http://www.youtube.com/watch?v=YgI3b6PEjho
================
“ Dari siapa Maya tahu aku berada disini?”
Sejak kapan kamu pacaran dengan Parlin.?”Maya diam. Aku mengulangi pertanyaan yang sama. Maya bungkam, tangannya mulai terasa lamban membersihkan tubuhku. Aku berbalik mengarahnya. Maya menatapku dengan sendu.“ Kamu jadi menikah dengan Parlin minggu depan bukan,?” tanyaku lagi. Aku mulai gelisah setelah melihat wajahnya semakin "redup". Buru-buru aku mengenakan t-shirt dan mengajaknya keluar dari kamar mandi.
“ Maya , kita bicara di ruang tamu saja. Hapus dulu air matamu. Nggak baik terlalu lama kita di kamar mandi,” ujarku. Tidak lama setelah di ruang tamu, aku minta ijin pulang ke pak Ginting, sengaja menghindar percakapan lanjutan dengan Maya.
“ Boleh aku nanti hadir dalam pernikahanmu,?” tanyaku ketika dia mengikutiku menunggu angkutan umum. Maya tak menjawab. Dia mengalihkan pembicaraan. “ Kita pulang sama bang,” ujarnya seraya menyerahkan kunci motor miliknya.
“ Tanganku belum kuat mengenderi motor,” dalihku. Dia berbalik kerumah pak Ginting dan menitipkan motornya.“ Aku mau mau pulang kerumah Magda,!"dalihku.
“ Nggak apa-apa, kita bicara di rumah Magda,” balasnya. Bah! Cari perkara pula ini perempuan, bisa-bisa aku jadi pergedel, oleh Magda, kataku dalam hati.” Mau bicara apa? Kenapa nggak bilang sekarang?” tanyaku. Sementara kami ngobrol, mobil angkutan yang aku tunggu telah datang. Maya ikut masuk bersamaku.
“Kita mampir sebentar ke kampus bang. Aku ada janjian dengan Shinta,” ujarnya seraya melihat arlojinya. Menyebut nama Shinta, aku setuju ikut bersamanya. Seandainya pun ada “burung” menyampaikan ke Magda, perjumpaanku dengan Maya, Shinta bisa menjadi saksi sekaligus pembelaku. Shinta keluar dari kantin kampus menyongsongku dan Maya. Matanya binar, mulutnya "berkicau” bagai cucak rawa. “ Sudah mamak-mamak, kamu nggak berubah, ngerocos terus. Mana suamimu?” tanyaku.
“ Di kantor. Kangen ?”“ Nggak. Aku mau jewer telingamu,” gurauku.“ Ehe...abang juga nggak berubah, bandit,!” tawanya.
Tiba di kantin, Shinta memulai pembicaraan serius tentang acara pernikahan Maya. “ Sebelum kami bicara ke Magda, aku minta tolong kesediaan abang jadi pendamping Parlin pada pernikahan kami,” pinta Maya. Shinta mendukung.
"Lho, minggu lalu, Shinta menyampaikan pesan agar aku tidak datang pada pesta pernikahanmu,?" tanyaku heran.
" Nanti malam, aku dan Shinta mau menemui Magda," ujar Maya.
Dengan wajah beringasan menjawabku : “ Mas, mau pergi kemana lagi? mau pergi dengan Maya iya.?”
“ Ada apa? Mas sinting! Maya sudah mau menikah pun, masih tega ngerecokin. Apa mas nggak punya hati? Bagaimana kalau calon suaminya melihat mas berduaan dengan Maya? Pakai otak dong! Nih, pakai ini motor, jalanglah mas sesukamu!” lanjutnya, lantas melempar kunci motor ke lantai.
Tidak saja terhenyak melihat sikap Rina, juga hati membuncah mendengar hujatannya. Rina membanting pintu kamarnya ketika aku ingin menjelaskan pertemuanku tak terencana itu dengan Maya. Aku melit. Bagaimana Rina tahu jika aku bersama Maya. Aku mengiba agar Rina mau membuka pintu kamarnya, namun dia bergeming. Prahara baru itu kini muncul secara kebetulan.
Mendung datang begitu tiba-tiba ditengah kemilau sinar mentari dalam pelukan cintaku dan Magda. Akankah tragedi setahun silam akan menimpa rajutan kasih yang hampir tiba diujung penantian itu? Aku masuk ke dalam kamar, merenung, setelah Rina menolakku menjelaskan kejadian yang kini berubah menjadi tragedi itu.