Tuesday, October 27, 2009

Telaga Senja (149)

http://www.youtube.com/watch?v=QNEuDdBvb3M

===================
Tiba-tiba Magda melemparkan bantal kearahku. “ Dasar! Bilang dong dari tadi,” ketusnya.
“ Tega amat sih kamu menyiksa orang sedang menderita?”
“ Ughhh..abang tangkang ( nakal, pen)!” ujarnya sambil membekap mulutku dengan tanganya

====================

Mengurangi rasa nyeri Magda memberi obat penenenang hingga tertidur. Aku tidak tahu persis kapan malam itu Magda kembali ke rumah Rina. Pagi hari aku butuh bantuan seseorang untuk bangkit dari tempat tidur namun tak seorangpun ada di rumah. Perlahan aku bergerak dari tempat tidur menuju kamar mandi seraya menahan rasa ngilu di bahu dan pangkal lengan. Aku telepon ke rumah Lam Hot, tak ada jawaban. Pagi itu baru aku merasakan sepinya hidup. Tidak seperti biasanya setiap pagi Laura mampir ke rumah sebelum berangkat kerja. Juga waktu akhir pekan, dia menyempatkan mampir menemani serapan. Namun pagi ini, Laura masih terbaring dirumah sakit, sementara Magda entah dimana. Masihkah dia kesal karena aku menolaknya membersihkan tubuhku tadi malam?

Beberapa kali aku gagal menyiapkan serapan pagi. Akhirnya niat serapan urung setelah piring jatuh berantakan karena tangan tidak mampu meraihnya dari rak. Serapan batal. Aku mencari obat penenang disekitar ruangan tapi tak aku temukan. Dengan nyeri menyengat, aku kembali ke tempat tidur bersama nanyian sendu di perut, lapar, hingga tertidur.

Menjelang siang, aku terjaga setelah mendengar seperti suara gaduh di luar kamar. Perlahan pintu terbuka, aku melihat Magda, ibu dan Lam Hot masuk ke kamar, sementara airmataku masih menempel di pipi karena menahan sakit. Magda kaget melihat aku terbaring lemah. Selain karena menahan sakit juga karena kelaparan. “ Kenapa bang? Zung....kenapa? Kita balik kerumah sakit iya bang!?” ujarnya seraya mengusap airmataku. Aku hanya menatapnya tanpa memberi respon. “ Zung..kita kembali kerumah sakit iya?” ulangnya. Aku tetap diam.

Boha di hilala ho amang/Bagaimana perasaanmu nak. Kita kembali ke rumah sakit iya.!?” tanya ibuku lembut.
Magda merasakan ada yang tak beres denganku setelah mendengar aku menjawab ibu, sementara pertanyaan dia ku abaikan.
“ Besok kita pulang ke Medan bu. Lebih baik aku berobat ke pak Ginting," pintaku
“ Abang nggak tahan lagi? Besok lusa Laura sudah keluar dari rumah sakit. Kita diundang oleh om Felix makan bersama,” selah Lam Hot.
“ Tulang/om juga mengundang kita besok malam. Iya kan Magda?” lanjut ibuku. Magda menjawab pelan,” ya mamatua” suaranya hampir tak kedengaran dari sudut ruanganku. Lam Hot cepat membaca situasi. Dia mengajak ibuku pulang. Sebelum meninggalkan kamarku, ibuku berucap pelan ke telingaku, “Unang sai muruk ho tu ibotom i (Jangan kamu marahin adikmu Magda, pen)”

Magda mendekatiku setelah ibu dan Lam Hot keluar dari kamar. “ Salah apa aku Zung? “ tanyanya. Aku hanya menggelengkan kepala.
“ Zung, aku nggak enak kalau kita begini terus.” keluhnya.
“ Kenapa ? Aku nggak apa-apa kok!”
“ Kenapa abang diam nggak mau jawab aku? Tadi waktu mamatua tanya, abang menjawab.!”
“ Apa Magda tidak melihat tubuhku gemetaran? Nggak lihat aku keringat dingin? Memang kamu nggak peduliin aku. Sejak pagi aku belum makan obat dan serapan. Obatku juga nggak tahu entah dimana.”

Magda tersentak mendengar keluhanku. “ Abang belum makan dari tadi pagi? Lho kata abang, ibu kost yang siapkan serapan”
“ Ya, tapi bukan menyuapi. Magda, tolong bersihkan dulu pecahan piring di kolong rak piring itu. Setelah itu, kita berantuk lagi.”
“ Ya bang, nanti aku bersihkan, tetapi abang makan dulu. Tadi abang kesal, pecahin piring iya?”
“ Kamu kok tega amat sih menelantarkan aku sendiri di sini? Tahu aku begini, lebih baik aku tinggal di rumah sakit.!” ujarku saat dia membawa makananku.

“ Abang sendiri yang ngomong, mau belajar mandiri. Kemarin malam mau dibantu melap tubuh abang, ditolak. Masya siapin makan sendiri nggak mampu.?”
“ Iyalah. Aku ngaku salah. Gimana nih, aku sudah kelaparan. Kok makanannya diletakkan diatas meja?”
“ Abang mau disuap? Bilang dong!”
“ Waduh..pernikahan sudah dekat, kita malah makin payah, ceng sajalah kita.?”
“ Terserah. Kalau itu yang terbaik buat abang," jawabnya serius.
" Magda, kok kamu menyiksaku seperti ini? Kita sudah nggak bisa lagi bergurau? Ada apa sih dengan kamu? Sekarang kamu menyesal setelah melihat aku tak berdaya, begitu? Belum cukupkah permohonan maafku. Aku telah menyesali semua pengkhianatanku. Tidakkah kamu melihat dan merasakan hatiku yang menjerit didera penghukuman ini.?"
" Zung, aku sudah nggak pikirkan itu. Abang saja sering mengancamku."

" Karena aku sangat ketakuatan kamu akan meninggalkanku ketika aku terkapar dalam pembaringan duka."
" Kalau aku mau, sudah sejak dulu bang. Zung ..! Aku juga masih sangat menyayangimu. Aku kan sudah janji, aku menerimamu sebagaimana adanya. Masih belum percaya, meski aku masih setia menungguimu walau aku sering dimarah. Aku meninggalkan pekerjaanku dan semua kesibukanku hanya karena abang. Belum cukupkah!?" tuturnya lantas mencium keningku.
" Ya Magda. Sudah lebih dari cukup. Terimakasih. Jangan pergi lagi, aku butuh bantuanmu."
***
"Tadi abang ajak mamatua pulang besok, abang serius?”
“ Ya, karena aku kesal. Daripada aku dibiarin sendiri, lebih baik aku pulang. Disana nanti ada Mawar yang bantuin aku,” gurauku.
“ Heh..hati-hati lho, Mawar sudah punya pacar.”
“ Kalau begitu, nggak usah pulang lagilah. Magda sendiri saja pulang.”
“ Halah.....aku tahu abang angekin aku. Aku nggak nongol beberapa jam saja, abang sudah uring-uringan.”
“ Kamu kemana tadi pagi 'yang?”
“ Aku bezoek mantan pacarmu Laura. Tadi, disana ketemu dengan om Felix. Dia mengundang kita makan malam lho bang. Bagaimana, abang sudah boleh keluar? Besok aku nggak usah ikut ke rumah tulang/om. Kalau abang ijinkan akau mau pergi ke Bandung. Kemarin tante Mem telepon, aku disuruh datang. Boleh bang?”
“ Berapa lama di Bandung?”
“ Satu hari saja. Aku sudah kangen dengan tante dan adik-adik disana.”

“ Kapan pergi kerumah namboru/bibi. “
"Kapan-kapan sajalah. Aku nggak terlalu dekat dengan mereka. Setelah papi meninggal, mereka juga nggak pernah mampir ke rumah kalau sedang pulang ke kampung.”
“ Kalau kamu ke Bandung siapa yang rawat aku? Besok ibu dipaksa harus ke rumah tulang.?”
“ Iya sudah. Aku nggak jadi pergi.”
“ Bagaimana kalau minggu depan kita kesana, sesuai rencana kita tahun lalu?”
“ Rencana apaan?”
“ Dulu, kamu ajak aku ke Bandung kawin lari.”
Zungngng....itu kan tahun lalu. Kasihan mami. Masyak nggak bilang-bilang. Lagian kita kan nggak ada lagi hambatan. Sabar iya bang. Aku nggak kemana-mana kok,” ujarnya sambil mendekapku diatas tempat tidur. Aku mengaduh ketika Magda memeluk tertindih bahu menambah rasa nyeri.
"Duh...abang sok mau ngajak kawin lari, kesentuh sedikit sudah mengaduh. Gimana...dong."
"Yang nikah kan bukan bahuku...!"( Bersambung)

Los Angeles. October 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/