If I had to live my life without you near me/The days would all be empty/The nights would seem so long
Nothing's gonna change my love for you/You ought to know by now /how much I love you One thing you can be sure of/I'll never ask for more than your love
If the road ahead is not so easy/Our love will lead a way for us/Like a guiding star /I'll be there for you if you should need me/You don't have to change a thing /I love you just the way you are
Aku dan Magda kaget ketika sopir menegurku dari kursi depan,” Hoi,.. Zung! Unang sai paksa. Sabar ho. Paima jo satongkin na i” ( Hoi, Zung ! Jangan main paksa. Sabar lah. Tunggu dulu sebentar, pen). Aku terpelongo, Magda pun segera mengangkat kepalanya.
=======================
Sebelumnya, aku telah berusaha membela sebelum “vonnis” dijatuhkan. ” Kita harus maklum. Dia baru datang dari kampung," belaku. Tetapi semua teman perempuan , kecuali Magda, serempak protes: “ Biar juga baru datang dari kampung tetapi harus tahu sopan lah. Merokok pun di sembarangan tempat.”
Magda sepakat denganku, “ Poltak tidak boleh dipecat langsung dari keanggotaan. Dia butuh “tuntunan”. Mereka setuju usulanku. Semua mendaulatku menjadi ”counselor” karena aku juga berasal dari kampung. Perbedaanyaku dengan Poltak, mata, tangan dan mulut selama ini, tetap terjaga santun.
Sebelum menjalankan tugas “ counselor”, terlebih dahulu mengadakan pendekatan. Makan bersama di restauran Kp. Keling, tempat tongkrongan pasangan berpacaran. Disana aku sampaikan keluhan teman belajar, khususnya perempuan.
“ Sementara ini kamu belajar sendiri dulu di rumah. Meski kita sudah lulus pelonco dikampus, tetapi untuk mata kayaknya kau belum lulus,” guyonku. Tiga kali hari Sabtu, Poltak bersamaku. “ Aku mau mengajakmu berkunjung ke beberapa tempat,” ujarku. Aku memberi jadual tiga tempat kunjungan. Ketiganya adalah tempat “mencuci mata, Poltak setuju.
Poltak menurut ketika aku ajak nongkrong di satu warung kecil, depan bioskop, sambil minum kopi. “ Pandang sepuasmu perempuan cantik-cantik itu. Tetapi jangan terlalu mencolok. nanti di pas-pas ( disikat,pen) kau,” ujarku.
” Belajar serius bukan disini tempatnya,”tegurku.
“ Banyak pekerjaaan rumah Zung,” jawabnya.
“ Kelompok belajar kita sedang belajar serius, matamu jelalatan. Dibawa ke parkiran, tempat mata jelalatan, kau belajar serius pula.”
“ Samanya semua ku tengkok,” balasnya.
Ah...kau hampir lulus, tawaku dalam hati. ” Omong-omong berapa kalian bersaudara?”
“ Lima orang,” jawabnya.
“ Berapa perempuan?”
“ Oh...nggak ada,” jawabnya. Ah..pantaslah kawan ini seperti kijang kehausan, pikirku.
Akhir “ pembinaan”, aku mengajaknya ke kebun binatang. “ Disana banyak “binatang” sedang berahi,” kataku. Awalnya dia menolak.
“ Ah..kejam kali lah lae ( bung, pen) Secantik apapun binatang tetap saja binatang,” kesalnya.
“ Poltak ! Ini akhir perpeloncoan untuk kau sebelum diterima kembali ke group. Ini yang paling menentukan Atau terserah kau lah. Aku terpaksa melaporkan kepada kawan-kawan, kalau kau menolak pelonco akhir.”
“ Iya lah lae.” ujarnya terpaksa.
“ Jangan lupa bawa rokok. Dua batang saja, bagianku sebatang.”
Akhir "pembinaan", ketika kami ke kebun binatang, Poltak mulai curiga ketika aku membawanya ke tempat agak gelap, dibawah pohon besar dan rimbun.
” Zung, ngapain kita ke tempat semak seperti ini?” tanyanya.
“ Cammana? Sudah puas kau? Isap rokoknya, biar jangan gemetaran kau,” gurauku.
“ Ah...jijik pun aku lihatnya," balasnya.
“ Poltak! Kau lulus. Kalau kau tadi ikut syuur, berarti sama lah kau dengan mereka. Membuang hajat disembarangan tempat. Iya kayak makhluk dalam kandang itu. ”
“ Lho, kok isterinya sendiri dibilang menggerogoti? “ tanya Magda keheranan.
“ Iya itu yang ke dua.”
“ Boh! Isterimu dua? Beruntung lah kau? Isterimu tahu kalau punya simpanan? tanyaku.
“ Tahu setelah aku ceraikan.”
“ Memang sejak dulu pun aku sudah melihat kau punya bakat,” ejekku.
“ Kapan kalian menikah? tanya Poltak mengalihkan ejekan lanjutan
“ Dua minggu lalu. Kami sedang honey moon. Besok kami kembali ke Medan.” ujarku. “ Jangan lupa mampir ke rumah kalau pulang ke Medan,” lanjutku sambil menyebut alamat rumah.
“ Oh..kalian masih tinggal di rumah ito Magda ?”
“ Ya. sementara kami menumpang di rumah mertua,” ujarku.
“ Dia itu raja tega mam. Papa sengaja bilang kita sudah nikah. Aku takut kalau papa ngaku masih pacaran, dia hembuskan pula ilmunya ke mama. Mama bisa tergila-gila. Papa kan ikut jadi korban!?”
“ Nggak ada ilmu mempan ke aku. Mama sudah bilang, segudang lelaki antri menunggu jawabanku. Tak satu pun mama layani.”
“ Poltak beda. Dia nggak perlu antri. Modalnya cuma sebatang rokok. Tiup ke wajah perempuan, langsung “menggelepar”.
“ Emang ayam ! Sudah ah...papa makin ngaco. “ Bagaimana kalau dalam waktu dekat, kebetulan dia datang ke Medan dan mampir ke rumah?”
“ Kalau dia mampir, bilangin aku sedang mancing."
" Mancing keributan iya pap," tawanya.
" Eh...mam, sudah pukul tiga, tidurlah. Papa tidur di sofa ini saja.”
“ Mama ikut papa, tidur disni,” ujarnya sambil merebahkan tubuhnya di sisiku
“ Ntar ketahuan orang tua Rina dan ibu, nggak enak.” ujarku
“ Ibu papa kan calon mertuaku. Kenapa harus malu?” balasnya.( Bersambung)
Los Angeles. November 2009 http://tanzung.blogspot.com/