Sunday, December 6, 2009

Telaga Senja (179)


http://www.youtube.com/watch?v=YgI3b6PEjho

===============
Selama Maya mebersihkan bekas minyak pijatan di bahu dan lengan, aku terus diliputi rasa risau. Seandainya Magda tahu “kebaikan hati” Maya, pasti terjadi perang maha dahsyat. Beruntung, secara kebetulan, paginya saat Magda mengantarku, telah kupesankan, agar aku tidak usah di jemput.
================

Sementara dia masih membersihkan tubuhku, aku sengaja mengajaknya mengobrol, menghindari sakwasangka pak Ginting dan ibu.
“ Dari siapa Maya tahu aku berada disini?”
“ Dari Shinta. Kenapa nggak pernah balas suratku bang,?” tanyanya.“ Aku tak pernah terima. Mungkin Maya kirim ke alamat yang salah. Maya, tidak usah lagi membicarakannya. Lupakanlah itu. Persiapkan dirimu menyongsong hari bersejarah dalam kehidupanmu.

Sejak kapan kamu pacaran dengan Parlin.?”Maya diam. Aku mengulangi pertanyaan yang sama. Maya bungkam, tangannya mulai terasa lamban membersihkan tubuhku. Aku berbalik mengarahnya. Maya menatapku dengan sendu.“ Kamu jadi menikah dengan Parlin minggu depan bukan,?” tanyaku lagi. Aku mulai gelisah setelah melihat wajahnya semakin "redup". Buru-buru aku mengenakan t-shirt dan mengajaknya keluar dari kamar mandi.
“ Maya , kita bicara di ruang tamu saja. Hapus dulu air matamu. Nggak baik terlalu lama kita di kamar mandi,” ujarku. Tidak lama setelah di ruang tamu, aku minta ijin pulang ke pak Ginting, sengaja menghindar percakapan lanjutan dengan Maya.

“ Boleh aku nanti hadir dalam pernikahanmu,?” tanyaku ketika dia mengikutiku menunggu angkutan umum. Maya tak menjawab. Dia mengalihkan pembicaraan. “ Kita pulang sama bang,” ujarnya seraya menyerahkan kunci motor miliknya.
“ Tanganku belum kuat mengenderi motor,” dalihku. Dia berbalik kerumah pak Ginting dan menitipkan motornya.“ Aku mau mau pulang kerumah Magda,!"dalihku.
“ Nggak apa-apa, kita bicara di rumah Magda,” balasnya. Bah! Cari perkara pula ini perempuan, bisa-bisa aku jadi pergedel, oleh Magda, kataku dalam hati.” Mau bicara apa? Kenapa nggak bilang sekarang?” tanyaku. Sementara kami ngobrol, mobil angkutan yang aku tunggu telah datang. Maya ikut masuk bersamaku.

“Kita mampir sebentar ke kampus bang. Aku ada janjian dengan Shinta,” ujarnya seraya melihat arlojinya. Menyebut nama Shinta, aku setuju ikut bersamanya. Seandainya pun ada “burung” menyampaikan ke Magda, perjumpaanku dengan Maya, Shinta bisa menjadi saksi sekaligus pembelaku. Shinta keluar dari kantin kampus menyongsongku dan Maya. Matanya binar, mulutnya "berkicau” bagai cucak rawa. “ Sudah mamak-mamak, kamu nggak berubah, ngerocos terus. Mana suamimu?” tanyaku.
“ Di kantor. Kangen ?”“ Nggak. Aku mau jewer telingamu,” gurauku.“ Ehe...abang juga nggak berubah, bandit,!” tawanya.

Tiba di kantin, Shinta memulai pembicaraan serius tentang acara pernikahan Maya. “ Sebelum kami bicara ke Magda, aku minta tolong kesediaan abang jadi pendamping Parlin pada pernikahan kami,” pinta Maya. Shinta mendukung.
"Lho, minggu lalu, Shinta menyampaikan pesan agar aku tidak datang pada pesta pernikahanmu,?" tanyaku heran.

“ Iya bang. Aku yang suruh," jawab Maya. Aku melihat Shinta mengedipkan matanya kearahku seraya menganggukan kepala. Aku memaknai, seakan pertanda, nanti dia akan menjelaskan, kenapa. Adakah sesuatu yang tersembunyi yang akan disampaikannya? Kami mengakhiri pertemuan “aneh” itu setelah aku minta ijin pulang terlebih dahulu. “ Ada urusan yang harus aku selesaikan siang ini,” ujarku. Shinta mengantar Maya untuk mengambil motor yang ditipkan dirumah pak Ginting. Sebelum berpisah, Maya menyampaikan keinginannya bertemu dengan Magda.
" Nanti malam, aku dan Shinta mau menemui Magda," ujar Maya.
***
Selama perjalan pulang ke rumah Magda, aku tidak habis pikir atas ajakan Maya, sebagai pendamping calon suaminya. Sebelum Maya dan Shinta ketemu dengan Magda, rencanaku siang ini, ingin menemui Magda ke kantor. Tiba di rumah aku menanyakan kunci motor kepada Rina.

Dengan wajah beringasan menjawabku : “ Mas, mau pergi kemana lagi? mau pergi dengan Maya iya.?”
“ Bukan!. Aku mau menemui Magda ke kantor. Ada apa, kok.....?”

“ Ada apa? Mas sinting! Maya sudah mau menikah pun, masih tega ngerecokin. Apa mas nggak punya hati? Bagaimana kalau calon suaminya melihat mas berduaan dengan Maya? Pakai otak dong! Nih, pakai ini motor, jalanglah mas sesukamu!” lanjutnya, lantas melempar kunci motor ke lantai.

Tidak saja terhenyak melihat sikap Rina, juga hati membuncah mendengar hujatannya. Rina membanting pintu kamarnya ketika aku ingin menjelaskan pertemuanku tak terencana itu dengan Maya. Aku melit. Bagaimana Rina tahu jika aku bersama Maya. Aku mengiba agar Rina mau membuka pintu kamarnya, namun dia bergeming. Prahara baru itu kini muncul secara kebetulan.

Mendung datang begitu tiba-tiba ditengah kemilau sinar mentari dalam pelukan cintaku dan Magda. Akankah tragedi setahun silam akan menimpa rajutan kasih yang hampir tiba diujung penantian itu? Aku masuk ke dalam kamar, merenung, setelah Rina menolakku menjelaskan kejadian yang kini berubah menjadi tragedi itu.

Dalam perenungan pahit, aku berucap lirih: " Magda, ampunkan aku kali terakhir. Aku masih setia merawat dan menjaga keutuhan hati. Semuanya ini diluar keinginanku." ( Bersambung)

Los Angeles. December 2009
Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Telaga Senja (178)



http://www.youtube.com/watch?v=mMiCzV09PhY

Scorpions - Still Loving You
Time, it needs time /To win back your love again. /I will be there, I will be there. /Love, only love /Can bring back your love someday. /I will be there, I will be there.

Fight, babe, I'll fight /To win back your love again. /I will be there, I will be there. /Love, only love /Can break down the walls someday. /I will be there, I will be there.

If we'd go again /All the way from the start, /I would try to change /The things that killed our love. /Your pride has build a wall, so strong /That I can't get through. /Is there really no chance /To start once again? /I'm loving you.

Try, baby try /To trust in my love again. /I will be there, I will be there. / Love, your love /Just shouldn't be thrown away. /I will be there, I will be there.

If we'd go again /All the way from the start, /I would try to change /The things that killed our love. /Your pride has build a wall, so strong /That I can't get through. /Is there really no chance /To start once again?

If we'd go again /All the way from the start, /I would try to change /The things that killed our love. /Yes I've hurt your pride, and I know /What you've been through. /You should give me a chance /This can't be the end.

I'm still loving you. /I'm still loving you, /I need your love. /I'm still loving you. /Still loving you, baby...

=========================
Gelisah karena papa.?”
“ Nggak tahu lah. Pap, kita pulang iya. Atau, papa masih mau nginap di rumah Susan.?”
“ Nggak mam...nggak!” tegasku. “ Kita pulang sama ke rumah. Besok mama masih mau mengantarkan papa ke rumah pak Ginting.?”
“ Nggak. Mama nggak mau....” ujarnya lirih di telingaku, lantas menggigitnya , gemas.

==========================

MALAM itu, rencana menginap di rumah Susan aku batalkan ketika merasakan hati Magda sedang berbunga-bunga setelah mendengar tanya jawabku dengan Susan perihal waktu pernikahan kami. Demikian juga ketika selama di night club, ditengah suasana romantis, aku menyatakan kepastian rencanaku. Cairan yang mengucur dari kelopak matanya di atas bahuku kala kami melantai adalah, jawaban semua usulan rencana yang aku telah persiapkan. “ Mama ikut dengan apa yang papa putuskan,” ucapnya lirih. Seiring keseriusan kami, Magda semakin sensitif, cemburu, terutama kepada mantan -mantan pacarku.

Sekembali dari night club, Magda seakan tak mau pisah dariku. Meski kami sudah di dalam gerasi, dia enggan turun dari mobil. Aku mengingatkannya besok hari pertama kerja, sementara jarum arlojinya telah menunjuk ke angka satu. “ Mama nggak sabaran lagi,?” gurauku ketika dia merebahkan kepalanya ke atas kedua pahaku. “ Ayo masuk, ntar mami curiga, ngapain subuh begini di dalam mobil.”
“ Biarin. Mamiku kan mertua papa,” tawanya. Tidak begitu lama, dinginnya malam ”mengusir” kami dari dalam mobil. " Malam baik papa," ujarnya, lalu Magda menciumku sebelum masuk ke kamar.
***
Pagi, sebelum berangkat kerja, Magda mengantarkanku “terapi”. “ Nanti nggak usah dijemput. Papa mau pastikan kalau rumah kosku dulu masih ada kamar.”
“ Setelah itu papa mau kemana.?”
“ Pulang ke rumah, masak untuk mama,” gurauku disambut tawa Magda.

Terapi pagi itu, pijatannya terasa sakit seperti hari pertama. Menurut pak Ginting hal itu disebabkan aku kurang istrahat. Dia agak kecewa setelah diberitahu, malam sebelumnya aku istrahat setelah pukul satu dini hari.
“ Selama dalam perawatan tidurnya harus teratur,” tegurnya. Selain waktu terapi lebih lama, aku mengaduh kesakitan ketika tangannya “menari” diatas bahu dan lenganku. “ Begini akibatnya bila tak tunduk pada perintah,” ujarnya ketawa di sela jeritanku.

Saat pijatan akhir aku mendengar suara seorang perempuan memanggil namaku dari depan pintu, mirip suara Maya. Aku berbalik kearah pintu setelah pak Ginting mengakhiri pijatannya. Aku terhenyak, tetapi surprise, setelah melihat wajah yang memanggilku itu, Maya. Tak sadar, setengah badanku masih telanjang berlabur minyak, berdiri menyongsongnya ke depan pintu.
“ Kapan datang bang,?” tanyanya.
“ Nak kesini, di lap dulu badannya,” sela ibu Ginting yang selalu setia menunggui suaminya saat melakukan pijatan.

Sebelumnya, selama tiga hari berturut-turut, Magda membersihkan tubuhku dengan air hangat yang telah disiapkan ibu Ginting di kamar mandi. “Ayo nak, biar ibu yang gantikan pacarmu membersihkan badanmu,” tawanya seraya mengajak ke kamar mandi.
Aku mengenalkan Maya pada pak Ginting dan isterinya. “ Maya, teman sekampung “ ujarku. Maya mengikuti kami dari belakang. Di depan pintu, Maya meminta handuk kecil dari ibu: ” Biar aku yang membersihkan bu.”

Aku menolak Maya ikut masuk ke kamar mandi: ” Maya tunggu aku di ruang tamu,” kataku. Maya bersikeras membersihkan tubuhku yang masih dilabur minyak urut. Ibu Ginting mengalah. Aku jengah. Dengan bahasa daerah asalnya, ibu bertanya: “ Siapa lagi perempuan ini nak? Aku nggak pernah lihat.”
“ Mantan pacarku. Dia akan menikah minggu depan,” jawabku
“ Banyak kali pun pacar kau nak,” ujarnya lantas meninggalkan aku dan Maya.

Aku terus membujuk Maya agar menungguku di ruang tamu.” Maya, meski baru minggu depan kamu melangsungkan pernikahan, tetapi sebenarnya kamu telah menjadi “isteri” Parlin. Sebab, tahap-tahapan pernikahan telah kamu lalui hingga “partumpolon”( acara pertunangan yang dilangsungkan di gereja, dihadapan pejabat gereja, disaksikan kedua belah pihak, pen). Menurutku, apa yang akan kamu lakukan sangat tidak patut. Aku tak dapat bayangkan seandainya Parlin atau keluarganya mengetahui hal ini.” ujarku seraya meangambil handuk dari tangannya. “Maya, sebentar lagi Magda datang menjemputku. Bisa-bisa pernikahanku batal, kalau dia melihat atau mengetahui ini,” tambahku.

Maya bersikukuh; dia tak mau keluar dari kamar mandi. Dengan berat hati, aku membiarkannya membersihkan tubuhku. Selama Maya mebersihkan bekas minyak pijatan di bahu dan lengan, aku terus diliputi rasa risau. Seandainya Magda tahu “kebaikan hati” Maya, pasti terjadi perang maha dahsyat. Beruntung, secara kebetulan, paginya saat Magda mengantarku, telah kupesankan, agar aku tidak usah di jemput. (Bersambung)

Los Angeles. December 2009



Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/