Tuesday, August 4, 2009

Telaga Senja ( 93)





Day after day I'm more confused/But I look for the light through the pourin' rain /You know, that's a game, that I hate to loose/I'm feelin' the strain, ain't it a shame

*)
Give me the beat boys and free my soul/I wanna get lost in your rock and roll and drift away/Give me the beat boys and free my soul /I wanna get lost in your rock and roll and drift away/ Won't you take me away

Beginin' to think, that I'm wastin' time/And I don't understand the things I do/The world outside looks so unkind/I'm countin' on you, you can carry me through

*) Give me the beat boys and free my soul/I wanna get lost in your rock and roll and drift away/Give me the beat boys and free my soul/I wanna get lost in your rock and roll and drift away

Won't you take me away

And when my mind is free/You know your melody can move me/And when I'm feelin' blue/ The guitars come through to soothe me


Thanks for the joy you've given me/I want you to know I believe in your song/And rhythm, and rhyme, and harmony/You helped me along, you're makin' me strong

*) 2 X
Won't you take me away

=========================
Menurut mbak Magda, Shinta datang kesana memberitahukan bahwa bulan depan Maya akan menikah.”
“ Menikah? Menikah dengan siapa?” tanyaku penasaran.
“ Lho kok kaget seperti itu.? Apa masih ada yang tersisa......?” tanya Laura seakan mengejek.
=========================

DUGAAN Laura benar, perasaanku terusik mendengar khabar Maya akan menikah. Memang hubunganku dengannya tak berlangsung lama karena ulah omnya si John “sibagurtano”. Maya bagai robot tak mampu menjadi dirinya sendiri, tidak seperti Magda dan Laura mampu mengatakan “tidak” bila ada yang intervensi privacinya, tak terkecuali kepada orangtua mereka. Selama duduk dihamparan pasir ditepi pantai Laura terus “memantau” perubahan sikapku meski aku berusaha menutupinya.

“ Maaf mas, aku nggak sengaja menyebut nama itu. Aku tidak menduga kalau mas masih menyimpan bara asmara dengan mbak Maya,” ujarnya.
“ Ah....kamu sok tahu. Nggak ada bara asmara, yang ada bara amarah terhadap om Maya,” ujarku sambil memaksakan tawa.
“ Jadi cinta mas kandas ditangan om nya?” balasnya dengan ketawa pula.
“ Entahlah Laura ! Tetapi yang pasti cintaku, ibarat air di daun keladi. Walaupun tergenang tetapi tak meninggalkan bekas; ketika dahannya bergoyang, airpun tertumpah curah habis tak meninggalkan bekas. Begitu juga cintaku pada Maya, hilang tak berbekas!”
Hah..kan ? Aku tadi bilang kok mas jadi melankonis. Duh....kali pertama aku mendengar pengakuan jujur, tak bersayap. Ayo cerita lagi dong mas. Aku suka,” ujarnya sambil menggoyang-goyang lenganku.

" Sudahlah Laura. Itulah kalimatku terakhir mengenang Maya, disini, ditepi pantai disambut tarian riak dan gelombang laut, manakala aku duduk dengan seorang perempuan yang pernah mencintaiku secara sembunyi-sembunyi. Kemudian kandas.....”

“ Tetapi cinta seseorang perempuan itu kandas tidak seperti air di daun keladi kan mas.!?” potongnya diiringi tawa.
“ Mungkin seperti air di atas kain sutera. Meski tertumpah tetapi masih ada yang tersisa.!” balasku disambut gelak Laura.
Aku segera mengalihkan pembicaraan perihal Maya, karena otakku sudah mulai menukil kenangan dengannya kala kami menghadiri pernikahan Shinta, tempo dulu. Aku tak ingin melayani pertanyaan Laura, lagi, yang sengaja memancing “history” ku dan Maya. Laura menghentikan”investigasi”nya setelah aku sodok nama Gunawan. Kelimpungan dia,” mas nggak usah sebut nama itu lagi.” pintanya memelas.

” Ya wis. Laura juga jangan menyebut nama Maya lagi.” balasku
“ Yang terakhir mas sebelum kita tutup “sesi” pembicaraan tentang Maya, Mas pulang saat pernikahannya.?” tanyanya serius.
Hallahh...kamu pakai sesi segala. Aku belum tahu pasti pergi atau tidak. Kebetulan bulan yang sama Rina akan melahirkan, tetapi aku juga belum tahu tanggal pastinya. Aku sih lebih mementingkan kelahiran Thian. Mudah-mudahan jarak waktu pernikahan Maya dengan kelahiran Thian tidak terlalu jauh.”

“ Kita pergi bareng iya mas.?”
“ Boleh saja. Tetapi apa mungkin boss mau kasih ijin sekaligus untuk dua orang dalam waktu bersamaan.?”
“ Aku nanti yang minta ijin. Pasti dikasih,” ujarnya yakin.
***
Laura bangkit dari duduk dan meraih lenganku berjalan menjauh dari Lam Hot dan sejumlah turis sekitar kami. Sambil berjalan, Laura mengawali pembicaraanya , agak serius, berkaitan dengan sikap mami dan papinya perihal lamaran orangtua Gunawan. Menurutnya, kemarin malam sikap maminya telah berubah drastis. Maminya minta maaf kepada Laura dan papinya, juga sudah telepon tantenya di Solo memberitahukan bahwa mami telah menyadari kekliruan dan menerima “perlawanan” Laura menolak pinangan Gunawan.
“ Sepertinya aku dalam mimpi mendengar pengakuan mami. Aku peluk dan menciumi mami, kami kembali seperti adik-kakak. Papi juga memelukku erat, airmatanya mengalir dan berkata: “ Laura Tuhan mendengar doamu.”

“ Laura tanyakan kenapa mami akhirnya setuju dengan penolakanmu.?”
“ Nggak mas. Aku kira tak ada gunanya menanyakan itu dan akupun nggak perlu tahu. Yang pasti mami telah menyadari kekeliruannya selama ini.”
“ Jangan-jangan aku dianggap calon mantunya.!?
“ Mungkin juga.” ketawanya renyah.
“ Bagaimana Laura menjelaskan kepada mami bahwa kita hanya sebatas teman?”
“ Nantilah setelah kami betul-betul pulih aku akan jelaskan. Yang susah menjelaskan kepada papi. Mungkin mas bisa bantu. Apa yang harus kukatakan.!?”

“ Papimu mengira kita sedang merajut benang asmara.?”
“ Itulah sisi lain akibat penolakanku terhadap Gunawan. Waktu itu, aku yakinkan papi kalau aku sudah punya teman. Dan itu sebabnya, papi belain aku. “
“ Kamu menyebut namaku kepada papi.?”
“ Nggak. Tetapi papi terus memperhatikan kita sejak hari pertama tiba di rumah dan makan direstauran hingga kita mampir di hotel. Menurut papi, senang melihat keluguan mas.?”

“ Bah! Aku dibilang lugu! Itu kan saudara kandungnya dungu.?”
“ Mas jangan bigitu dong. Nggak ada hubungannya lugu dengan dungu. Aku juga ketawa dalam hati ketika papi bilang mas lugu. Tetapi itu kan pandangan papi sekilas.”
“ Lalu, sekarang bagaimana. Kemarin Laura telah putuskan aku. Bilanglah sama papi, kamu telah meberiku talak,” guyonku.

Laura tak mau diajak bercanda. Dia melepaskan tanganku, merengek. “ Aku nggak suka di candai terus. Aku butuh bantuan mas.”
“ Nggak ada jalan lain, nikahi aku biar papimu puas.!” celutukku lagi.
“ Massss! Aku serius. Aku bilang apa pada papi.?” tanyanya dengan mimik wajah mengharap.
“ Terserah Laura mau bilang apa. Kamu termakan permainanmu sendiri; bermain api diatas bara, rasain.!” ( Bersambung)
Los Angeles, August 2009


Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/