Monday, July 6, 2009

Telaga Senja (71)

====================
“ Magda, tidak mungkin pelangi lain ada disana selama milikmu masih bersinggasana, percayalah.”
“ Apa yang tidak mungkin pada abang! Abang membawaku terbang tinggi jauh keangkasa, kekemudian menghempaskannya dengan angkara murka.” ujarnya diikuti tawa sinis.
=====================
Malam itu kami akhiri pembicaraan dengan suasana dingin, aku menahan diri dan memang sudah berjanji dalam diri sendiri tidak akan melayaninya dengan amarah meski dia terus mencurigaiku. Saatnya dia akan mengetahui kejujuranku. Rasa gelisah agak berkurang setelah aku dan Magda bicara tidak lagi diwarnai degan amarah. Damai tapi gersang. Aku terus berusaha menahan diri meski rasa curiganya sangat berlebihan.

Mata baru saja mau diajak kompromi untuk lelap, dering telepon mengganggu tidurku. Laura mengingatkanku supaya siap-siap, sebentar lagi dia akan datang ; “ Kita serapan bareng dengan Lam Hot dan Rima,” ujarnya. Tak lama kemudian Lam Hot dan pacarnya Rima datang mengetuk kamarku. Mulut kubekap dengan bantal sambil berteriak kesal karena tidurku merasa terganggu. Kalau saja Rima tidak bersama adikku Lam Hot, hampir saja “kuberi” .

“ Oalah...lelet kali abang. Masya sudah pukul delapan, mandi juga belum,” tegurnya.
“ Rima, tolong gembok dulu mulut pacarmu itu,” ujarku, disambut tawa Rima.
Kembali Lam Hot nyelutuk setelah keluar dari kamar mandi; ” Bang, kita mau jalan, bukan mau ke kantor,” sindirnya karena aku mengenakan hem lengan panjang.
“ Hot cerewet amat sih!” celutuk Rima.
“ Tadi aku sudah bilang, gembok dulu mulutnya,” ujarku, namun dalam hatiku menerima sindirannya.

Laura datang menyusul kekamar persis setelah kami mau keluar dari kamar; Dia mengajak kami serapan yang telah disiapkan Mathias. Sejak keluar dari kamar hingga sedang serapan Laura menatapku dengan senyum, aku salah tingkah. Setelah selesai serapan, sebelum masuk kemobil Laura menarik lenganku menjauh dari Lam Hot dan berbisik: ” Mas, kita mampir di toko beli kaos iya!?”

“ Nggak usah, aku punya kok, sebentar aku ganti,” ujarku buru-buru meninggalkan mereka. Laura mengikutiku kekamar, “ Maaf lho mas,” ujarnya, matanya terus menatapku menanggalkan hem, kemudian mendekat ke koper kecilku ikut memilih jenis t-shirt yang pantas aku kenakan. Kali pertama Laura “mencampuri” urusan keserasian pakaianku. Yang ini nih yang dikhawatirkan Magda, bisikku dalam hati.

Ketika aku dan Laura masuk kedalam mobil, Lam Hot berlagak berbisik kekuping Rima, suaranya benada ngenyek; ” Aku kan tadi sudah bilang, kita ini bukan kekantor oom. Tetapi dibilangnya awak cerewet, disuruh pula mulut awak digembok.” Rima tertawa lepas mendengar celoteh Lam Hot, sementara wajah Laura memelas kearahku seakan minta maaf, lagi. Selama dalam perjalanan menuju ke candi Borobudur, Laura tampak kurang bergairah, semangatnya beda ketika pagi tadi membangunkanku dari tidur.

Aku mencoba mereka-reka kenapa keceriaanya berubah; munngkin dia merasa bersalah karena menegur pakaian yang aku kenakan sebelumnya atau karena melihatku juga kurang bersemangat. Laura asyik menggigit ujung kukunya, wajahnya berpaling keluar sedikit berkerut seakan memikirkan sesuatu. Dia tersipu ketika aku bertanya: ” Laura lagi nggak enak badan.?”

“ Ohh..nggak mas, kenapa?” jawabnya dengan senyum menutupi rasa kikuknya.
“ Kok pemandunya diam, beritahu dong kita ini sedang dimana, pukul berapa kita tiba di Borobudur. Itu sapinya jenis apa dan sedang apa disana, ?” tanyaku sambil menunjuk keluar.
“ Bang mau tahu jenis sapinya? Itu jenis lembu, !?” celutuk Lam Hot. Buru-buru tangan Rima menutup mulut Lam Hot sambil ketawa. Celutukan Lam Hot berhasil memancing ketawa Laura, wajahnya disandarkan kesisi bahuku, aku merasakan guncangan tubuhnya menahan tawa. “ Iya mas, jenis sapinya itu, lembu,” ujar Laura masih dalam gelak tawa.

***
Tiba di pelataran parkir aku mengajak Lam Hot agak menjauh dari Laura dan Rima, mengingatkan, kalau Laura merasa bersalah karena sindirannya tentang kemejaku tadi. ”Dia itu bukan orang “kita”, perasaanya terlalu halus, makanya tadi dia diam dalam mobil. Jangan asal ngerocos kamu,” ingatku.

Setelah kami kembali gabung dengan Laura dan Rima, lagi, Lam Hot mengoceh; ” Kak, pegang kuat tangan abang itu, jangan sampai lepas. Entar kita capek nyariin kayak di Ancol dulu,” ujarnya dengan mimik serius pula.
“ Mas, kita pisah saja dengan adik Lam Hot. Capek aku ketawa sejak dari tadi,” ujar Laura, lantas menarik tanganku sambil berjalan cepat mendahului Lam Hot dan Rima. Laura tampak gairah. Dia tak merasa sungkan menarik tanganku bila berjalan agak lambat.

Pergelangan kaki bekas kecelakaan tempo dulu mulai terasa “menggigit” tajam setelah perjalanan seputar candi. Awalnya masih mampu menutupi rasa sakitnya. Aku tak ingin membebani perasaan Laura, namun akhirnya aku terpaksa mengalah, minta istrahat. Laura kaget setelah melihat pergelangan kaki agak bengkak. “ Mas, kenapa tadi nggak beritahu Laura,?” ujarnya.

Rasa sakit membuyarkan rasa engganku menyentuh tubuhnya ketika Laura memapahku mencari tempat berteduh. Tangan kananku ditaruhnya keatas bahunya tempat bertumpu menahan tubuhku ketika melangkah, sementara tangan kirinya melingkar diatas pinggulku. Tubuh mulai gemetaran menahan rasa sakit, keringat mengucur disekuujur tubuh.

Dari kejauhan adikku Lam Hot dan Rima berlari kearah kami ketika mereka melihat Laura memapahku, berjalan tertatih-tatih. Kali pertama aku melihat wajah Lam Hot dengan mimik prihatin, dia merasa kasihan melihat penderitaan yang menderaku, lalu mencoba melepaskan tanganku dari bahu Laura,” Kak, biarkan aku yang memapah abang,” ujarnya. Namun Laura tidak melepaskan tanganku;” Ngak apa-apa Hot, aku masih kuat kok,” ujarnya, padahal aku melihat ekspresi wajahnya sudah agak letih menahan beban tubuhku.
Lam Hot mulai mengulah; ” Ku gendonglah kau bang? Capek kalipun si kakak memapah, mana keringatan lagi,” celotehnya setelah Laura menepis tangannya dari tubuhku.
Laura minta tolong kepada Lam Hot dan Rima mencari minuman, ketika Laura mendegar rintihanku, "aku haus".
“Hot tolong belikan air minum untuk mas Tan Zung,” pintanya. ( Bersambung)

Los Angeles, July 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/