Thursday, June 18, 2009

Telaga Senja (58)





http://www.youtube.com/watch?v=15xKfLSSQF4

There's so much life/I've left to live/And this fire's burning still / When I watch you look at me/I think I could find a way/To stand for every dream/And forsake this solid ground/And give up this fear within/Of what would happen if they end, you/I'm in love with you

'Cause I'd surrender everything/To feel the chance, to live again/I reach to you /I know you can feel it too/We'd make it through /A thousand dreams I still believe/I'd make you give them all to me/I'd hold you in my arms and never let go/I surrender

I know/I can't survive another night away from you/You're the reason I go on/And now I need to live the truth/Right now, there's no better time/From this fear, I will break free/And I'll live again with love/And know they can't take that away from me/And they will see... yeah

(I'd surrender everything)
To feel the chance, to live again/I reach to you/I know you can feel it too/We'd make it through /A thousand dreams I still believe/I'll make you give them all to me/I'll hold you in my arms and never let go/I surrender

Every night gets longer/And this voice's getting stronger baby/I'll swallow my pride
And I'll be alive/Can't you hear my call?/I surrender all...
(I'll surrender everything) (To feel the chance, to live again)/I reach to you/I know you can feel it too/We'll make it through


A thousand dreams I still believe/I'll make you give them all to me/I'll hold you in my arms and never let go/I surrender/Right here, right now/I'd give my life to live again/I'll break free/Take me, my everything

I surrender all to you (Right now)/Right now/(I'd give my life to live again)/I'd give my life/(I'll break free, Take me)/Take me, take me/(my everything)
My everything

(I surrender all to you, right now)/Right now (I'd give my life to live again)/I'd give my life to you baby/I'll break free, yeah free

Bang kenapa lagi aku harus dipaksa mengatakan “Ya”,kalau mau pergi, pergilah bang. Tetapi aku ingatkan, jangan ada lagi korban baru karena “belas kasih”mu itu. “
“ Apa yang kau tangisi Magda.”
“ Nggak tahu, kenapa aku harus menangis. Pergilah bang, aku tulus, hati-hati bang.”
======================

PENGALAMAN pahit masa lalu mengakibatkan Magda menjadi seorang peragu, bahkan menjadi paranoid khususnya menyangkut hubungan kami. Perjalanan kasih yang kami lalui kemudian berakhir tragis berakibat juga buat diriku sendiri, kurang percaya diri. Pada hal sebenarnya, jika diurut kebelakang, tidak ada lagi yang perlu diragukan.

Sehari sebelum ke Jakarta ketika menyelesaikan urusan Rina, tersirat, kami telah sepakat untuk menyambung tali kasih yang telah terputus, walau dilalui dengan pertengkaran panjang dan melelahkan. Di airport, Magda, disaksikan Rina, memberikan kalung untukku dan diapun bersedia menerima kalung yang akan kukirim nantinya. Namun, belakangan Magda semakin ragu setelah tinggal kami berjauhan dan berkaitan pula dengan hubunganku dengan teman sekantor Laura. Aku terus berusaha meyakini dirinya bahkan membawa -bawa kedua orangtuaku, sebagai senjata pamungkas. Tapi itupun Magda belum menjawab dengan tegas keinginanku untuk menyambung kembali simpul yang sempat putus.

***

Baru beberapa menit merebahkan tubuh, aku mendengar suara motor milik Laura; seperti biasanya dia selalu mampir kerumahku sebelum kekantor. Laura membuka pintu kamarku setelah dia memanggilku beberapa kali, tak ada sahutan. Pagi itu kepala terasa berat, karena tidak tidur semalaman dibumbui pula dengan hati gundah dan pikiran kalut. Dia kaget melihat aku masih tergeletak ditempat tidur, tidak seperti biasanya aku telah selesai berkemas saat dia tiba.

“ Mas sakit?” tanyanya sambil mendekatiku di tempat tidur. Aku kurang bergairah menjawab pertanyaannya, kecuali menatapnya. Laura meletakkan punggung tangannya ke atas keningku; “ Mas demam! Nggak usah masuk kantor, nanti aku beritahu sama pak Adrian,” ujarnya sambil memperbaiki selimutku yang acak-acakan. Dia bergegas ke dapur setelah permisi kepada ibu kos; Laura mengambil air hangat dan menyorongkan ke mulutku setelah sebelumnya dia mengangkat kepalaku bersandar di ujung tempat tidur.

Sebenarnya aku enggan dilayani seperti itu, karena akan menambah beban buatku dan buat dia sendiri. Pada sisi lain, aku enggan menolak melihat ketulusan hatinya. Aku mengharap dia akan menyikapi secara dewasa bila kelak mengetahui bahwa aku tidak akan menduakan cintaku dengan Magdalena.

Hingga saat itu, memang Laura belum pernah secara langsung berbicara tentang asmara, meski belakangan sesekali terselip kalimat bernuansa cinta. Seandainya aku belum “mengikatkan diri” kepada Magda, aku akan pertimbangkan untuk menikahi Laura, walaupun orang tuaku akan melarangnya. Aku tertarik dengan tutur bicaranya, santun, sabar dan pembawaanya lebih dewasa dari usianya.

Laura membawa serapan pagi, yang telah disiapkan ibu kos kekamar tidurku. Dia membujukku menyantap makan yang telah tersedia, namun aku menolak. Cukuplah Susan yang terakhir , setelah Magda, menyuapkan makanan kemulutku, kataku dalam hati. Aku menolak dengan dalih, perutku merasa mual, pada hal sesungguhnya aku sangat lapar setelah bergadang semalam dengan Magda.

Laura meninggalkanku setelah melihat aku tak mampu menahan kantuk. “ Mas, aku tinggal dulu, nanti aku kembali,” ujarnya lantas menarik satu lapisan bantal dari bawah kepalaku. Sepeninggalnya aku terlelap hingga Laura datang lagi. Aku melihat jarum arlojiku telah menunjukkan pukul 11.30 menjelang siang. Aku masih diatas tempat tidur, Laura menyapaku dengan lembut, “ Sudah mulai pulih mas ? Setelah aku dan mbak Magda kini giliran mas yang jatuh sakit. Bagaimana keadaan mbak Magda?” tanyanya. “ Dia sudah sehat.” jawabku.” Magda dan Rina titip salam untukmu,” imbuhku.

Laura mengajakku ke ruang makan. Disana telah tersedia makanan kesayanganku mie kuetiau goreng. Ah...kalau saja dia tidak ada diruangan itu, tak akan lama usia mie itu bertengger di atas meja. Meski seluruh tubuh masih terasa lemas, sengaja aku tegarkan dihadapan Laura agar dia tidak “memanjakanku”. Laura hanya mengambil sedikit mie dari piringku, selebihnya aku lahap tuntas, sementara dia menyantap jatah makananku yang disediakan ibu kos.

“ Tante Martha telah buat appoinment ke dokter yang aku pergi kemarin dulu, nanti sore pukul 6 sore. Kita pergi bareng mas,” ujarnya, diselah kami sedang santap siang di tempat kosku.
“ Lho, aku hanya kurang tidur, aku nggak sakit. Tolong telepon tante supaya appoinmentnya dibatalkan,” kataku menolak.
“ Nggak apa-apa toh mas, sekalian nanti kita minta obat persiapan perjalanan ke Yogya,” balasnya. Perlakuan ini buatku benar-benar berlebihan. Aku tetap menolak pergi ke dokter, meski Laura terus membujukku. “ Aku nggak ada apa-apa. Akupun masih mampu naik kereta, tidak usah khawatir. Sebentar malam aku akan tidur lebih awal agar staminaku segera pulih.” ujarku meyakinkan dirinya.

“ Mas, nggak enak lho sama dokter Joel; dia itu sahabat tante Martha.”
“ Tetapi aku nggak sakit Laura. Kenapa tante Martha tahu kalau aku sakit.?”
“ Kebetulan tante nyariin aku ke kantor. Adrian beritahu kalau aku ada disini karena mas sedang sakit,” jelasnya.
Oalahhhh, sempit kalipun dunia ini, kurang tidurpun awak beritanya sampai keseluruh penjuru angin. Dengan terpaksa aku menytujui pergi ke dokter walau dengan perasaan gondok.

Belum lama Laura meninggalkanku, adik Lam Hot dan pacarnya Rima datang kerumah ingin minta tolong untuk mengantarkan mereka ke stasion kereta Gambir pada sore harinya. Namun mereka mengurungkan permintaaanya setelah melihat kondisi tubuhku kurang fit.
" Tadi mau minta tolong abang untuk mengantar kami ke stasion. Tetapi nggak usalah, tampaknya abang kurang sehat. Bagaimana besok, masih mampu naik kereta? Kak Magda tahu abang sedang sakit,?" tanya Lam Hot.
" Aku tidak sakit, hanya kurang tidur," jawabku.

***
Malam, aku meringkuk dikamar sendirian bersama dengan kerinduanku kepada Magda. Dalam kegelisahan, sepi merajam kalbu. Kehadiran Laura hari ini, memicu rasa rinduku kepada Magda. Malam ini, aku ingin mencium kening dan pipinya sebagai pelepas rinduku. Tetapi dia ada jauh diseberang sana. Biarlah aku memeluknya meski dalam bayang, rindu dan cintaku menyatu. Gema-gema cinta bersenandung dalam kenangan, malam ini, lima tahun lalu menabur benih kasih pada sudut kalbu Magda hingga tiada sudut yang tersisa. Kebekuan malam, diakhiri deringan telepon. Suara maha lembut mengalir lewat jaringan kawat ajaib, telepon.

" Zung, sakit ? sapanya diujung sana. Rupanya adikku Lam Hot memberitahukan padanya. Lama aku tak menyahut. Aku tidak yakin dengan suara itu, seakan dalam mimpi. Baru saja aku memeluk bayangnya, kini, suaranya seakan memuaskan rindu. Mimpikah aku? Suara lembut itu terdengar lagi di telingaku, " Zung masih marah.?" Aku masih membisu ditengah keterharuanku, tenggorokanku tersumbat rasa haru.

" Abang nggak mau lagi bicara padaku? Abang sakit hati.?"
Aku paksakan mulutku menjawabnya meski lidahku masih kelu; " Magda, aku nggak sakit, juga nggak sakit hati. Aku hanya kurang tidur."

" Abang masih bisa berangkat besok.?"
" Belum tahu. Tergantung kesehatanku. Kalau aku bisa tidur malam ini, mungkin jadi. Tetapi hatiku masih mendua, mungkin jadi, mungkin nggak. Aku ingin pulang ke Medan, mau ketemu denganmu."
" Bang ! Tadi pagi sudah aku katakan, jangan menyakiti hati siapapun. Aku percaya abang rindu mau ketemu aku. Tetapi abang juga harus menjaga perasaan Laura. Percayalah bang, aku nggak keberatan. Ini adalah sebuah resiko karena kita ditempat yang berbeda." ( Bersambung)

Los Angeles. June 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/