http://www.youtube.com/watch?v=WXtc-TH0Iv4
They said, "I bet they'll never make it" /But just look at us holding on /We're still together still going strong
(You're still the one) You're still the one I run to /The one that I belong to /You're still the one I want for life
(You're still the one) You're still the one that I love /The only one I dream of /You're still the one I kiss good night
Ain't nothin' better /We beat the odds together /I'm glad we didn't listen /Look at what we would be missin'
They said, "I bet they'll never make it" /But just look at us holding on /We're still together still going strong
(You're still the one) You're still the one I run to /The one that I belong to /You're still the one I want for life
(You're still the one) You're still the one that I love /The only one I dream of /You're still the one I kiss good night (You're still the one) You're still the one I run to /The one that I belong to /You're still the one I want for life
(You're still the one) You're still the one that I love /The only one I dream of /You're still the one I kiss good night I'm so glad we've made it /Look how far we've come, my baby.
“ Sebenarnya sudah sejak tahun lalu mas. Tetapi baru kemarin dulu, aku secara tegas menolaknya. Mami semakin gelisah setelah Laura dan mas datang bareng.”
“ Lho, aku punya andil dalam masalahmu?”
“ Iya. Pemicunya,” jawab Laura getir diiringi senyum, pahit.
“ Laura menyesal datang bersamaku.?”
“ Nggak juga. Bahkan aku merasa beruntung karena “lahar” yang selama ini terpendam tersembur walau sangat menyakitkanku.”
“ Bagaimana dengan tantemu yang di Jakarta? Mereka setuju dengan pilihan mami .?”
“ Oh..nggak. Tante dan om Felix sangat dekat denganku; mereka nggak pernah mencampuri urusan pribadiku.”
“ Apapun yang terjadi mas, Laura tak bakal menuruti kemauan mami.”
“ Apakah nggak ada pertimbangan lain, misalnya, menjaga keharmonisan diantara keluarga. Bukankah papi juga jadi korban kebencian mami dan tantemu yang di Solo.?”
“ Mas, ini pesoalan hati. Maksud mas, aku menjadi “srikandi” ditengah keluarga, meski itu hanya kemunafikan.?”
“ Laura, cinta itu dapat lahir dan bertumbuh seiring kebersamaanmu dengannya dalam keseharian.”
“ Bagaimana dapat lahir dan bertumbuh, bertemupun aku tak sudi.”
“ Laura mungkin menyimpan akar pahit dengan Gunawan.?”
“ Bukan juga. Gunawan itu pengecut. Aku mulai muak melihatnya sejak tahun lalu. Seminggu sebelum berangkat ke Perancis, kepada sejumlah teman, dia mengaku bahwa aku dan dia telah bertunangan. Padahal, belum sekalipun Gunawan berbicara langsung kepadaku. Gunawan hanya bersembunyi dibawah bayang-bayang orangtuanya dan mamiku.”
“ Laura dan Gunawan satu kampus.?”
“ Ya. Dia diatasku satu tahun.”
“ Jadi selama kuliah, Gunawan belum pernah mengungkapkan isi hatinya?”
“ Belum. Aku juga ragu dengannya, sepertinya dia lebih suka dengan teman sejenisnya.!”
“ Hah..! Jangan-jangan Gunawan dan om Laurance ....”
“ Nggak ah. Mas ngaco. Tahun depan om Laurance akan menikah dengan perempuan Perancis.”
“ Tahu dari mana kalau Gunawan pemain anggar.?” tanyaku geli. Laura mengenyitkan dahinya medengar pertanyaanku. Menurutnya pembicaraan sudah nggak nyambung.
“ Mas ngantuk iya. Laura nggak pernah bilang Gunawan pemain anggar. Mas, sok tahu,” ujarnya serius.
“ Pemain anggar itu sama dan sebangun dengan gay,”terangku.
“ Pemain biola,” jawabku. Aku membiarkannya, sejenak , berenang dengan rasa gelinya.
“ Bagaimana dengan om Laurance, dia setuju Gunawan menjadi suamimu.?”
“ Om tak pernah menyinggungnya. Tetapi aku yakin, dia tak akan mau mencampuri urusanku. Om itu sudah pernah merasakan bagaimana sakitnya ketika berpisah dengan calon isterinya, dulu.”
“ Tetapi itu kan masalah perpisahan antara calon isteri dengan calon suami. Masalahmu masih dalam tahap perjodohan.”
“ Tahap perjodohan? Denga siapa mas? Aku tak pernah merasakan Gunawan menjadi jodohku.”
“ Iya. Tetapi yang pasti, mami menjodohkanmu dengan Gunawan bukan?”
“ Itu tanpa sepengetahuanku. Kok mas belum mengerti juga,?” ucapnya dengan kesal.
“ Iya sudah. Kita bicara yang lain saja. Atau Laura mau pulang?”
“ Nggak. Aku nggak mau pulang.”
“ Jadi malam ini mau bergadang sampai pagi. Eh...besok kita berangkat siang atau sore hari?”
“ Nggak jadi mas. Nggak ada tiket.”
“ Kapan jadinya kita kembali ke Jakarta? Atau aku duluan.?"
“ Mas, masih mau menolongku? Kita pulang minggu depan. Selama mas disini, kita tetap jalan sama.”
“ Aku jadi nakhoda atau penopang layar perahu yang hampir karam.?”
“ Terserah mas mau jadi apa.”
“ Kapan Gunawan kembali ke Perancis.”
“ Nggak tahu mas. Sejak dia datang dari Perancis, aku belum pernah bicara berdua dengannya. Kan tadi aku sudah bilang.!?”
Los Angeles, July 2009
Tan Zung