Wednesday, December 23, 2009

Telaga Senja (193)

========================
“ Papa pulang tanpa seijin bapatua dan mamatua? Mengapa sekeji itu.?”
“ Mam, memang aku salah. Tetapi semuanya berawal dari ketidaksetujuan mereka. Aku sangat marah dan langsung meninggalkan mereka.”
“ Sekarang tergantung papa dan mama. Seperti papa telah janji. Kita akan menempuh dengan cara apapun. Mama telah siap!”
========================
Magda duduk disebelahku. Tangannya mengusap kepalaku lembut.” Papa, tadi malam mama dan Rina jadi pergi kerumah Maya. Mama beritahu kenapa papa nggak bisa ikut. Maya mengerti kok. Pap, tadi aku sudah beritahu mami kita berangkat bareng ke gereja. Rina dan Thian ikut pap.” Mendengar nama Thian, semangatku kembali pulih.
“ Kenapa nggak bawa Thian,” tanyaku, disambut tawa Magda.
“ Kenapa ketawa mam.?”
“ Tadi mama khawatir melihat papa seperti orang putus asa. Tetapi mendengar nama Thian, papa langsung bergairah. Mama perhatikan, setiap mendengar suara Thian atau menyebut namanya, semangat papa menyala, kenapa?”

“ Mama mencurigai kalau aku ayahnya?”
“ Memang nada suaraku mencurigai papa.?”
“ Mam, tolong jangan tambahin lagi persoalan baru. Aku pusing mam!”
“ Papa. Mama tidak merncurigai kok. Mama senang, melihat gairah papa setiap mendengar suara Thian. Pap, kelak, mama akan memberi yang terbaik untuk papa. Papa mau laki atau perempuan,?”tanyanya manja seraya memutar wajahku mengarah ke wajahnya. Aku mendadak sontak atas pertanyaannya, seketika aku rebahkan kepalanya diatas pangkuanku, ” Bukan mama yang menentukan anak kita kelak, laki atau perempuan,” ujarku lalu mencium keningnya.

“ Mama, nggak usah mencurigaiku. Papa sangat senang bila mendengar suara Thian. Papa memang suka anak-anak. Mungkin karena papa cukup lama merawat empat adikku ketika masih di kampung.”
Masih diatas pangkuanku Magda meraih kepalaku, ditelingaku dia berbisik,” Mama mau anak pertama, lelaki. Biar ada teman mama gebukin papa kalau nakal,” ujarnya seraya bangkit dari pangkuanku, lalu menyuruhku tidur.

“Papa tidur dulu, mama mau pergi belanja dengan mami. Nanti mama bangunkan saat akan makan siang.”
Sebelum Magda meninggalkan kamarku, aku minta ijin mau pergi ke kantor Susan,“ Boleh papa pergi ke kantor Susan.?”
“ Nggak boleh.Kalau mau pergi tunggu mama.”
“ Oalah... mama. Belum punya anak saja pun, galaknya bukan main.”
“ Papa nggak mau bilang, kesana ngapain? Ada janjian?”
“ Papa kesana mau minta advise.”
“ Bilang lah dari tadi. Tetapi, papa istrahat dulu. Ntar papa sakit, mama juga yang capek ngurusin. Sebelum papa kesana telepon dulu, mungkin ibu itu sibuk karena mahasiswa baru selesai ujian. Nanti telepon mama kalau sudah selesai bicaranya. Jangan keasyikan pap.” tawanya.
***
Sepeninggal Magda, aku merebah diatas tempat tidur. Badan terasa pegal, karena terbaring diatas karung beras, selama perjalanan dari kampung yang memakan waktu enam jam itu. Kalau saja Magda tidak memaksaku bangun, tidur akan berlanjut hingga esok harinya. Menurutnya, sudah tiga kali bolak-balik datang ke kamarku, tetapi nggak tega membangunkannya.

“ Papa tidurnya seperti orang mati. Dicubitin juga nggak merasa. Papa mimpi apa sih? Mimpiin mama iya?”
” Ya nggak lah. Masya diri sendiri dimimpikan. Papa mimpi Susan dan Maya.” gurauku
“ Laura nggak pap?” sambungnya
“ Terlalu jauh. Papa hanya mimpi orang disekitar kita,” tawaku. Magda tak menanggapi serius, meski menyebut nama-nama mantan pacarku.
“ Buruan pap, mami nungguin kita. Mami nggak suka terlambat. Apalagi malam seperti ini pada muncul orang-orang yang jarang ke gereja, ntar kita nggak kebagian tempat duduk.”
Kembali dari kamar mandi, Magda ngomel,” Mana pakaian papa yang lain? Nggak ada pun yang pantas dipakai ke gereja,”kesalnya.

“ Kan jas belum selesai di jahit? Apa papa pakai kain sarung?”
“ Papa jangan bercanda melulu. Nanti mami kelamaan nungguin kita,” teriaknya.
“ Duh...katanya damai dibumi damai di surga. Nyatanya, dikamar ini pun tak ada damainya. Pada hal malam ini perayaan menyambut kelahiran sang Raja Damai.”
“ Ya..ya.. nanti lah khotbahnya pap.” ujarnya lantas menyeretku keluar dari kamarku.
Tiba dirumah Magda, dia buru-buru lari ke kamar tempat koper kusimpan. Dia memilih pakainku yang masih tertinggal di rumahnya. “Pap, buruan pakaian sebelum mami keluar dari kamar.”

“ Magda keluar dulu. Genit amat sih. Masya aku gantian pakaian didepanmu.” Sedang ribut dengan Magda, Rina masuk ke kamarku. “ Iyakh...ini lagi, mama-mama masuk kamar. Kapan aku ganti pakaian?” protesku disambut tawa Magda seraya menarik tangan Rina keluar dari kamarku.

Selesai menegenakan pakain, aku keluar dari kamar. Magda menyambutku dengan muka masem. “ Papa kenapa nggak pakai dasi?” tanyanya, menyeretku lagi masuk kedalam kamar. “ Mam, kenapa harus pakai dasi? Dimana ditulis dalam Alkitab harus pakai dasi?”. Magda bosan mendengar ocehanku, dia langsung meninggalkanku di kamar dengan rasa kesal, muak dia. Aku kejar dia persis di mulut pintu.

“ Mam, ajarin papa bagaimana cara mengikatnya,”bujukku. Magda berbalik kearahku antara percaya dan tidak, kalau aku nggak tahu mengikat dasi. “ Papa serius nggak tahu?” tanyanya lantas mengikatnya dileherku sembari ngomel. “ Sok Alkitabiah, taunya karena nggak tahu ngikat dasi. Mana ada dalam Alkitab, angekin tunangannya? Yang ada, tunangannya dibelai, dituntun penuh rasa sukacita. Tetapi papa? menuntun tunangannya kedalam pencobaan,” ngenyeknya.( Bersambung)

Los Angeles. December 2009


Tan Zung

"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/