Wednesday, June 3, 2009

Telaga Senja (47)







================
“ Bang, aku yakin itu, setelah kejadian atas Rina. Sebelumnya, semua keluarganya termasuk aku menduga, abanglah yang bertanggungjawab. Selain membaca catatan harian kak Rina, penampilan abang seperti “playboy”.
“ Jadi kenapa lagi kamu meragukanku.?”
“ Kalau yang satu itu aku tak ragu. Tetapi abang selalu bermain api.”
================

Tidak lama setelah Lam Hot “menasehati”ku, Laura datang membawa tiga bungkus makanan berikut minuman ringan. Sebelum Laura masuk kerumah, Lam Hot sudah mulai ngoceh; “ Abang saja yang makan, aku nggak.”
“ Hot jangan cari perkara kau. Laura itu bukan perempuan murahan, jangan merendahkan kebaikan dan ketulusannya. Boleh kamu nggak setuju, tetapi tak ada urusanmu seujung rambutpun dengannya. Hormati orang lain agar kamupun dihormati,” ingatku serius. “ Bantuin dia bawa makanannya, sebelum kupenggal kepala kau,”ancamku.

“ Ah..payah kalipun abang, masya kita jadi berantuk gara-gara dia,” omelnya sambil menyongsong Laura kedepan rumah. Sebelum Laura sibuk meyiapkan makanan, aku meyuruh Lam Hot menyiapkanya; dia meliriku dengan muka masam; “Bah....!” ketusnya. Laura merasa geli melihat tingkahnya.

“ Aku cemburu lho lihat mas dan adik Lam Hot, bertengkar tetapi kompak, seru.!” ujarnya. ‘Aku nggak punya teman “ribut”, sepi,” imbuhnya.
“ Mau heboh? Cocoklah dengan abangku ini, tukang ribut dan tukang koyok.!”
Laura tergelak mendengar jawaban Lam Hot; Mas apa artinnya tukang koyok.?” tanyanya.
“ Tukang makan...” tukasku sebelum Lam Hot jelaskan arti sebenarnya sembari mempelototi Lam Hot.

“Ayo siapa yang mimpin doa.?” tanyaku.
“ Ya, tukang koyoklah,” celutuk adikku. Karena tak satupun yang mau memimpin doa, akhirnya masing-masing menundukkan kepala, Laura lebih serius dan khusuk. Aku dan Lam Hot saling mencuri pandang, sembari menunggu Laura menuntaskan doanya.
Sambil menikmati makan siang, Laura menanyakan rencana Lam Hot dan pacarnya Rima pada hari lebaran minggu depan. “ Kami mau ke tempat eyang di Yogya.”

“ Naik apa?”
“ Naik kereta, kami sudah beli tiket.”
“ Pergi berdua atau dengan calon mertuamu.?” tanyaku
“ Berdua. Abang mau ikut.?”
Laura langsung menyambut ajakan Lam Hot, “ Mas, aku juga mau liburan disana. Mas, kita pergi bareng iya, biar aku pesan tiket !” ajaknya. Aku langsung setuju, kebetulan ingin tahu kotanya serta ingin melihat candi Borobudur yang telah lama kuidam-idamkan. Wajah Laura sumringah mendengar jawabanku, kecuali wajah Lam Hot sedikit berubah, masem.

“ Kita berangkat sama iya Hot, berangkat dengan kereta senja?” tanyanya.
“ Kereta malam.!” jawabnya singkat.
Sepulang Laura, Lam Hot masih ngedumel karena aku ikut ke Yogya bersama dengan Laura.
“ Kemanalah nanti abang menginap.? Aku belum tahu kalau rumah eyang cukup kamar untuk kita.”
“ Aku nggak mau tidur ditempat eyangmu itu. Aku mau nginap di hotel, kelasku bukan rumahan,” jawabku kesal.
“ Kalau begitu, biar aku ikut abang tidur dihotellah.”
“ Boleh. Tetapi bayarnya bagi dua, makan juga bayar sendiri-sendiri.!”
“ Iyalah. Lebih banyaknya uangku dari uang abang. Abang lupa, kamar inipun masih akunya yang bayar,” ujarnya renyah.
***
Perpindahan kos ke dekat kantor untuk meghindar pergi pulang bareng dengan Laura tidak sepenuhnya berhasil. Pagi sebelum kekantor, Laura masih selalu mampir kerumah menjemputku demikian halnya ketika hendak pulang. Cara lain untuk menghindar, satu-satunya, berangkat lebih awal dengan jalan kaki, alasannya untuk kesehatan. Namun yang tak dapat dihindarkan adalah, saat mau pulang, sebab waktu bubaran pada waktu yang sama.

Lam Hot masih sering melihat aku dan Laura pergi bersamaan, kebetulan bila dia kekantornya harus melalui depan kantorku; Dia hampir tiap hari mampir ke tempatku setelah pulang kerja, tak jarang pula dia ketemu dengan Laura di tempat kosku. Satu saat, setelah Laura meninggalkan tempatku, Lam Hot menggerutu :” Aku sudah bilang, abang banyak kali koyoknya. Katanya nggak mau jalan bareng kalau kantor, padahal dirumah selalu bareng, makin parahlah bang.!”
“ Dia hanya mampir sebentar. Kadang juga membantu menyelesaikan kerjaan kantor. Hot, kamu jangan berprasangka.”

“ Lebih baik abang pulang ke Medan. Disana juga banyak pekerjaan.”
“ Aku sudah mulai kerasan tinggal di Jakarta ini.!” ujarku
“ Aku ragu nanti abang semakin rusak, nggak ada yang kontrol, kalau di Medan kan ada kak Magdalena. “
“ Kenapa aku harus dikontrol? Memang ada kelakuanku berlebihan.?”
“ Abang baru seminggu di Jakarta sudah seharian di meja judi, teler di club malam. Aku yang sudah lama disinipun tak tertarik ke casino dan club malam.”
“ Itu kan hanya kebetulan.” (Bersambung)

Los Angeles. June 2009

Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/