Sunday, December 27, 2009

Telaga Senja (194)

Celine Dion : The Power Of Love
The whispers in the morning / of lovers sleeping tight/Are rolling like thunder now/As I look in your eyes/I hold on to your body/And feel each move you make/Your voice is warm and tender/A love that I could not forsake

[first chorus]
'Cause I am your lady/And you are my man/Whenever you reach for me/I'll do all that I can/Lost is how I'm feeling lying in your arms/When the world outside's too/Much to take That all ends when I'm with you

Even though there may be times/It seems I'm far away/Never wonder where I am/'Cause I am always by your side/'Cause I am your lady/And you are my man/Whenever you reach for me/I'll do all that I can

[second chorus]
We're heading for something/Somewhere I've never been/Sometimes I am frightened /But I'm ready to learn/Of the power of love
The sound of your heart beating/Made it clear/Suddenly the feeling that I can't go on / Is light years away/
'Cause I am your lady/And you are my man/Whenever you reach for me/I'll do all that I can /We're heading for something/Somewhere I've never been/Sometimes I am frightened / But I'm ready to learn/Of the power of love

=====================
“ Sok Alkitabiah, taunya karena nggak tahu ikat dasi. Mana ada dalam Alkitab, angekin tunangannya? Yang ada, tunangannya dibelai, menapak dituntun penuh rasa sukacita. Tetapi papa? menuntun tunangannya kedalam pencobaan.”
======================

Keasyikan “ribut” dikamar, tanpa kami sadari mami dan Rina telah menunggu kami di gerasi mobil. Sebelum kami keluar dariu kamar, perasaanku agak terganggu setelah tahu Magda dan maminya serta Rina telah ke pemakaman papi Magda. “ Kenapa nggak ajak papa.? Kirain aku sudah bagian dari keluarga Magda, ternyata selama ini aku hanya bermimpi,” ujarku dengan nada kecewa. Magda terhenyak mendengar keluhanku.
“ Mama telah mendatangi papa tiga kali, tetapi papa tidurnya sangat lelap. Mama nggak tega bangunin. Maaf pap.”

“ Ya, nggak apa-apa lah.” ujarku sambil melangkah keluar menuju gerasi. Aku tahu perasaannya terganggu. Bahkan mungkin dia terpukul. Selama perjalanan ke gereja, Magda diam, sepertinya dia dihantui merasa bersalah setelah merasakan perubahan sikapku. Menghilangkan rasa kaku, sambil menyetir mobil aku menggoda Thian dalam pelukan Rina. “ Thian, ke gereja, kok nggak pakai dasi?” tanyaku, disambut tawa mami Magda dan Rina sementara aku melirik Magda yang duduk disampingku, menaptap dengan mata kuyu.

“ Beliin dong om! Thia kan belum tahu toko jual dasi?” sambut Rina ketawa.
“ Tanya mamatuanya Magda lah. Aku pun tak tahu dijual di toko mana,” jawabku. Kali ini Magda tersenyum. Aman sudah, perasaan Magda telah pulih, pikirku. Aku dan Magda masuk gereja dengan perasaan tenteram. Magda menggaet tanganku mengajak ke atas balkon. “ Kita ke atas, mama-mama dibawah,” ujarnya meninggalkan mami dan Rina. Magda mengikuti khusuk seluruh acara, sementara pikiranku masih terganggu, ingat sikap kedua orangtuaku menolak rencana pernikahanku dengan Magda. Ditambah pula, Magda tak mengikutkanku ziarah ke pemakaman papinya. Sesakali tangan Magda mencubit pahaku pelan, ketika melihatku seperti orang bengong, menatap hampa ke depan.
***
Usai mengikuti ibadah, tangan Magda terus menempel di lenganku hingga ke mobil. Dia tak sungkan lagi meski di depan maminya, namun aku merasa risih. Memang belakangan ini, mami Magda seakan telah menjaga jarak denganku, meski masih tetap ramah. Sebelumnya, mami Magda yang inang udaku itu menganggapku sebagai anak.

Suasana rumah semain ramai dengan kehadiran Jonathan bersama paribannya yang juga menjadi pacarnya. Cukup lama kami bercengkrama setelah makan. Melihat gelagatku mau pulang, Magda membujukku tidur di rumahnya.
“ Papa jangan pulang. Tidur disini saja,” bisiknya.
“ Aku punya rumah,” jawabku seraya beranjak dari kursi. Magda kaget mendengar jawabanku. Dia hanya mengikutiku melangkah ke halaman rumah bersamaku menunggu becak.
“ Ada apa kok papa tiba-tiba minta pulang.? Papa sakit?”

“ Nggak. Aku capek, mau tidur.”
“ Papa mau pakai motor atau mama antar?” tanyanya. Magda semakin bingung ketika aku menolak tawarannya.
“ Mama salah apa? Mengapa papa seperti ini? Mama pikir malam ini kita akan lewati dengan sukacita," ujarnya seraya mendekapku. “ Papa, mama salah apa? Katakanlah pap. Perasaanku terganggu,” ujarnya dengan suara melemah. Saat bersamaan becak meluncur didepan kami. Aku permisi lantas meloncat ke dalam becak tanpa memberi kecupan dipipinya sebagaimana biasa aku lakukan kala akan pulang dari rumahnya.

Aku menghempaskan tubuhku diatas tempat tidur dengan pakaian masih lengkap yang aku kenakan ke gereja. Khotbah pada ibadah yang baru saja aku ikuti tak mampu mengusir kegalauan dan kekecewaan hati. Keputusasaan menghampiriku kala berbaring dalam pembaringan. Hal itu terus menjejali pikiranku hingga pukul 04:00 dini hari. Dalam kepenatan jiwa, aku mendengar sepasang langkah mendekat ke kamarku. Sementara pikiran masih meduga-duga, Magda telah membuka pitu kamarku dengan kunci kopian yang aku berikan sebelumnya. Magda mendekat ke ranjang. Dia duduk dipojok.

Papaaa..mama nggak dapat tidur,” ujarnya ketika melihatku masih terjaga.
“ Siapa yang antar Magda?”
“ Thian,” jawabnya memancing semangatku. “Thian nggak mau masuk, takut dimarah bapatuanya,”tawanya.
“ Ngapain datang pagi subuh seperti ini?”
“ Mama nggak bisa tidur, mikirin papa. Tidak seperti biasanya, papa pulang dengan wajah muram. Papa marah karena nggak ikut ziarah ? Ntar siang sepulang gereja kita mampir, mau pap?”

“ Kenapa sih mama tega pergi ziarah tanpa membangunkanku? Sepertinya aku bukan bagian dari keluarga Magda. Bahkan mungkin, mama masih mendua hati setelah mendengar ketidaksetujuan orangtuaku ,” ujarku, masih diatas tempat tidur.
Heh..pap! Apa sih maksudnya,? Ngapain mama datang kalau masih ragu-ragu. Justru mama gelisah mikirin rencana papa.”
“ Rencanaku atau rencana kita.?”
“ Ya, ya lah, papa cerewet. Salah ngomong dikit saja pun papa langsung tempramen. Kalau papa bersedia, minggu depan setelah pernikahan Maya kita ke catatan sipil. Jika papa setuju, mama akan hubungi kepala bagianku.”

“ Mama serius? Papa setuju. Tetapi sebelumnya kita minta advise ke Susan terlebihdahulu,” ujarku seraya bangkit dari tempat tidur. Magda mendekapku erat. “ Papa, mama tahu kegelisahanmu setelah pulang dari kampung. Papa saja selalu ragu pada mama,” ucapnya pelan di telingaku.
Saat hati berbunga-bunga, menyatu dalam dekapan kasih, kami mendengar ketukan pintu kamarku. Aku segera meloncat dari tempat tidur, menempelkan telingaku pada daun pintu. Diluar, terdengar percakapan dua orang lelaki, nada suara mereka agak berat. Aku dan Magda saling pandang diiringi rasa kaget ketika mendengar namaku dipanggi secara bergantian.

” Zung...Tan Zung.! “
“ Pap, siapa mereka?” tanyanya Magda pelan dengan bibir gemetaran, ketakutan. Aku berlagak tenang meski hati agak kecut.
“ Mungkin polisi! Tenang mam. Mama telah siap dibawa kekantor polisi untuk dinikahi kan?” jawabku menambah rasa takut Magda. Tiba-tiba Magda berteriak dari dalam kamarku,” Bapak siapa.?” Mendengar suara Magda, ketukan dan suara memanggilku berhenti. ( Bersambung)

Los Angeles. December 2009


Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/