Thursday, July 16, 2009

Telaga Senja (80)

====================
Sesekali Laura melirik kearahku sembari berbicara dengan maminya. Tak berapa lama wajahnya redup, suaranya terasa sesak; “ Mam, suruh dia pulang! Lala nggak mau..... Nggak mam. Mammm...! nggak! “ hentaknya, lantas menutupkan telepon. Laura berusaha menguassai emosinya yang baru saja “meluap”.
=====================
Laura merebahkan tubuhnya diatas tempat tidur usai beribicara dengan maminya.. Dia menutup wajahnya dengan bantal seakan menutupi gejolak jiwa yang sedang membatin. Keheningan kamar tak berlangsung lama ketika Laura tak mampu membendung ekspresi kekecewaannya, suara isak tangis tersembul dari balik bantal bersarung putih itu, pelan.

Aku tetap memaku diri disudut ruangan, mataku menerawang ke langit-langit. Kupenjamkan mata menanti surut riak gelombang yang sedang terdera. Mungkinkah hatinya gundah pada dua sayap “rapuh” yang membawa hatinya jauh terbang tinggi ke angkasa .?” Dalam keprihatinan siang, aku menduga, seseorang, mungkin Gunawan Chan, datang berkunjung kerumahnya dan mau mengajak Laura jalan bareng. Sial bagi tamu Laura, entah siapun dia, Laura sedang bergayut khayal dengan seseorang pemuda batak bernama, Tan Zung.

Hanya berjarak beberapa menit setelah pembicaraan pertama berakhir, dering telepon turut memecahkan heningnya kamar yang didalamnya dua insan, satu memeluk harapan terpana dalam pesona jiwa, sementara yang satu menyimpan rindu lain dalam rongga jiwa.

Laura bangkit dengan tubuh lunglai . Tangannya meraih gagang telepon. Wajahnya tertunduk tanpa ekspresi, juga tak lagi menoleh kearahku yang masih duduk disudut ruangan. Suaranya lemah menjawab suara maminya diseberang sana: “ Mamm.....Lala nggak mau. Nggak..! Lala belum mau pulang. ...Iya..Lala mau bepergian hanya dengan om Laurance, tidak dengan dia mam...please mamm. Nanti malam Lala mau jalan dengan mas Tan Zung mam....... Besok juga. Iya....Lala baru sekali jalan dengan mas Tan Zung. Lusa..? Lala mau pulang dengan mas Tan Zung...Iya naik pesawat. Sudah iya mammm... Lala mau jalan dulu. ....Iya mam...”

Sepertinya Laura baru menang dalam peperangan maha dahsyat, hal itu terlihat dari cerimin wajahnya. Laura menoleh kearahku, lalu beranjak dengan wajah menunduk menuju kamar mandi.
“ Mas, permisi sebentar ke kamar mandi,” ujarnya , suaranya hampir tak terdengar.
Berbekal pengalaman dengan Magda dan Susan, aku simpulkan, Laura ke kamar mandi ingin melampiaskan rasa kesal yang masih tersisa. Beberapa saat aku mendengar Laura terbatuk-batuk, kemudian mendengar suara pancuran air. Hmmm Laura bermain cantik.
Dia menghidupkan air menutupi isak tangis yang tak tertahankan. Cara sahabatku Susan melampiaskan rasa kesal, menangis sambil teriak. Juwita hatiku Magdalena, terisak tetapi matanya terus manatapku, seakan berucap, “ Zung, lihatlah air mataku hampir kering sudah gara-gara kelakuanmu.”

Namun bagiku belum jelas, Laura menangis karena apa dan untuk siapa? Aku mengetuk kamar mandi dan memanggil , sementara air masih terus mengucur dari keran. Laura keluar dai kamar mandi dengan wajah dibiarkan basah, sedikit membasahi kepala . Kelopak matanya memerah masih menyisakan cairan bening. Begitu rumitkah persoalan yang dihadapinya sehingga kepalapun membutuhkan air sebagai pendingin.?

“ Mas, boleh aku berbaring sebentar,” tanyanya, sesaat keluar dari kamar mandi.
“ Laura sakit? Mau aku antar ke dokter Lou,” tanyaku menggoda. Laura tertawa sambil menutup mulutnya, kemudian dia membaringkan tubuhnya diatas tempat tidur. Aku permisi sambil keluar dari kamar, “Sebentar aku panggilkan dokter iya,” ujarku sambil membuka pintu. Laura berteriak; “ Mas, aku nggak sakit. Aku cuma istrahat sebentar, kepalaku pusing.”

Laura sadar aku kerjain; dia membalas balik, “Iya mas, tolong panggilkan dokter Lou sekalian dengan anaknya Gunawan.”
“ Serius nih?”
“ Ya. Tetapi mas sendiri yang jemput. Nggak boleh minta bantuan orang lain.”
“ Boleh. Aku tahu alamatnya kok.”
“ Dimana mas?”
“ Di Pasir putih Ancol, “ jawabku cepat.
Sedikit kesedihannya terobat atas guyon lepasku.” Eh....Laura..adik Lam Hot dan Rio masih menunggu kita di lobby. Aku panggil mereka kesini atau aku menemui mereka sekaligus mengusirnya.?”
“ Mas, jangan, kok diusir?” balasnya serius.“

" Laura, kalau boleh aku tahu, siapa sebenarnya lelaki itu yang datang kerumahmu, Gunawan ?"
" Ya. mas. Dia mengajakku jalan ."
" Kenapa nggak mau?"
" Kenapa!? Nantilah Laura ceritakan."
" Kasihan dia , datang jauh-jauh dari Perancis, kenapa Laura nggak respek."
" Mas...!? Laura bilang, nanti aku ceritakan.!" balasnya kesal. ( Bersambung)

Los Angeles, July 2009
Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Telaga Senja (79)

Laura langsung menarik tanganku menuju ke kamar. “ Mas, aku mau ngomong di kamar,” ujarnya seakan tak sabaran menunggu jawabanku, “kenapa aku meninggalkan hotel secara diam-diam.?”
===================
Rio menyapa Laura sebelum kami meninggalkan lobby. “ Mbak, nggak ingat lagi denganku? Dulu mbak sering kerjain aku waktu Mapram (Masa Pra Mahasiswa = pelonco, pen).” Laura kembali duduk sambil mengenyitkan keningnya. “Tunggu mas, aku hampir ingat. Mas Asing Sing So iya,?” serunya.
“Ya mbak. Masih ingat juga iya. Kami bersaudara dengan Tan Zung,” sambut Rio.
“ Lho, mas Tan Zung nggak pernah cerita kalau punya saudara di Yogya. Dimana Asing Sing So lainnya.?”

“ Masih ada mbak. Mereka masih tiarap. Tadi malam kami “pesta” dengan bang Tan Zung.”
“ Kalian Asing Sing So juga dengan mas Tan Zung.?”
“ Pastilah. Mbak masih ingat nyanyian itu?”
“ Ingat, cuma sudah lupa syairnya.”
“ Tanyakan bang Tan Zung . Tadi malam kami nyanyi sampai abang mengeluarkan airmata, entah ingat siapa,” ujar Rio mengompori.?

“ Iya mas? Mas bisa nangis juga.? “ tanya Laura pula.
“ Semua makhluk hidup bisa menangis, kecuali raga telah pisah ranjang dengan jiwa.” kelakarku
“ Hush...mas ngaco,” potongnya.
“ Yang kumaksud, mati rasa dan mati suri.”
“ Mas, semakin ngaco,” ujarnya sambil permisi kepada Rio;” Mas ditinggal sebentar. Jangan pulung dulu, ntar kita nyanyi,” imbuhnya. Laura tak sungkan menarik tanganku menuju ke kamar.

“ Laura, jangan hanya kita berdua, barangkali kita butuh saksi-saksi,” godaku sembari menahan langkahnya.
“ Massss.... saksi untuk apa?” tanyanya polos.
“ Saksi kalau aku dan Laura bicara baik-baik, tidak saling marahan,” ujarku sambil tertawa lepas.
“ Nggak ada marahan, yang ada, tadi malam seseorang menghilang entah kemana dan nggak tahu karena apa. Ayo mas , sebentar saja, “bujuknya.
" Bukan menghilang mbak, lompat pagar," celutuk Lam Hot.

Aku mengalah, kemudian mengkuti Laura kekamar. Didalam kamar, aku temukan semua barang-barangku, entah siapa yang memindahkan dari kamar Lam Hot. Kenapa barang-barangku ada disini? Siapa yang pindahin dari kamar Lam Hot.?”
“ Tadi pagi aku yang pindahin. Mas, kemarin malam, aku dan om Laurance datang kesini mau ngajak jalan. Kami pergi setelah menunggu sekitar lima belas menit. Kami tanya ke front office, mas juga tidak meningalkan pesan. Aku kan sudah janji mau bawa om Laurance untuk berkenalan dengan mas.!?”

“ Maaf. Aku ngak ingat sedikitpun. Aku kira kita nggak ada acara makanya aku ikut Lam Hot, kebetulan dia mengajakku keluar. Laura datang kesini berdua.?”
“ Oh..iya bertiga dengan Gunawan temanku kuliah dulu. Dia datang bersama om Laurance, dia juga sedang kuliah di Perancis. Itu loh mas, anaknya dokter Lou Chan yang kita pergi kemarin dulu,” jelasnya.
“ Kata adik Lam Hot, tadi malam mas melihat kami? Kenapa nggak samperin .?”

“ Mereka yang melihat. Aku hanya dapat laporan. Seandainyapun aku melihatnya apalagi Laura sedang berpegangan tangan dengan mantan teman kuliahmu itu, rasanya tak tega mengganggu kenyamanan kalian setelah Laura dan dia bertahun-tahun tidak ketemu,” ujarku sambil melangkah meninggalkan dia sendirian duduk di atas tempat tidur, berdiri disudut kamar.
“ Mas! Tunggu dulu, mas mau kemana? Aku nggak mengerti maksudnya.! Siapa pegangan tangan dengan Gunawan? Kapan dan dimana? Lho katanya, mas nggak melihat kami,?” sanggahnya dengan raut wajah sedikit tegang.

“ Laura, jangan salah mengerti. Aku tidak keberatan kamu berteman dengan siapa, tokh kita tidak ada ikatan apapun kecuali sebagai teman. Yang aku ingin sampaikan adalah, aku tak ingin mengganggu kenyamanan kalian, tidak lebih dari situ. Aku memakluminya, tulus, apalagi kalian sudah berpisah cukup lama.”
“ Aku semakin tak mengerti maksud mas Tan Zung. Mas, duduk disinilah kenapa harus berdiri disana.?”

“Sulit dimengerti kalau ada sesuatu yang tersembunyi Laura.!”
“Mas, apa yang tersembunyi? Aku berpegangan tangan dengan om Laurance, bukan dengan Gunawan. Masya sih dengan om sendiri nggak boleh.?
“ Laura, salah mengerti lagi. Aku tidak melarang kamu berteman atau pegangan tangan dengan siapapun. Aku serius Laura.!”
“ Tetapi kenapa mas keluar dari hotel ini tanpa memberitahu kepada siapapun.?”
“ Ya. Aku sengaja menghindar agar Laura tidak merasa berbeban bila aku masih disini. Aku juga sudah rencanakan kembali ke Jakarta lebih awal.”
“ Mas, pulang lebih awal gara-gara aku berpergian dengan om Laurance tadi malam? Nanti Laura pulang dengan siapa?” tanyanya dengan nada iba.
“ Ada Gunawan kan.?”
“ Mas ! Aku kesini bersama mas, bukan dengan Gunawan.?"

Pembicaraan kami terhenti sebentar setelah dering telepon. Dari percakapan yang aku dengar, Laura berbicara dengan maminya. Sesekali Laura melirik kearahku sembari berbicara dengan maminya. Tak berapa lama wajahnya redup, suaranya terasa sesak; “ Mam, suruh dia pulang! Lala nggak mau..... Nggak mam. Mammm...! nggak! “ hentaknya, lantas menutupkan telepon. Laura berusaha menguassai emosinya yang baru saja “meluap”. (Bersambung)

Los Angeles, July 2009
Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/