Wednesday, August 19, 2009

Telaga Senja ( 104)

This could be our last goodnight together/We may never pass this way again/ Just let me enjoy 'till its over or forever/Please don't tell me how the story ends.

See the way our shadows come together/Softer than your fingers on my skin/Someday this may be all that we'll remember of each other/Please don't tell me how the story ends.

Never's just the echo of forever/Lonesome as the love that might have been/Just let me go on loving and believing 'til it's over/Please don't tell me how the story ends.
Please don't tell me how the story ends...
======================
“ Om, aku dan mas Tan Zung, hari ini nggak ngantor. Kami mau kerumah sakit. Iya...ya...berdua..! Terimakasih om.!”
“ Lho, siapa yang mau kerumah sakit.?”
“ Kita berdua mas !”
“ Kenapa?”
“ Sama-sama sakit jiwa.” jawabnya enteng.
========================
SUASANA mendung kamar Laura berubah cerah secerah mentari pagi dari ufuk timur. Kelopak yang hampir luruh, merekah mekar menebar semerbak wangi. Ibu kos menyambut dengan senyum mengembang ketika kami keluar dari kamar; Dia memeluk Laura bagai putri kandung seraya melirikku. “ Sudahan ?” bisiknya ke telinga Laura. Laura tersipu. “ Ayo kita serapan bareng. Mas, kamu duduk disana,” aturnya. “ Pukul berapa berangkat ngantor .” tanya ibu sembari melihat arloji tangannya. Aku dan Laura saling pandang tentu saja dengan senyum. “ Hari ini kami nggak ngantor bu Kami mau mensyukuri kemenangan,” jawabku.

“ Menang apa,?”
“ Maksudku mengucap syukur karena Laura sembuh dari sakit.”
“ Laura sakit apa.?” tanya ibu serius.
“ Penyakitnya banyak bu; Sakit kepala, sakit hati dan sakit jiwa.”
“ Hush....ngomong sembarangan,!” tegur ibu kos, janda bercucu dua ini.
“ Aku serius bu. Dia dua hari dirawat di rumahsakit sepulang dari Yogya. Gunawan yang mengantar ke rumahsakit,” jelasku sambil melirik Laura, ingin tahu reaksinya. Ah...dia biasa-biasa saja.
“ Siapa Gunawan?”
“ Temanku di Yogya, dulu satu kampus bu,” jawab Laura. Matanya tertuju kearahku, tiba-tiba redup lagi. Pancaran matanya seakan memohon: “ Sudahlah mas, aku masih terluka.”

“ Gunawan terpaksa menolong Laura, mengantarkan ke rumahsakit. Kebetulan bu, aku juga kelelahan sepulang dari Yogya, ketiduran, sehingga tidak mendengar telepon Laura,” jelasku mengobati rasa dongkol Laura. Hhmm....kini bibirnya mengukir senyum. Berlagak seperti waitress, aku berdiri sambil mengisi minuman ke gelas Laura, disambut tawa ibu kost. “ Kok cuma sendiri..?” tanyanya ketika aku hanya mengisi air minum Laura.
“ Hanya itu yang dapat kuberikan pagi ini sebagai ucapan syukurku, sekaligus pengganti airmata yang tertumpah sejak tadi malam,” ujarku berlagak serius pula. Keduanya, ibu dan Laura tertawa lepas. Sementara serapan agak tertunda menunggu keduanya mengakhiri rasa geli mereka.

“ Mas Tan Zung, aku jadi teringat almarhum suamiku. Kalau ibu lagi kesel, bapak anak-anak paling bisa deh. Wuuhh..bisa-bisa seisi rumah seharian ketawa,” tutur dia sambil menyeka airmata ketawanya. Selama serapan pagi, aku dan Laura mendapat “wejangan” dan tuturan pengalaman ibu pada masa-masa sulit dan senang bersama suaminya ketika masih hidup.
***
Selesai serapan pagi, ibu meninggalkan aku dan Laura dirumah.” Kalian baik-baik dirumah, ibu mau lihat cucu. Jangan lupa tutup pintu kalau kalian masih ngobrol di rumah,” ujarnya sambil ketawa.
“ Apa sih maksud ibu itu? Disuruh tutup pintu kalau ngobrol di rumah.?” tanyaku geli kepada Laura setelah ibu berlalu.
“ Mana aku tahu. Kenapa nggak tanya kepada ibu itu.?”
“ Pukul berapa kita berangkat,? tanyaku.
“ Berangkat kemana mas.?”
“ Kerumah sakit jiwa,” balasku disambut tawa renyah Laura. Aku mengajak Laura duduk di ruang tamu.

” Ini kesempatan yang terbaik untuk menyembuhkan “penyakit jiwa” kita,” ujarku.
“ Apa lagi mas yang kita bicarakan. Nanti mas marah-marah lagi,” jawabnya seperti orang ketakutan.
“ Nggak lagi. Aku sudah menyadari kesalahanku , kini aku bertobat.”
“ Apa jaminannya?” tanyanya diiringi senyum.
“ Jaminannya? Bila marah, aku jadi keluar dari kantor dan pulang ke Medan.”
“ Kan? Mas mulai lagi nih. Ntar cari gara-gara. Memang mas serius mau pulang ke Medan?” tanyanya serius.
“ Tergantung akhir pembicaraan kita nanti. “
“ Laura nggak mau ah. Mas pintar ngomong, ntar aku lagi disalahin. Nggak, aku nggak mau bicara lagi.!”

“ Okey, nggak pakai jaminanlah. Kita bicara seperti biasa saja. Kenapa Laura sebut kita berdua sakit jiwa.?” tanyaku. Laura tidak langsung menjawab, dia hanya ketawa geli sambil terus menatapku.
“ Laura! Aku serius.”
“ Oh ya? Mas serius? Ya, kita memang seperti orang sakit jiwa, saling mencemburui, padahal sudah tahu kita tidak saling memiliki,” ketawanya, lepas. “ Tetapi pagi tadi aku sudah minta maaf kepada mbak Magda kok.” imbuhnya.
Heh..Laura telepon Magda dan minta maaf. Minta maaf kenapa..?” sergahku.
“ Karena aku tak mampu membatasi diriku. Jujur mas, aku memang jatuh hati walau tak pernah ku ucapkan.”

“ Laura jatuh hati? Tetapi aku tak pernah memungutnya.!” jawabku berlagak serius.
“ Aku tahu mas. Itulah sebabnya aku menangisi diriku sendiri. Namun belakangan hati ber tanya namun tak kunjung terjawab pasti. Sejak kita di Yogya hingga aku jatuh sakit dan dirawat dirumah sakit, perhatian mas terhadapku seakan telah memungut hatiku yang terjatuh.”
“ Perasaanmu saja itu,” balasku. Laura agak kaget mendengar hentakan suaraku beraksen Medan pula.

“ Ya mas. Sekarang aku sedang mengutarakan perasaanku. Tampaknya mas nggak mau mengaku jujur. Kenapa mas marah dan keluar dari hotel di Yogya ketika mas mendengar bahwa aku pegangan tangan dengan Gunawan, padahal aku berpegangan tangan dengan om Laurance? Mas merasa kesal ketika Gunawan lebih dulu mengajakku dance di diskotik, merngapa ? Kenapa mas marah, ketika Gunawan mengantarkanku ke rumahsakit ? Mas meninggalkanku di casino seperti perempuan hina kala aku menyebut nama Gunawan, padahal mas sediri yang memulainya.?”
“ Kamu benar Laura! Aku memang cemburu karena perasaanku juga seperti apa yang kamu rasakan, jatuh hati. Bagiku ini sangat menyakitkan, karena aku masih mencintai Magda. “

“ Berbahagialah mas, karena ada yang perempuan yang mencintai dan setia menunggu, tidak sepertiku bercinta dalam mimpi-mimpi.”
“ Laura kita berhak saling ....”
“ Tetapi tidak akan saling memiliki...” potongnya sembari ketawa.
“ Mungkin Laura mempunyai ide jalan keluar agar kita terlepas dari jeratan mimpi-mimpi indah ini, sebelum melangkah lebih jauh.?”
“ Punya! Jalan terbaik, aku pulang ke Yogya.!”
“ Itu namanya melarikan diri, bukan jalan keluar.! Laura, biarkan riak dan gelombang itu tetap menyatu dalam samudera luas. Satu saat dia teduh dalam buaian semelir angin.”

“ Tetapi aku takut mas, riak dan gelombang menyatu dengan deburan ombak menggulung dan menghempaskan pada tepian berbatu cadas.”
“ Laura, perjalanan waktu telah menujukkan jati dirmu. Tangan yang tak tampak akan menghantarkanmu pada hamparan rumput hijau nan luas.”
“ Bagaimana mas meyakininya?"
“ Bercermin pada kebeningan hati dan jiwamu“

" Mas, tetapi hingga kini tanpa sinar, masih tertutup bayang-bayang gelap. Mungkin hanya satu jalan meneduhkan hati, aku akan pergi menjauh keujung jalan sana.?"
" Jangan ucapkan itu Laura. Tanganmu tak cukup lebar menghempang sinar mentari. Biarkan dia bergulir dan berhenti di peraduan ufuk barat. Just let me go on loving and believing 'til it's over. Please don't tell me how the story ends. ( Bersambung)

Los Angeles, August 2009


Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/