Wednesday, September 9, 2009

Telaga Senja (118)

===============
“ Mas, nanti tahu sendiri. Itu sebabnya pak Adrian minta mas bertugas kesana. Yang lain sudah kena “polusi”, “ujarnya tertawa.
“ Hmm...berarti mereka pemain juga,” ujarku sambil mengangguk-anggukan kepala.
“ Mungkin sama seperti mas,” tawanya.
“ Mas, jangan lupa telepon ibu ke Medan setelah tiba di penginapan.”
================
SEORANG perempuan tinggi semampai, berkulit putih mulus dengan rambut sebahu, memanggil namaku setelah keluar dari kereta. “ Pak Tan Zung?” tanyanya. “ Iya! Kamu Tia? Jangan panggil aku bapak, aku masih single, panggil saja nama atau mas atau bang. Tia sudah menikah bukan,?”
“ Sudah pak..eh..mas tetapi...oh..iya kata pak Cecep, aku antar dulu ke hotel. Beliau nanti menyusul sekalian makan siang.”
“ Kenapa nggak langsung saja kekantor. Nanti kita bareng ke hotel.”
“ Mas istrahat dulu. Kata pak Cecep, setelah makan siang kita bareng ke kantor.” Aku setuju usul Tia. Kebetulan tubuh masih lemah pengaruh minuman kemarin malam. Istrahat selama dalam perjalanan belum cukup membayar “jam terbang” tidur malam sebelumnya. Tia mengantarkanku ke kamar setelah lebih dahulu chek-in. Harapanku tidur sejenak pupus setelah Tia merebahkan dirinya diatas tempat tidur.

“ Enak iya mas kerja di kantor pusat, sebentar-sebentar tugas keluar. Selain dapat gaji bulanan masih ada tambahan uang jalan dan tidur di hotel. Kenapa mas belum menikah.?”
“ Ingin mereguk masa muda lebih lama. Tetapi dalam tahun ini mau menikah kok,” jawabku enteng. Entah siapa pula yang akan ku nikahi.
“ Tia sudah berapa lama menikah?”
“ Belum lama. Tetapi kami sudah pisah ranjang mas.”
“ Kenapa.?”
“Dia berselingkuh. Mulut lelaki tak selamanya dapat dipercaya, janji setia sampai mati, baru pisah seminggu sudah berselingkuh,” keluhnya.
" Apa bedanya lelaki dan perempuan ? Sama saja. Perselingkuhan itu terjadi tentu ada penyebabnya," ujarku sok tahu.
" Karena ada syetan dalam pikirannya," balasnya rada galak.
" Kasihan syetan selalu difitnah," jawabku terkekeh.

Dalam hatiku, baru saja kenalan, perempuan ini sudah berani rebahan diatas tempat tidurku, kamar hanya berisi single bed pula. Lagi, tak sungkan membeberkan kehidupan keluarganya. Jangan-jangan ini makna mimpi ku tadi malam, pikirku lagi. Aku juga teringat pesan Laura, agar aku lebih hati-hati. Namun sebagai tamu, aku harus bersikap santun. Tak elok mengusirnya dari kamar, apalagi dia akan menjadi patnerku dalam pembenahan adminitrasi keuangan.

“ Sebelum menikah, berapa lama kalian pacaran?”
“ Nggak lama mas. Kami juga menikah karena pilihan orang tua.”
“ Kenapa mau?”
“Karena kedekatan orangtua kami. Ayahku dan ayah mertuaku sama-sama pejuang kemerdekaan, tempo dulu.”
“ Oh..iya!? mereka memperjuangkan kemerdekaan republik ini dari si penjajah, tetapi tanpa mereka sadari, kemerdekaan anaknya mereka ”jajah”, ujarku mengagetkan Tia. “ Aku juga adalah korban”penjajahan“ orang tua pacarku. Itulah sebabnya hingga kini aku belum menikah,” lanjutku dengan suara agak meninggi.

“ Kita sama-sama korban penjajahan dong,” balasnya ketir. Percakapan kami tak berlangsung lama setelah Tia mendapat telepon dari Cecep, kepala cabang. Segera aku menelepon Laura kekantor setelah dia keluar dari kamar. Aku ingin menanyakan apakah Adrian memberinya ijin datang ke Bandung. Laura tidak langsung menjawab pertanyaanku, gayanya persis seperti Magda, selalu didahului complain.
“ Kok baru sekarang telepon. Sudah jadi telepon ibu ke Medan,” ingatnya. Aku tak menjawab pertanyaannya.

“ Kamu di beri ijin nggak.?”
“ Iya, tetapi aku datang besok lusa. Aku naik mobil perusahaan. Siapa yang jemput mas dari stasion?”
“ Tia.!”
“ Dia datang sendiri,?” tanyanya.
“ Iya. Kenapa? “
“ Hati-hati mas, jangan terperangkap. Tia itu licik dan licin. Ujang yang mas gantikan di pecat gara-gara ulah dia.”jelasnya.
“ Licin mana dengan belut dilabur oli,? gurauku. "Dia baru saja keluar dari kamar.”

“ Tia ikut ke kamar mas? Ngapain, ? ” cecarnya.
“ Iya, dia cuma rebahan. Kami hanya ngobrol nggak lama kok. Sebentar lagi dia dan Cecep mau datang menjemputku untuk makan siang.”
“ Jangan mau ! Mas kan dapat uang saku dari kantor!? Cari alasan untuk menghidari mereka.”
“ Lho, bagaimana aku menghindar, sedikitpun aku tak tahu peta Bandung.” ujarku.

Aku sukar membedakan apakah peringatan Laura tulus sebagai seorang sahabat atau masih menyimpan rasa cemburu, atau barangkali kedua-duanya. Namun apapun alasannya, aku patut berjaga-jaga apalagi sudah ada korban sebelumnya. Sebelum mengakhiri pembicaraan dengan Laura, aku mencoba memancing apakah masih ada kadar cinta yang tersisa.

“ Laura, Tia mengajakku ke bar setelah makan malam. Boleh aku ikut.?”
Gimana sih. Tadi sudah Laura bilang jangan terpancing, kok malah mau pergi. Emang maunya mas, dasar.!?”
“ Laura ! Kenapa marah ? jawabannya so simple , “ ya” atau “tidak”
“ Tidak!” tegasnya.
Iya, wis. Aku pergi sendiri.!” ( Bersambung)

Los Angeles. September 2009

Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/