Sunday, August 16, 2009

Telaga Senja (102)



Let It Be
When I find myself in times of trouble/Mother Mary comes to me/Speaking words of wisdom, let it be./And in my hour of darkness/She is standing right in front of me/Speaking words of wisdom, let it be./Let it be, let it be./Whisper words of wisdom, let it be.

And when the broken hearted people/Living in the world agree,/There will be an answer, let it be./For though they may be parted there is/Still a chance that they
will see/There will be an answer, let it be./Let it be, let it be. Yeah/There will be an answer, let it be.


And when the night is cloudy,/There is still a light that shines on me,/Shine on until tomorrow, let it be./I wake up to the sound of music/Mother Mary comes to me
Speaking words of wisdom, let it be./Let it be, let it be./There will be an answer, let it be./Let it be, let it be,/Whisper words of wisdom, let it be

====================
“ Hot ngapan malam-malam begini. cariin kakaknya? Sudah gede kok dicariin.?” tanya Sonya. Sayup kudengar Lam Hot melangkah cepat seperti mengejar seseorang, suaranya terdengar memanggil...” Mbak...tunggu. Mbak mau kemana.?”
====================

SONYA heran melihat kehadiran adikku Lam Hot dan seorang perempuan mencariku ditengah malam. Dia menanyakan, apakah perempuan itu, maksudnya Ria, yang membawa kabur uangku dulu. ” Masih berlanjut bang.?” tanya Sonya.
“ Berlanjut? Aku belum ketemu sejak dia membawa kabur uangku. Aku juga nggak tahu, siapa teman Lam Hot mencariku malam-malam begini.?” jawabku.

Sebenarnya, ada keinginan untuk menemui sosok perempuan yang datang dengan Lam Hot. Aku yakin dia adalah Laura. Tetapi badanku tak mampu berdiri setelah alkohol menggerogoti keseleluruh syarafku. Sonya menyelimuti seluruh tubuhku sebelum dia minta izin meninggalkanku sendirian dalam kamar. “ Bang aku pulang dulu.”

Meski tak jelas, aku mendengar dua orang berbicara didepan pintu saat Sonya mau keluar dari kamar, selanjutnya mataku redup tak mendengar percakapan berikutnya mereka.
***
PAGI sekitar pukul enam, Lam Hot membangunkanku. Badan agak pulih meski kepala masih sedikit terasa pusing. Kali ini Lam Hot berbicara serius. Dia sangat menyesali sikap urakanku.
“ Dulu, sebelum berangkat dari Medan, bang telah berjanji kepada ayah dan ibu, mau meninggalkan kehidupan malam. Malah sekarang semakin gila. Uang dihamburkan-dihamburkan main judi. Kalau merasa berlebih, kenapa nggak kirim ke kampung bantuin orangtua. Empat lagi bang adik kita yang masih sekolah,” ujarnya.

“ Aku berusaha Hot, tetapi aku selalu gagal bila terbentur masalah,” balasku.
“ Setiap orang tak lepas dari masalah, tetapi tidak harus “bunuh diri”. Apa yang abang lakukkan itu hanya pelarian sesaat. Abang merasa telah ”menyelesaikan” persoalan, padahal sebenarnya menambah masalah baru . Sadar atau tidak, perilaku abang menambah penderitaan orang lain, setidaknya membuang waktu sia-sia. Bukan hanya Sonya, aku sejak tengah malam harus mengurusi abang. Laura juga menjadi korban keangkuhan abang,” suaranya mulai meninggi.

“ Kenapa dengan Laura.?”
“ Laura tidak hanya mengorbankan perasaannya, juga dirinya. Kan abang tahu Laura bukan perempuan pegajul seperti abang, Demi abang, dia rela menemanimu ketempat jahanam ini, tetapi justru abang mengusirnya seperti perempuan sampah. Keterlaluan! Apa kurangnya sih mbak Laura? Hampir dua minggu kita menjadi tamu agung di Yogya. Tetapi abang tega membalas dengan air cuka.”

“ Laura dimana.?”
“ Lupakanlah dia bang. Dia merasa terhina atas perilaku abang tadi malam. Mbak Laura sangat terpukul setelah melihat abang dan Sonya keluar dari kamar mandi. Pikirannya macam-macam. Aku sudah coba jelaskan tadi malam, kalau Sonya itu tetangga dan teman Rina, tetapi dia terus menangis dan menutup kupingnya. Laura juga bilang, nggak mau kerja lagi, dia mau pulang ke Yogya.”
“ Hah !?...gila.!”
“Abang yang gila, kok nuduh orang lain gila.” balas Lam Hot.
“ Kenapa dia ikut-ikutan keluar? Tadi malam aku katakan, aku yang mau keluar dari pekerjaan.”
“ Abang keluar? Lalu abang mau makan apa?” teriak Lam Hot. Aku tak peduli dengan teriakkannya.

“ Temani aku sekarang menemui Laura sebelum jam kantor. Tolong dik.!”bujukku. Lam Hot menolak menemaniku.
" Untuk apalagi bang, semuanya sudah jadi abu. Tadi malam dia sudah katakan, semuanya telah berakhir ketika aku mengantarkan ke tempat kostnya. Dia sangat sakit hati setelah melihat Sonya bersama abang. Kalau mau ketemu pergilah sendiri,”ujarnya. Sebelum Lam Hot meninggalkanku, dia menyerahkan uang milikku.” Ini uang titipan dari Sonya, katanya, uang abang bertaburan di lantai klub malam itu.”

Tanpa Lam Hot, aku segera berangkat ke rumah Laura. Aku untuk minta tolong ke ibu kost untuk memanggilnya dari kamar setelah berulangkali aku gagal membujuknya keluar dari kamar. “ Tolonglah bu, aku mau ketemu dia sebelum aku pulang ke Medan,” mohonku.

“ Mungkin aku nggak kembali lagi ke sini untuk waktu yang lama,” ujarku lagi meyakinkan. Missi ibu berhasil, Laura membuka pintu kamar, kelopak matanya agak bengkak. Duh, pastilah semalam menangis, dugaku. Aku segera masuk kamarnya sebelum dia melangkah keluar. Laura berdiri disisi tempat tidurnya, menunduk.

“ Laura, maaf. Aku telah melukai perasaanmu. Tak perlu kujelaskan kenapa aku bersikap seperti itu, aku harap Laura mengerti perasaanku. Tapi sudahlah, lupakan semuanya itu. Laura, sepertinya, Jakarta bukan tempat yang cocok untukku. Besok lusa aku mau kembali ke Medan. Mungkin hari ini, hari terakhir aku bekerja. Sebelum aku pulang ke Medan, boleh kita jalan bersama untuk kali terakhir? Ada sesuatu yang sangat perlu ku jelaskan.”

Laura kaget mendengar keputusanku, dia berbalik dan membantingkan tubuhnya keatas tempat tidur. Isak tangisnya memecah kesunyian ruangan. Ibu kost berlari menemui kami dikamar,” Ada apa mbak? Kenapa dia mas? tanya ibu kost. Aku hanya berdiri, terpaku di sisi tempat tidurnya. “ Boleh aku tinggal sebentar di kamar ini?” tanyaku kepada ibu kost. Dia menggaggukkan kepala sembari tangannya memberi isyarat, agar aku membujuk Laura, lantas dia keluar sambil menutup pintu.

Setelah menunggu agak lama Laura tak kunjung bicara, aku permisi sambil menyentuh lengannya. Bibirku bergetar tak mampu menahan rasa sedih akan perpisahan yang sangat menyakitkan. “ Laura, ini pertemuan kita terakhir. Bolehkah aku melihat wajahmu saat terakhir. Laura..! Berpalinglah hanya sejenak agar aku melangkah tulus. Laura.! Laura... sekali lagi aku mohon maaf.

Dia tetap tidak mau menjawab, menolehpun tidak selain isak tangis. Baiklah, kalau berpalingpun tak rela, jika tidak keberatan bolehkah aku meminta kali terakhir? Tolong dibakar semua foto-foto kita selama di Yogya.! Selamat tinggal...Laura!” (Bersambung)

Los Angeles, August 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/