Sunday, January 24, 2010

Telaga Senja (214)

======================
Suatu pagi, Rina yang kali pertama mengunjungi danau toba tak berkesudahan menuturkan pesona takjub keindahan alam sekitar. “ Tetapi mas, bilangin dong ke warga ditepian danau untuk menjaga kebersihannya. Kok mereka membuang sampah sembarangan.!?”
=======================

MALAM akhir bulan madu yang berakhir dua hari lebih awal dari terencanakan menghapus luka yang mendera ketika tangan-tangan sesama ingin membelengu kebebasanku dan Magda menentukan arah hidup. Kesehatian berasas kejujuran itu kami ikat dalam ikrar, setia hingga ajal menjemput.
“ Papa, aku rindu mami, aku rindu rumah. Kita pulang lebih awal,” pinta Magda saat kami baru bagun tidur. Aku memaklumi kerinduannya, sama sepertiku juga sangat merindukan kedua orangtuaku. Hati selalu dihantui rasa bersalah, karena kami telah melangsungkan pernikahan tanpa seijin orangtuaku dan orangtua Magda. Keinginan semakin meluap setelah dua minggu tak ada komunikasi dengan keluarga kecuali dengan Jonathan, adik Magda.

“ Papa nggak kangen dengan rumah mertua papa,?” tanyanya bergetar.
“ Pastilah mam,” jawabku sebelum dia melanjutkan dengan urain airmata.
Ntar malam, sepulang dari sini kita nginap dirumah mami iya pap? “
“ Tetapi....”
“ Tetapi... apalagi? Katanya papa rindu,” potongnya
“ Belum saatnya. Nanti setelah orangtuaku menemui mami atau keluarga mama, kita dapat mengunjungi mami.”

“ Mama nggak mengerti sikap papa. Masya menginjak rumah tempat aku dibesarkan, adat tak memperbolehkannya? Adat apaan itu?” ucapnya kesal. Tak mau mengusik keutuhan hati serta kebahagiaan yang belum lama kami ukirkan, aku mengangguk setuju.
“ Iya mam, papa mau. Tetapi, kita lihat situasinya. Jika mami mengijinkan, papa mau menginap.”
Papaaaa....gimana sih? Belum apa-apa sudah pikun. Mama mengajak nginap, bukan mau ketemu mami. Mami kan masih di Berastagi. Mereka baru kembali besok lusa. Memang papa sudah berani temui mami.?” Kepalang salah jawab, aku menjawab,” Papa berani! Kenapa nggak, bagaimanapun mamimu mertuaku.”
Bagai kerasukan, Magda bangkit dari sisiku, berteriak kegirangan kemudian menciumiku sepuasnya.

“ Nanti setelah kita ketemu mami, kita pulang kampung temui amangtua dn mamatua.” Magda tersipu malu ketika aku menegurnya. “ Papa sudah berapa kali ingatkan. Jangan panggil amangtua dan mamtua. Cukup panggil amang dan inang saja.”
“ Maaf. Kebiasaan pap.!
***
Liburan kami akhiri setelah puas menyeluusuri tepi pantai. Sukar rasanya meninggalkan danau toba yang telah memberi kami kesejukan jiwa. Disana, terlalu banyak kenangan terukir selama lima hari itu. Tak kurang mengesankan adalah, Thian ikut menikmati kesejukan alam sekitar. Kesehatannya terjaga prima meski pada malam hari, cuaca kadang tak menentu. Dalam usianya belum dua bulan, Thian telah mengenali suaraku dan Magda, selain suara ibunya, Rina. Tak jarang Thian tidur lelap dalam pangkuan Magda, padahal sebelumnya cengeng dalam pelukan Rina.

Sebelum pulang kerumah, kami mampir kerumah Shinta setelah mengantarkan Mawar ke rumahnya. Sejenak, didepan pintu, Shinta pangling ketika melihatku pakai peci dan Magda mengenakan kerudung. Aku dan Magda kelupaan membukanya. Rina juga tidak mengingatkan.
Shinta kaget dan berteriak sesaat aku dan Magda membuka alat samar yang kami kenakan. Mereka berpelukan, cukup lama. “ Boleh aku masuk? “tanyaku menyadarkan Shinta, sekaligus melepaskan pelukannya. Shinta menarik tangan dan mengajakku ke dapur setelah menyilakan Rina dan Magda duduk diruang tamu beserta Sihol, suaminya Shinta.
“ Abang dan kakak pindah agama iya?”
“ Nggak. Kenapa? Karena kami kami mengenakan peci dan kerudung? Ompung/kakek kita juga pakai peci.”
“ Iya. Tetapi ompung boru/nenek, nggak pakai kerudung,” jawabnya. Shinta mendadak ketawa lepas setelah aku utarakan alasan kenapa aku dan Magda mengenakannya. “ Maup maho.( Sialan kamu, pen) balas Shinta. Kami kembali keruang tamu, Shinta masih terus cekikan.

“ Akhirnya jadi juga. Perjalanannya cukup panjang dan melelahkan iya kak?” ucap Shinta. Sihol, suami Shinta, juga tampak senang menerima kehadiran kami. Kami mohon ijin pulang setelah kurang lebih setengah jam bertamu disana. Sebelum kami meninggalkan rumah Shinta, dia menyerahkan surat dari orangtuaku. Menurut Shinta, beberapa jam lalu diantarkan seseorang, teman satu kampung, ke rumahnya. Shinta hampir saja kelupaan, seandainya aku tidak menanyakan, apakah dia jadi memberi khabar ke kampung perihal pernikahanku.

Seingatku, selama bertahun-tahun sekolah di Medan, ayah atau ibu tak pernah mengirimkan surat kepadaku, kecuali ada hal yang sangat penting, misalnya, jika ada diantara keluarga jatuh sakit atau meninggal. Shinta dan Magda menyuruhku membuka amplop dan membacanya.
“ Nantilah dibaca di rumah. Biar mantunya yang baca duluan,” ujarku. Magda senang mendengarkannya.
“ Iya pap, kali pertama membaca surat mertua,” balasnya, disambut tawa Shinta dan Sihol. Meski aku merasakan ada sesuatu yang tidak beres, namun aku bersikap biasa. Dalam hatiku menduga, isinya pasti tidak jauh dari marah atau nasihat.
***
Tiba dirumah Magda, mataku liar kesekeliling sebelum turun dari mobil, sementara posisi parkir sengaja siap kabur jika ada orang yang mencurigai. Beberapa saat, kami biarkan Rina dan Thian masuk terlebih dahulu. Merasa situasi sekitar aman, aku dan Magda melangkah masuk kerumah. Setengah berlari Magda menarikku masuk ke dalam kamarnya.

" Pap, ayo ke kamar mama. Kamar ini banyak menyimpan kenangan karena nakalnya papa. Apalagi ketika dahulu papa"meceraikan" mama," ujarnya bergayut manja. Sekarang, lanjutnya, papa sudah bisa tidur bersama mama di kamar ini. Kami berdua duduk di sisi atas ranjang. Aku biarkan dia sejenak, berimprovisasi dengan kenangan lamanya, sementara aku tak sabaran ingin tahu isi surat dari orang tuaku.

" Mam, bacakan dulu surat dari mertuamu," kataku mengingatkannya.
" Oh..iya pap, aku hampir kelupaan," jawab Magda seraya mengambil dari tasnya. Kubiarkan dia membaca isi yang tak terlalu panjang itu. Wajahnya berubah seusai membaca surat, menatap sendu, lalu merebahkan tubuhnya di pangkuanku. ( Bersambung)

Palm Spring. January , 2010

Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/