Friday, July 10, 2009

Telaga Senja (75)




I've been alone with you inside my mind /And in my dreams I've kissed your lips athousand times /I sometimes see you pass outside my door /Hello, is it me you're looking for?

I can see it in your eyes /I can see it in your smile /You're all I've ever wanted, (and) my arms are open wide /'Cause you know just what to say /And you know just what to do /And I want to tell you so much, I love you ...

I long to see the sunlight in your hair /And tell you time and time again how much I care /Sometimes I feel my heart will overflow /Hello, I've just got to let you know

'Cause I wonder where you are /And I wonder what you do /Are you somewhere feeling lonely, or is someone loving you? /Tell me how to win your heart /For I haven't got a clue /But let me start by saying, I love you ...

Hello, is it me you're looking for? /'Cause I wonder where you are /And I wonder what you do /Are you somewhere feeling lonely or is someone loving you? /Tell me how to win your heart /For I haven't got a clue /But let me start by saying ... I love you
========================
“ Aku lapar, kita makan dulu iya, mas yang nyetir,” ujarnya, lalu menyerahkan kunci mobil.
“ Hhmmm mau duaan lagi .?”
“ Massss....!??”
=========================
Laura duduk disebelahku sebagai “co-pilot”, mulutnya tak henti memberi istruksi jalur jalan yang aku lalui menuju restauran. Ada kebanggaan tersendiri setelah tiba pada tempat yang kami tuju yakni, merasa sebagai warga yang telah lama berdiam di Yogya. Suasana akhir di tepi pantai, khususnya pembicaraan sebelum meninggalkan pantai menyisakan kesan tersendiri bagi Laura.

Kesan itu aku perhatikan ketika dia tidak merasa canggung lagi menggaet tanganku sembari jalan bersama. Semuanya berawal dari “accident” mulut yang terjadi ditepi pantai, ketika Laura menasehati agar membatasi diri berkunjung ke diskotik. Ketersinggunganku, atas nasihatnya, menghantarkan kami dalam perbedaan pandang meski pada akhirnya berujung dalam damai bahkan Laura mencurahkan hati yang terpendam beberapa bulan lewat ciuman dipipiku. Satu alur cerita baru yang tak terencana. Namun demikian Laura belum sediktpun mampu menggeser Magdalena dari memoryku.

Kami tiba dijalan yang cukup populer bagi turis lokal maupun manca negara, Molioboro. Laura sering memperbaiki ucapanku ketika salah menyebut nama jalan yang mirip nama rokok bergengsi, buatan luar negeri.” Mas, itu nama rokok,” tegurnya, ketika lidahku masih saja keseleo menyebut nama jalan itu.
***
Seingatku dalam tiga kali makan bareng di resaturan, Laura selalu duduk disebelahku lakunya sama seperti Susan tempo dulu. Berbeda dengan Magdalena , kami selalu duduk berhadapan, kecuali bila bersama dengan Mawar, dia duduk disebelahku.

Aku tidak tahu pasti apakah Laura mengambil posisi duduk berdampingan akan “berbuah” sama dengan Susan, selalu menempelkan pipinya kepipiku mana kala “gairah”nya terpicu oleh suasana ruangan dan irama musik, dan tentu saja dengan rangkaian kalimat yang meluncur dari mulutku.

Dengan Magda? Jangan harap itu akan terjadi pada perempuan batak satu ini, kecuali telapak tangannya mendarat di pipi, sebagai ganjaran kenakalanku. Memang, kebetulan aku lebih suka dan tertarik duduk dengan posisi berhadapan. Tatapan mata dan rona wajah dapat merndukung kata yang meluncur dari mulut. Itu sebabnya aku dan Magda hafal mati makna gerakan bibir dan mulut serta tatapan mata ketika cinta dan harapan membuai kami, bahkan ketika ombak gelombang yang gelisah mendera. Kelebihan lainnnya duduk berhadapan adalah, permainan gerakan ujung kaki dibawah meja lebih “signifikan” dibanding dengan duduk bersebelahan, mana kala lema asmara berbuah ranum. huh...asmara...kahe!

Laura memberiku “wewenang” penuh memilih jenis makanan ketika pelayan restauran menyuguhkan beberapa pilihan. “ Mas, disini nggak ada soto,” ingatnya sembari ketawa, mendahuluiku sebelum aku menanyakannya.
“ Maaf mas , hari ini kita nggak tersedia soto,” sambut pelayan pula. Karena jenis makanan yang ditawarkan masih agak asing bagiku, terpaksa “wewenang” itu aku kembalikan kepada pemberi mandat, Laura.

“ Kamu saja yang pilih,” ujarku. Mengenai selera makanan ini, untuk ketiga sahabat dekatku, mereka sudah ingat betul jenis makanan yang aku suka. Magda tahu seleraku, kuetiawu goreng atau pangsit kalau direstauran, arsik bila dirumah; Gado-gado kalau pergi dengan sahabat Susan yang juga dosenku itu; aroma soto mendaulat lidahku bila bersama Laura.

Sejenak berdua hening saat pelayan meninggalkan kami. Tanpa sadar tangan berpangku pada kedua wajahku menatap hampa kedepan. Sukma jauh mengembara menembus awan kerinduan dengan perempuan batak yang kuakrabi dalam mahkota jiwa selama lima tahun lebih, Magdalena. Namun kini seakan berlabuh pada belantara luas. Minggu lalu, dia telah mengutarakan keraguannya atas kesetiaanku; “ Bagaimana aku meyakini dirimu yang sedang berada dibentara luas dengan seribu kembang disekelilingmu,?” ujar Magda. Inikah makna keraguan yang diucapkannya dengan perasaan getir ?.

Laura mengakhiri jelajah jiwaku jauh keseberang samudera, dia bertanya: ‘Mikirin sesuatu atau kelaparan.?” Tangannya menarik tanganku yang sedang menopang wajah menaruh pelan keatas meja, kemudian telapak tangannya meremas lembut telapak tanganku.

Entah apa yang mengusik hatiku, sambil menunggu pesanan kami datang, aku bertanya kepada Laura, barangkali dia mengenal Paian, lelaki yang menghamili Rina.
“ Iya, aku kenal. Dia orang Sumatera kan? Kok mas terpikir kesana? Mas kangen pada Rina,?" tanyanya, lantas jari tangannya memeluk erat telapak tanganku. ( Bersambung)

Los Angeles, July 2009
Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/