Sunday, January 3, 2010

Telaga Senja (197)

"When you look me in the eyes"
If the heart is always searching/Can you ever find your home/I have been looking for that someone I'll never make it on my own /Dreams can't take the place and loving you/There's gotta be a million reasons why it's true
(Chorus)
When you look me in the eyes/Tell me that you love me/Everything's alright, /When you're right here by my side. When you look me in the eyes/I catch a glimpse of heaven/I find my paradise/When you look me in the eyes
(Verse 2)
How long will I be waiting/To be with you again/I'm gonna tell you that I love you/In the best way that I can I can't take a day without you here/You're the light that makes my darkness disappear
(Chorus)
When you look me in the eyes/Tell me the you love me/Everything's alright, /When you're right here by my side. When you look me in the eyes/I catch a glimpse of heaven/I find my paradise/When you look me in the eyes
(Bridge)
Moving on, I start to realize/I can reach my tomorrow /I can hold my head up high/It's all because you're by my side (Chorus) .........

==========================
“ Tadinya aku mau kerjain ayah dan om. Papa titip pesan ke ibu bahwa kita sedang ke luar kota berbulan madu. Tapi saat baru keluar, ayah datang. Kebohonganku berakhir di emperan kamar,” ujarku, disambut tawa geli Magda.
=========================

PAGI sebelum berangkat ke pernikahan Maya, Laura menelepon, minta maaf tidak jadi datang pada hari Natal beberapa hari lalu. Menurut Laura, dokter belum mengijinkannya naik pesawat. "Papa, pacarnya baru telepon memberitahu nggak bisa datang," ujar Magda.
" Mam, jangan cari perkara. Siapa lagi pacarku selain dirimu.?"
"Laura pap." jawabnya ketawa. Mata Magda berbinar melihatku berpakaian lengkap. Dalam canda dia berujar,” Pap, sekarang saja kita ke catatan sipil.”
“ Kasihan Maya nggak ada pendampingnya,” jawabku serius. Dihadapan Rina dan maminya, Magda mendekap seraya menempelkan pipinya ke pipku.
“ Mam, itu ada mami!?”bisikku
“ Mama sengaja pap,” balasnya.

Dari pintu kamar maminya mengingatkan kami, sementara Magda masih mendekapku. “ Magda, sudah mau pukul 10, berangkatlah kalian. Pendamping nggak boleh terlambat,” ingat maminya, namun Magda terus mendekapku.
” Sebentar lagi pap,” bisiknya ketika aku berusaha melepaskan dekapannya. Rina medekati kami ketika meihat Magda terus mendekapku. “ Mbak, mas nggak kemana-mana lagi. Ayo kalian berangkat, sebelum terlambat,” ujarnya. Rina mengingatkan Magda ke cermin memeriksa make-up.

“ Mbak air matanya masih nempel tuh,” ingat Rina.
Aku mendampingi Magda ke kamar untuk menyempurnkan make-up yang sedikit berubah setelah dia menempelkan pipinya ke pipiku serta mengeringkan airmata kebahagiannya.
“ Mam, kenapa menangis?,” tanyanku saat mengusap, pelan, air mata yang masih terisa di kelopak matanya.
“ Mama nggak sabaran lagi,” tawanya renyah.

“ Ayolah mam, Thian terlalu lama nungguin mamatuanya,” ujarku disambut tawa ceria Magda. Tidak lama kemudian, keluarga pengantin datang menjemput kami. Didalam mobil Magda berucap pelan,” Pap, sepertinya kita yang akan menikah.”
Saat turun dari mobil, sejumlah pasang mata keluarga Maya menatap kami, menurut penilaianku, mereka kagum melihat keserasianku dengan Magda. Tangan Magda menggaet lenganku seraya melangkah ke rumah Maya. Di kamar Maya, Magda bertanya ,” Maya. aku cocok nggak dengan abang Tan Zung.?” Dengan senyum dipaksakan, Maya menjawab,” Ya mbak. berdua pasangan ideal.”

Sebelum acara pernikahan dimulai, di kursi pendamping, aku berbisik kepada Magda,” Mam anggap saja kita yang sedang menikah. Nanti, semua pertanyaan pendeta yang ditujukan ke pengantian pria aku jawab dan pertanyaan ke pengantin perempuan jawab dalam hati.Nanti juga Tuhan akan mendengarkannya.”
“ Oh..ya..ya pap,” jawabnya semangat.

Aku melihat wajah Maya kurang ceria ketika keluar dari ruang konsistori, sementara wajah calon suaminya cerah, secerah matahari terik pukul 12 siang. Atas persetujuanku Magda mendekati Maya, mengatakan sesuatu kepada Maya, namun aku tidak mendengar jelas apa yang diucapkannya. Sejenak kemudian acara pemberkatan nikah dilangsungkan. Aku dan Magda mengambil posisi sesuai dengan peran masing-masing. Sesekali Magda mencuri pandang ke arahku. Aku membalasnya dengan senyuman kala beradu pandang. Sepertinya hari itu adalah hari teruntuk kami berdua, meski kadangkala hatiku agak terusik dengan curi pandang Maya.

Jujur, perasaanku terganggu ketika Maya menerima cincin dari calon suaminya. Sengaja aku mengalihkan pandanganku ke Magdalena dengan tatapan serius, seakan aku menyerahkan cincin pernikahan kepadanya. Sebelumnya, ketika kembali dari altar mengantarkan Maya dan pasangannya, aku “paksakan” menggeser posisi duduk pendamping utama pria pada posisiku posisi pendamping dua. Kini, aku duduk persis disisi Magdalena. Magda menyadari pergantian posisi duduk itu. Tangan kanannya memegang telapak tangan kiriku, sembari meremasnya, sementara mata kami tertuju ke depan menyaksikan upacara pemberkatan nikah. Seusai pemberkatan nikah, aku kembali pada posisi semula, pendamping dua.

Di dalam gedung resepsi pernikahan, Maya berbisik kepadaku,” Nggak apa-apa, abang dan Magda boleh meninggalkan panggung ini. Nanti aku bilang ke pendamping lainnya untuk tetap tinggal bersamaku.” Magda tampaknya terusik dengan dekatnya mulut Maya ke telingaku.
“ Maya bisikin apa pada papa,?” tanyanya bernada curiga.
“Mam, dia cemburu melihat kebahgaian kita. Maya menyuruhku pergi bersamamu meningalkan panggung ini. Ayo mam, kita duduk di ruang VIP. Aku mau mencium mama. Boleh nggak.?”
“ Papa, jujurlah pada mama. Maya bisikkan apa?”
“ Nggak percaya, tanyakan langsung ke Maya.”

Aku bengong ketika Magda meningglkanku, pergi menemui Maya. Magda berbicara dengan Maya, kemudian kembali menemuiku. “ Magda, kamu sinting. Ngapain kamu menemui Maya. mama nggak pecaya dengan papa.?!” kataku geram persis ditelinganya.
“ Papa, aku hanya minta ijin. Nggak enak kita pergi begitu saja. Nanti Maya kecarian,"ujarnya seraya menggaet tangaku keluar dari panggung pengantin.
“ Papa, wajahnya jangan cemberut. Nggak malu dilhatin orang banyak.?”
“ Magda, jangan buat yang aneh-aneh. Tadi papa kira, kamu nggak mempercayaiku ucapanku.”
“ Pap! Minggu depan kita sudah mau menikah, masya sih mama masih nggak percaya dengan papa?”
“ Okey mam. Orang banyak pada ngeliatin kita. Mam, senyum. Ayo mam senyum. Tuh mami dan Rina ngeliatin kita.” (Bersambung)

Los Angeles, January 2010


Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/