Tuesday, June 23, 2009

Telaga Senja (61)

You've got me feeling emotions/Deeper than I've ever dreamed of/You've got me/feeling emotions/Higher than the heavens above

I feel good /I feel nice/I've never felt so/Satisfied/I'm in love/I'm alive
Intoxicated/Flying high/It feel like a dream/When you touch me tenderly/I don't know if it's real/But I like the way I feel/Inside

Chorus
In the morning/When I rise/You are the first thing/On my mind/And in the middle Of the night/I feel your heartbeat/Next to mine/It feels like a dream/When you love me tenderly/I don't know if you're for real/But I like the way I feel/Inside

Chorus
You know the way to make me lose control/When you're looking into my eyes/You make me feel so /High
=====================
Dari jawaban Laura aku menangkap , mereka menanyakan hubunganku dengan Laura. Akhir npecakapan mereka Laura menjwab,” Iya, teman satu kantor.”
======================
Perhentian berikutnya, pasangan suami isteri yang duduk didepan kami dan sebahagian penumpang lainnya mulai berkemas turun sementara laju kereta mulai berjalan pelan, tetapi tidak dengan Laura.
” Tiga jam lagi, kita turun di perhentian terakhir. Capek iya mas,” jawab Laura, ketika aku tanyakan pukul berapa tibanya.
“ Capek dan membosankan. Aku kira kita dapat melihat pemandangan sepanjang jalan,” ujarku pelan dekat telinganya.

“ Kalau mau lihat desa dan kota sepanjang jalan mestinya naik bus, mau nanti kita pulang naik bus.? “ tanyanya serius.
“ Naik kereta saja aku sudah modar, apalagi mau naik bus? Nggaklah!” jawabku sembari ketawa, takut dia tersinggung.
“ Enak memandang dari atas, nyampainya lebih cepat, mau, ?” tanyanya lembut.
“ Terlalu cepat juga nggak enak.”
“ Mau lebih lama? Jalan kaki .!” guyonnya.

Perjalanan yang memakan waktu belasan jam itu berakhir di stasion kereta yang kami tuju, Yogyakarta. Laura melarangku mengangkat barang bawaan kami. “ Mas, tunggu disini saja, aku keluar sebentar barangkali mas Mathias datang menjemput kita,” ujarnya lantas dia pergi keluar. Tidak berapa lama, Laura sudah kembali dengan seorang lelaki berpakaian necis serta adikku Lam Hot. Laura mengenalkanku seraya menyebut nama.

“ Oh....mas Tan Zung? Iya..iya kemarin mas Lam Hot sedikit cerita tentang mas,” ujar Mathias sambil membantu Laura mengemasi barang-barang kami. Mata Lam Hot menatapku tajam karena tak satupun barang aku sentuh, memang Laura tidak membiarkanku ikut mengemasi barang-barang kami. Lam Hot tidak tahu kalau selama perjalanan aku jatuh sakit. Namun, akhirnya dia maklum setelah melihat Laura buru-buru memegang tanganku ketika aku hampir limbung saat berdiri.

“ Kenapa bang?” tanya dia prihatin.
“ Aku nggak apa-apa, hanya kecapaian,” jawabku.
“ Begini nih mbak, kalau orang desa berpergian jauh,” .
“ Iya, kalau jalan jauh, biasanya aku di gendong,” jawabku disambut ketawa Laura, sementara Mathias berjalan mendahului sambil membawa sebagian barang kami.
“ Bang, buka dulu syalnya itu. Entar abang dikirain lelaki tak sempurna, mana jalannya melambai,” ujar Lam Hot pelan menyadarkanku. Laura hanya tersenyum melihatku karena buru-buru membuka lilitan syal dari leherku.

Ketika sudah turun dari kereta, adikku Lam Hot mulai usil; ” Mbak, lepaskan dulu tangannya biar abang belajar jalan, katanya olahragawan tetapi badannya kok rapuh, manja kalipun abang,” celotehnya. Laura hanya ketawa geli mendengar ocehan adikku.
“ Nanti juga pulih. Mas hanya butuh istrahat, “ ujar Laura.
“ Laura, tolong kamarku dipisahkan dengan Lam Hot. Aku nggak bakalan bisa istrahat, dia ini akan ngoceh terus sepanjang hari.”
“ Iya, tidur di emperanlah biar lebih segar, atau tidur dirumah mbak,” celetuk Lam Hot.

“ Mau mas tidur di rumahku,?” sambar Laura serius.
“ Laura ! wong ngawur kok ditanggapin,” jawabku.
Sepanjang perjalanan menuju penginapan, dalam mobil, Laura masih memberi perhatian khusus tentang kesehatanku. “ Nanti sore kita kedokter iya mas,” usulnya.
“Iyalah mbak, aku curiga dengan penyakit abang ini. Sudah tiga hari kok nggak ada perubahan,” ujar Lam Hot mendukung usul Laura. Mathias mengangguk setuju ketika Laura memintanya membawaku ke dokter sore harinya.
“ Terimakasih Laura, tetapi jangan buat appointment dulu. Mungkin aku hanya butuh istrahat.”

“ Nggak apa-apa mas. Kalau nanti sore sudah sehat, aku bisa batalin,” jawabnya.
“ Mungkin juga mbak abang hanya butuh istrahat. Soalnya belakangan ini kerjanya lembur terus hingga larut malam. Biar saja dulu abang tidur selama seminggu dikamarnya,” ujarnya berlagak serius.
“ Hot, kok sejak tadi kakaknya digangguin terus,” bela Laura.
“ Biarkan Laura, beraninya kan karena aku sedang sakit,” ujarku disambut tawa Lam Hot. Mathias senyam senyum mendengar percakapan kami, sesekali melirik kebelakang lewat kaca spion.

Tiba di hotel dua orang karyawati menyambut kami dengan sangat ramah; keduanya menyalami Laura sembari sedikit membungkkan tubuh, lantas menyalamku. “ Mas Tan Zung, kakaknya Lam Hot,” ujar Laura mengenalkanku kepada kedua karyawati. Laura bergegas meninggalkan kami, dia pergi ke kantor hotel, sejenak bicara dengan Mathias. Tak berapa lama Laura datang menemuiku.

“ Ini kunci kamarnya mas,” ujarnya .
“ Lho, kenapa aku pisah kamar dengan Lam Hot ?” tanyaku heran.
“ Ngga apa-apa mas biar istrahatnya lebih nyaman.” jawabnya ketawa.
Aku dan Lam Hot saling pandang lantas ketawa bersamaan. “ Mbak, ntar kalau abang pingsan nggak ada yang tahu. Biarkanlah kami satu kamar. Aku janji nggak gangguin abang,” ujarnya ketawa.
“ Nggak apa-apa kok, nanti adik Lam Hot sesekali ngecek mas Tan Zung ke kamar,” balas Laura serius. ( Bersambung)

Los Angeles. June 2009


Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/