menantu Naomi? pancing Magda.
“ Aku juga nggak tahu kak. Abang saja sudah belajar setahun nggak tahu. Lagi, aku kan belum lahir waktu itu!”
“ Abang adik sama bangornya,” tawa Magda. ( Bersambung)

Los Angeles. November 2009


Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/