Friday, October 9, 2009

Telaga Senja (138)







Bridge Over Troubled Water
When youre weary, feeling small/When tears are in your eyes I will dry them all/Im on your site, oh, when times get rough/And friends just cant be found

Like a bridge over troubled water,/I will lay me down,/Oh, like a bridge over troubled water/I will lay me down

When youre down and out, when youre on the streets/When evening falls so hard, I will comfort you/Ill take your part when the darkness falls and pain is all around

Yes, like a bridge over troubled water/I will lay me down/Oh, like a bridge over troubled water/I will lay me down

Sail on, silver girl, sail on by/Your time has come to shine/All your dreams are on their way/See how they shine/Oh, if you need a friend,/Im sailing right behind

Yes, like a bridge over troubled water/I, I will ease your mind/Like a bridge over troubled water/I will easy your mind


======================
Dalam waktu bersamaan, setelah mendekat kepada Laura, satu kenderaan bajaj melaju dengan kecepatan tinggi. Aku berusaha menghindar dengan salto, tetapi terlambat. Tubuhku terlempar hampir menindih tubuh Laura. Dengan tenaga yang tersisa, aku menggapai wajahnya dengan tanganku sambil berteriak memanggil namanya. Kemudian aku terkulai tak sadarkan diri.
=======================


Beberapa jam setelah kejadian, aku mulai sadarkan diri. Kujur tubuh terasa remuk. Pangkal lengan tangan kanan tak dapat ku gerakkan. Aku mencoba membuka kelopak mata namun tak sediktpun bergerak. Perlahan, aku merasakan sesuatu dalam kelopak mata, perih. Dunia terasa gelap dan menyesakkan. Sepertinya aku terpuruk dalam gua sempit nan gelap.

Mencoba meraba kelopak mata, tetapi kedua tanganku dibelengu. Dada semakin sesak. Meronta, tetapi sendi-sendi tubuh terasa lepas. Aku terus berusaha meronta dan berteriak dengan sekuat tenaga yang tersisa, mulutku memanggil.....Lauraaaaa!

Sepasang tangan menahan pergelangan kaki dan pangkal paha. Sesaat berikutnya, satu tusukan jarum suntik menghujam ke pahaku menghentikan teriakan dan rontaan tubuh. Akupun terkulai lemah.

Setelah beberapa jam pengaruh obat penenang mulai berkurang, aku gelisah. Aku masih belum sadar sepenuhnya apa yang terjadi.
“ Adakah orang disekitar ini?” tanyaku
“ Ada bang. Aku, Rima dan Neneng teman sekantor abang.” jawab adikku Lam Hot.
“ Aku dimana? Kenapa aku diikat? Kenapa mataku ditutup, hah...?”
“ Abang di rumah sakit. Abang dan Laura mengalami kecelakaan”
“ Laura dimana? Tolonglah mataku dibuka. Dadaku terasa sesak.”
“ Dokter belum mengijinkan. Sejak siuman, abang terus meronta dan berteriak. Menurut dokter. mata abang kena serpihan benda-benda kecil, kelopak mata terluka dan pangkal lengan sedikit bergeser. Jangan terlalu banyak bergerak bang. Dokter spesial tulang tidak masuk hingga besok, lusa baru masuk. “ jelas Lam Hot.

“ Laura dimana?”
“ Dia diruangan ICU. Dia juga sudah mulai sadar, tetapi dokter belum mengijinkan untuk di bezoek.”
“ Tolong aku bawa kesana Hot.”
“ Percuma juga abang kesana, mata masih dibalut.”
“ Kapan balutan mataku dibuka?"
" Nanti aku tanyakan dokter."
" Hot, aku haus,”
“ Tunggu aku panggilkan perawat bang.”
***
Aku mendengar suara perempuan menyapa. Dia menggegam jariku, erat. “ Zung, tabah iya. Laura sudah mulai sadar kok.”
“ Kamukah itu Neneng?
“ Ya. Zung jangan banyak bergerak dulu.”
“ Neng, laporan pemeriksaan Bandung belum sempat kesampaikan. Semuanya masih di dalam tas kerjaku.”
“ Zung, nggak usah pikirkan itu. Kebetulan pak Adrian baru berangkat ke airport mau ke Semarang. Tetapi aku sudah pager dia kok mas. Nggak usah khawatir.” ujarnya,. Aku merasakan usapan tangannya di wajahku.
“ Neng, sudah lihat Laura?”
“ Sudah kesana mas, tetapi belum boleh masuk ruangannya. Menurut dokter semuanya bagus, kecuali paha dan pinggulnya kena benturan benda keras. Belum pasti apakah perlu dioperasi. Dia hanya mengalami geger otak ringan, karena terhempas keatas aspal.”
***
Hari ketiga setelah kecelakaan, siang, aku mendengar suara tangis lepas sambil memeluk dan menciumiku. Airmatanya hangat mengalir diatas pipi. Aku ingin membalas pelukannya tetapi tangan kiri masih terbelengu. Aku belum mampu melihat sempurna wajah ibu karena kelopak mata sebelah kanan masih diperban, sementara mata sebelah kiri masih mengeluarkan cairan, perih.

Boasa songonon amang?/Mengapa begini nak?” Tangannya terus mengusap kepala dan pipiku.
” Boha di hilala ho amang?/Bagaimana perasaanmu nak?” tanyanya masih dalam isak.
“ Ibu, aku nggak apa-apa. Sebentar juga pulih. Ibu nggak usah menangis.”
“ Boado muse amang simalolongmi/ Bagaimana nanti matamu nak?”
“ Nggak apa-apa bu. Kata dokter cuma masuk serpihan benda kecil. “
“ Jadi boi dope ho amang marnida/Masih bisa kelak melihat?”
“ Ya, pasti bu."

Aku terkesima atas pertanyaan ibu. Kemudian pikiranku melayang kepada Magdalena. Masihkah dia mau menerimaku seandainya dokter menyatakan mataku buta untuk selamanya? Inikah karma yang aku terima akibat petualangan cinta yang membutakan? Selintas, aku memprotes Tuhan. "Tuhan! Kenapa Laura ikut menanggung siksa? Padahal, kami belum sekalipun melakukan dosa zinah ? Kenapa Tuhan menghukum dia.?"
Ibuku kembali menyapaku ketika aku diam dan bibir gemetar menahan sedih.

” Aha dipingkiri ho amang?/ Apa yang nak pikirkan?” tanya ibu dengan suara tersendat sambil mengusap keningku. "Pos roham amang. Urupan ni Tuhan i do ho?/ Yakinlah nak, Tuhan akan menolongmu."

Ibu melepaskan pegangan tangannya dari lenganku, setelah suara lirih seorang perempuan berucap sesuatu kepada ibu. Aku tak begitu jelas mendengar apa yang dia ucapkan kepada ibu.
“ Tongtong martangiangho amang/Tetaplah berdoa nak!” ujarnya. Aku mendengar dan merasakan perempuan itu membantu ibu beranjak dari duduknya.

Sesaat ibu berpindah dari disampingku, tiba-tiba detak jantung berpacu kencang ketika sebuah kecupan menyentuh diujung bibirku. Derai airmata dibiarkannya tertumpah membasahi wajah, lantas menempelkan pelan diatas kening. Tangannya lembut mengelus rambutku seraya berucap sendu ke telingaku,” Masih kenal suaraku.....? Bang......masih ingat aku..!?” ( Bersambung)

Los Angeles. October 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/