Thursday, November 5, 2009

Telaga Senja (156)

"(Everything I Do) I Do It For You"
Look into my eyes - you will see/What you mean to me/Search your heart - search your soul/And when you find me there you'll search no more

Don't tell me it's not worth tryin' for/You can't tell me it's not worth dyin' for
You know it's true/Everything I do - I do it for you

Look into your heart - you will find/There's nothin' there to hide/Take me as I am - take my life/I would give it all - I would sacrifice

Don't tell me it's not worth fightin' for/I can't help it - there's nothin' I want more/You know it's true/Everything I do - I do it for you

There's no love - like your love/And no other - could give more love/There's nowhere - unless you're there/All the time - all the way

Oh - you can't tell me it's not worth tryin' for/I can't help it - there's nothin' I want more/I would fight for you - I'd lie for you/Walk the wire for you - yeah I'd die for you
You know it's true/Everything I do - I do it for you
==================
Seperti aku baru mengenalnya, detak jantungku tak beraturan. Gemas, aku ingin memeluknya. Tetapi Rima ada disana. Hhmm...tak peduli sekitar. Aku songsong dia sebelum duduk dikursi. Magda terkesima, ketika aku memberi ciuman, hangat. Rima tepuk tangan.
“ Cantik benar kamu ‘yang. Sudah lama aku tidak melihatmu secantik ini,” pujiku.
“ Aku masih cantik meski setua ini pap?
===================

SEJENAK aku berlabuh pada pesona Magdalena. Lama aku tak menikmatinya. Malam itu, sepertinya dia menghantarkanku dalam alam fantasi. Tetapi, aneh, aku semakin ketakutan kehilangan dia. Aku menjadi manusia paranoid? “Ya” Sejak aku mengalami kecelakaan dengan dera luka pada wajah serta bahuku. Aku ketakutan luar biasa, apalagi setelah melihat keanggunan hati dipadu penampilan pisiknya. Aku semakin gemetar menyimpan rasa kuatir, sejuta kumbang di luar sana akan mengintai dan memilikinya.

“ Magda! Kamu masih cantik, sangat cantik. Lama aku tak menikmatinya,” ulangku ketika berucap dirinya telah tua.” Yeahhh... mam. Kamu lebih dewasa dari diriku. Aku seperti anak yang masih asyik dengan khayal meski impian telah di depan mataku.” ujarku pelan sesaat kami duduk di kursi pada ruangan tamu, tanpa kehadiran Rima.

“ Impian itu telah menepi pada dermaga pengharapan setelah lelah di terpa ombak maha ganas. Iya pap!?” jawabnya lalu meraih tanganku. " Pap, ayolah nanti kita terlambat. Aku nggak mau di ejek, orang Medan nggak tahu waktu,” cerah tawanya. Sembari beranjak dari kursi, Magda membuka kalung yang dikenakannya, berujar: ” Pap, kenakan ini. Aku senang melihat papa pakai kalung, serasi dengan tahi lalat pada leher abang,” ujarnya.
“ Senang atau nafsu?” godaku.
“ Keduanya lah pap,!” balasnya genit. Matanya berbinar.

“ Pap...jangan! Banyak orang” cegahnya saat melihat gejolak hati yang tak tertahankan, ketika kami menunggu taksi disisi jalan. Di dalam taksi Magda kaget dan risau ketika dia mendengar nama jalan yang kami tuju, rumahku.

“ Kita ngapain ke rumah papa? Nanti kita terlambat. Papa kok nggak sabaran sih? Semuanya ini telah milikmu pap!” resahnya, lantas meraih tanganku. Bibirnya gemetar ketika berucap. Mata kami beradu tatap. Magda mengalah, matanya redup dalam gelisah. Kepalanya bersandar disisi lenganku, entah lah apa dalam benaknya.
“ Pap, telepon mereka, kita akan datang terlambat,” pintanya. Suaranya begetar desah. Aku menikmati kegundahannya.

“ Mama, lebih memikirkan mereka atau papa?”
“ Papa nakal,” balasnya dengan cubitan pahaku.
“ Iya mam. Aku telah lama merindukan seperti ini. Ingat mam, dulu, ketika kita di ruang “perpustakaan?” Malam, ketika kita pulang dari perayaaan ulangtahun Mawar? Kita berantam, karena kamu mencemburuiku... dan akhirnya malam itu kita akhiri dengan.....”
“ Pap. Sudah...!” ucapnya diikuti telapak tangan menutup mulutku. Dia membiarkan mulutku menggigit telapak tangannya, sementara kepalanya masih terkulai di sisi lenganku yang masih ”utuh”.

***
Ibu kost terhenyak melihat penampilan Magda, ketika kami tiba dirumah. Dia pun mengumbar tawa, “ Wow....putri kayangan...dari mana mau kemana malam ini dengan anakku Tan Zung..? Kamu cantik sekali,” pujinya, lantas mendekap Magda.
“ Zung, awas! Jangan nakal lagi,” ingatnya sambil meninggalkan kami berdua.

“ Magda, sudah siap?”tanyaku sambil memopongnya masuk ke kamarku. Magda tak menjawab, dia hanya memejamkan matanya. Aku melihat dia semakin gusar ketika aku merebahkan di atas ranjang.
“ Pap...! ?”
“ Iya mam. Tunggu sebentar 'yang, ” ujarku sambil membuka kalung yang dikenakannya di leherku.
“ Kenapa pap?” tanyanya ketika aku mengenakan kembali ke lehernya, kemudian aku mencium keningnya.
“ Pap....kenapa.,? tanya sambil bangkit dari pembaringan, lantas menahanku ketika aku berbalik ke arah lemari.
“ Sebentar ‘yang. Kok nggak sabaran sih?” godaku.
“ Nggak, aku nggak mau sebelum papa katakan, kenapa mengembalikan kalungku? Ini kan pemeberian papa?”
“ Ya, sebentar. Mama kok, nggak sabaran? Nanti kita terlambat lho.!”

Magda melepaskan tanganku, matanya mulai berkaca-kaca. “ Kenapa ? Mengapa mama menangis? Mama menyesal?”
Magda terus menatapku. Perlahan dia menggoyangkan kepalanya, berujar: “ Nggak pap. Kenapa papa selalu meragukan keutuhan hatiku? Aku akan menyerahkan semua yang aku miliki, jika itu yang papa inginkan. Pap, lihatlah kedalam hatiku, disana papa akan menemukan semua yang papa inginkan. Tak ada yang tersembunyi untukmu papa. Aku menyerahkan untukmu papa. Iya, mama akan mengorbankan semuanya untuk seorang papa yang mencintaiku.... Look into my heart - you will find, there’s nothin’ there to hide. Take me as I am - take my life. I would give it all - I would sacrifice. “

“Mam, terimakasih untuk semuanya itu. Mama, mau menikmati kebahagian malam ini? Tutup matamu sayang.!” Magda menuruti permintaanku, kemudian dia menutup matanya. Segera aku melangkah ke lemari, mengambil kalung pemberiannya yang aku taruh dipojok, dibawah lipatan pakaianku. Aku meraih kedua tangannya setelah kalung itu ditanganku.
” Mam, buka matanya. Kenakan ini pada leherku. Lihat masih adakah disana tahi lalat kesayangamu itu?” ujarku , lantas bibrku menyentuh ujung bibirnya.

Magda menampar pipiku, kemudian menghempaskan tubuhnya diatas ranjangku, berteriak: “Papa...nakal. Papa kerjain aku lagi...” ujarnya dalam tangis.
“ Magda, malam ini aku juga telah memberimu yang terbaik. Bangunlah ‘yang. Aku telah melihat kedalam hatimu. Lihatlah juga kedalaman cintaku.!”
“ Papa...nakal” ujarnya masih dalam isak kebahagian.
“ Mama, bangunlah. Nanti kita terlambat. Mama telah memberiku melebihi apa yang mama pikirkan. Mama, aku masih tangguh. Mama, aku masih melihat dan merasakan ketulusan cintamu hanya untukku seorang. Terimakasih mama!” ujarku di sisi telinganya.
"You know it's true pap, everything I do, I do it for you papa." ( Bersambung)

Los Angeles. November 2009


Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/