Monday, October 5, 2009

Telaga Senja (134)

Still Loving You/Time, it needs timeTo win back your love again/I will be there, I will be there/Love, only love/Can bring back your love someday/I will be there, I will be there

Fight, babe, I'll fight/To win back your love again/I will be there, I will be there
Love, only love/Can break down the wall someday/I will be there, I will be there

If we'd go again/All the way from the start/I would try to change/The things that killed our love/Your pride has built a wall, so strong/That I can't get through/Is there really no chance/To start once again/I'm loving you

Try, baby try/To trust in my love again/I will be there, I will be there Love, our love/Just shouldn't be thrown away/I will be there, I will be there

If we'd go again/All the way from the start/I would try to change/The things that killed our love/Your pride has built a wall, so strong/That I can't get through/Is there really no chance/To start once again

If we'd go again/All the way from the start/I would try to change/The things that killed our love/Yes, I've hurt your pride, and I know/What you've been through/You should give me a chance/This can't be the end/I'm still loving you /I'm still loving you

I'm still loving you, I need your love/I'm still loving you, Still loving you baby /I'm still loving you, I need your love/I'm still loving you, I need your love I need your love

==================
Sebelum masuk kedalam mobil, Laura kaget ketika tiba-tiba aku mengangkat tubuhnya dalam pelukanku, kemudian memasukkannya ke dalam mobil. Laura tak meronta. Aku terjerembab, tak sengaja, menindih tubuhnya ketika merebahkan tubuhnya ke atas jok mobil. Laura diam. Aku mendengar irama detak jantungnya berpacu dengan nafas sengal. Iramanya kadang rendah kemudian dengan tempo tinggi.
==================
AKU membiarkan nafas Laura “normal” kembali. Matanya tak mampu menatapku dalam pembaringan diatas jok mobil.
“ Sudah boleh kita berangkat, atau Laura mau...” Belum selesai aku bicara Laura tiba-tiba bangkit dari rebahnya. Entah roh apa pula medorong dia menamparku. Meski tak kuat tapi mengagetkan. Hhm..tamparannya nggak jauh beda dengan ayunan tangan Magda dan Susan. Ada sesuatu dibalik telapak tangan yang membekas di pipiku.

“ Mas boleh berbuat semaumu dengan Tia dan Ririn, tapi bukan dengan aku.” Belum aku memberi respon, tangannya kembali melayang. Dia meronta ketika aku menahan tangannya, kemudian bungkam ketika aku menjawab tamparanya dengan sebuah kecupan.
“ Laura, aku tidak berlaku bejat dengan Tia dan Ririn. Juga, aku tidak akan berbuat apapun denganmu, kecuali kamu memaksaku....”
“ Nggak. Ayo mas, nanti kita kemalaman.”

Kesepakatan untuk tidak saling memiliki semakin kabur, setidaknya tiga hari belakangan. Sepertinya Laura tak dapat menyembunyikan rasa cemburu ketika aku bersama dengan Tia dan Ririn. Selain tegurannya tentang “uang sampah” yang diberikan oleh Tia dan tidurnya Ririn dikamar saat malam dia tiba, aku semakin merasakan ada nuansa lain, cemburu.
***
Senja menjelang malam, kami tiba di Jakarta, Laura tidak mau langsung pulang kerumahnya. Dia mampir ke kamarku. Seperti biasanya, bila aku meninggalkan rumah atau terlambat pulang sejumlah pesan tertulis telah terletak di atas meja. Sebelum ke kamar mandi aku sempat membaca catatan kecil yang ditulis oleh ibu kost, nama Magda pada urutan pertama menyusul adikku dari Medan dan Rizal si “centeng” night club bekas satu perguruan bela diri di Medan. Kembali dari kamar mandi, pesan dari Rizal raib. Aku berusaha mencari dikolong meja, barangkali terjatuh, namun tak menemukannya.

“ Laura, kalau nyolong mesti belajar ke aku dulu.” tegurku setelah melihat lipatan note kecil dalam tangannya. “ Rizal itu sahabat lamaku di Medan. Tolong bacakan isi pesannya. Aku nggak butuh kertasnya.” bujukku.
“ Mas, nggak boleh kesana.”
“ Kemana?” tanyaku penasaran.
“ Ketempat waktu mas berantem malam minggu lalu.”
“ Kebetulan. Malam ini memang aku mau rencana kesana. Mau ikut?”

“ Gimana sih, dilarang malah mau pergi,”protesnya.
“ Kita hanya sebentar saja Laura. Kalau kamu ikut aku janji nggak minum.”
“ Kenapa nggak di telepon saja mas.”
“ Mungkin bossnya mau ketemu langsung.”
“ Mas mau ngapain ketemu bossnya? Mau jadi preman?”

“ Kenapa kalau jadi preman? Memang itu perkejaan hina?”
“ Mas serius?”
“ Oh..iya. Aku tak pernah iseng kalau sudah menjadi pilihanku. Merampokpun aku serius. Soal akibat, urusan belakang,” ujarku. Laura menanggapi serius “ Belajar dimana sih mas?”
“ Di dunia preman!” jawabku singkat.
“ Kenapa harus capek-capek sekolah kalau mau jadi preman?”
“ Jadi kamu menganggap semua preman tak mempunyai pendidikan? Bukankah negara ini tetap miskin gara-gara preman yang mempunyai kekuasaan dan latar belakang pedidikan? Laura, bukan saja didalam lembaga pemerintah, di lembaga agama juga banyak avontirir, kembarannya preman.

“ Mas ngaco!”
“ Kamu salah satu diantara ratusan juta anak bangsa ini mempunyai sikap masa bodoh atas perilaku para preman di negara ini. Meski ku akui aku juga perampok. “
“ Itu mah sableng namanya. Perampok tuding perampok.”
“ Sekarang aku sudah sadar Laura. makanya aku mau mengundurkan diri dari pekerjaanku. Aku memang pelacur profesi. Bukan saja aku mengkhianati pak Adrian, juga aku telah mengkhianati profesiku. Daripada aku terus dihantui rasa bersalah, aku putuskan keluar dan bekerja sebagai preman sungguhan. Laura, ada satu permintaaan khusus untukmu; “ Kalau mau bersahabat abadi denganku, tolong jangan beritahukan kepada Magda keputusanku ini. Biar nanti aku yang jelaskan.”
“ Nggak janji mas.!” ujarnya pelan. Wajahnya murung sembari merebahkan tubuhnya diatas tempat tidurku. ( Bersambung)

Los Angeles. October 2009


Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/