Thursday, October 8, 2009

Telaga Senja (137)

==========================
“ Karena terpaksa Laura. Aku sangat malu terhadap diriku dan kepada dirimu, karena telah mengkhianati profesi dan kepercayaan yang pak Adrian berikan kepadaku. Mestinya kamu mengerti perasaanku.”
“ Tetapi mas tak pernah mengerti perasaanku...”
“ Tetapi..kita...” potongku.
“ Ya aku tahu. Bukankah mas janji kita akan tetap bersahabat? Tetapi, mas selalu mengingkari apa yang diucapkannya.”
===========================
“ Tentang apa Laura? Aku mengingkari ucapanku yang mana?”
“ Dulu, ketika aku mau pulang ke Yogya, mas janji tidak akan keluar dari pekerjaan. Aku bertahan, malah mas duluan yang keluar.”
“ Oh..iya. Aku ingat. Tetapi saat itu aku belum terlibat “penipuan” seperti yang kulakukan kemarin dulu. Sekali lagi Laura, aku sangat malu. Cepat atau lambat skandal ini akan terbongkar. Sebelum aku dipecat lebih baik mengundurkan diri. Itu lebih terhormat.”

“ Tidak! Lebih terhormat, bila mas mengembalikan uang itu.” tegasnya sambil menepiskan tanganku.
“ Laura sampai sekarang aku masih ragu mengembalikan kepada siapa. Kepada Tia atau Cecep sama saja memberi ke mulut buaya. Masalahnya adalah, aku telah menandatangani hasil audit itu,” sesalku.

Lagi, aku menghentikan Laura ketika mau mengambil pakainnya dari lemari. Laura membiarkanku mengeluarkan kembali pakaiannya dari koper, menaruh diatas tempat tidur.
Masss, aku mau pulang,” bujuknya dalam isak sambil rebahan diatas tempat tidur. Laura diam membiarkan tanganku menggerai rambutnya, membujuk agar menunda kepulangannya sedikinya dalam tiga bulan ini.

“ Laura, aku batalkan niatku keluar dari kantor, tetapi kalau pak Adrian memecatku sebelum tiga bulan, aku akan pulang. Dia bangkit, duduk sambil memeluk bantal.
“ Setelah tiga bulan, mas mau kemana?” tanyanya serius.
“ Kembali ke Medan, aku mau menikahi Magda. Tak baik terlalu lama berkalang rindu.”
“ Mas, serius? Aku boleh ikut?”
“ Nggak boleh.!”
“ Kenapa sih.?”
“ Aku nggak mampu melihat wajahmu, kala aku bersanding dengan Magda.”

“ Biar mas melarangku, aku pasti datang. Untuk yang terakhir aku ingin melihatmu bahagia dan aku akan duduk bersama dengan mbak Magda bersanding dengan mas. “ ujarnya sambil menyuruhku pulang: “ Mas, sudah pukul 4:00, nanti terlambat ke kantor.”
***
Laura mampir kerumah menjemputku pergi bareng kekantor seperti setiap pagi kami lakoni. Aku mendengar suaranya, tetapi aku tak mampu bangkit dari tempat tidur, bahkan kerongkonganku kering tak mampu menjawab panggilannya dari balik pintu kamar. Mulutku hanya berdesah menjawab panggilannya.

Pintu terbuka setelah ibu kost membuka dengan master key. Laura terperanjat melihat tubuhku meringkuk lemah diatas tempat tidur. “ Kenapa mas?” teriaknya, lalu telapak tangannya menyentuh keningku. Dengan sigap Laura kembali keruangan tamu menemui ibu kost.
“ Bu, maaf, aku mau ke dapur buatkan air hangat untuk mas Tan Zung, boleh?”
“ Laura, sejak kapan ibu membuat larangan di rumah ini ?” jawab ibu kost.
Aku kepicut pesona atas kesigapannya namun geli mendengar pertanyaan yang diajukan kepada ibu kost. Tiba dikamar, aku ingin mengucapkan sesuatu kepada Laura, namun suaraku tak dapat keluar kecuali berdesah. Laura mendekatkan telinganya ke mulutku setelah melihat gerak mulutku tanpa suara,” Ke kamarkupun kamu bebas, masya ke dapur kamu dilarang?”ucapku, disambut tawa Laura .

Laura membantuku mengangkat kepala, lantas menyorongkan air hangat bercampur jeruk nipis kemulutku, lega. Sedikit membantu dadaku yang masih terasa panas. " Mas, nggak usah kekantor dulu. nanti aku permisi kepada pak Adrian. Bagaimana dengan berkas dari Bandung? Boleh aku yang menyerahkan?"
" Jangan. Biar aku yang menyerahkan. Itu tanggung jawabku, " ujarku masih suara berdesah sambil menggelengkan kepala. Laura berangkat ke kantor setelah membenahi isi kamar yang masih berantakan. Pesan yang ada diatas meja disimpannya rapi, kecuali kertas berisi pesan Rizal, dibuang.

" Telepon aku kalau ada yang perlu. Ntar siang pada jam break aku beli makan, kita makan bareng. Masih mau makan bareng dengan aku kan mas ?" tanyanya sembari mengelus keningku. Aku menggelengkan kepala diiringi senyum. Laura memencet hidungku dengan tangan kanan sementara tangan kiri menampar pelan wajahku, mulutnya gemas lantas berlalu meninggalkan kamar.
***
Rizal berkunjung kerumah, setelah dia mendapat berita dari kantor, kalau aku sedang jatuh sakit. Rizal anak Belawan ini punya banyak kecet dan humor. Badan terasa segar setelah dicecoki dengan humor dan bualan omong kosong, sekedar enak dikuping. " Bang, kalau nanti sudah nikah, dari aku kembang melati dan kunci kamar.!"
" Kembang melati untuk apa? Lalu kunci kamar apa?"
" Kembang melati itu pertanda setia kawan bang. Kunci kamar pelambang, rahasia kita dijamin rapat-rapat."
" Rahasia apa? Kamu ngaco"
" Aku tak membocorkan kepada, yang itu bang, sipajang rambut orang Medan tuh!"
" Ndas mu, memang dia mau jadi isteriku. Emang gue kayak lu, dimana kau hinggap disitu ada isteri?" ujarku dengan suara parau.
" Jadi yang tadi malam itu hanya boneka.?"
***
Sementara aku asyik ngobrol dengan Rizal, Laura datang membawa makanan. Wajah Laura sedikit cembrut ketika bertemu dengan Rizal. Tak lama kemudian Rizal permisi pulang setelah melihat Laura menyiapkan makanan siang.
" Sampai ketemu besok sore bang!" ujar Rizal.
Laura membantuku bangkit dari tempat tidur kemudian menuntunku ke meja kecil di kamarku. Tiba-tiba Laura menutup mulutku dengan tangannya ketika mulai mencicipi makanan.
" Belum mas!. Kita belum berdoa,!" cegahnya. Weleh....sakitnya tak seberapa, malunya ini. Laura mengucap doa. Dia bermohon dalam doa agar penyakitku segera sembuh. Kepalaku seperti dipentung. Sebenarnya aku "sakit" karena sepulang dari rumah Laura dini hari, aku menghabiskan minuman sisa minggu lalu, pelampiasan ketika Magda mengulah.

Aku merasa malu kepada Laura dan kepada Tuhan, karena dalam doanya dia" bercerita" kepada Tuhan, bahwa aku jatuh sakit karena terlalu lelah bekerja. Aku mebukakan mata, tak mampu mengikuti doa Laura, namun wajahku tetap tertunduk layaknya orang sedang berdoa khusuk. Aku agak kaget ketika Laura menyentuh tanganku sambil berucap: " Mas, doanya telah selesai. Emang aku berdoa kelamaan. ?" tanyanya. Aku hanya membalasnya dengan senyum pahit.

" Mas, kenapa? Kok sepertinya nggak selera.?"
" Ya, mulutku terasa pahit," dalihku.
" Iya sudah. Aku juga nggak makan mas," kesalnya. Aku menahan tangannya ketika mau menyimpan makanan.
" Aku masih lapar Laura. Kenapa disimpan?"
" Aku nggak enak makan sendirian mas.!"
" Aku mau makan kok. Ayolah kita makan. Atau aku suapin Laura?"
" Halahh, bilangin saja mas mau disuap."

Sebelum Laura kembali kekantor, dia menanykan perihal kedatangan Rizal. Awalnya, aku merasa berat memberitahukannya. Tetapi karena terus didesak, terpaksa ku jelaskan: "Aku membatalkan kerja sore sebagai staf keuangan. Tetapi malam harinya, sepulang dari kantor, aku bersedia kerjasama dengan Rizal, sebagai "centeng", jelasku.
Laura kaget dan kesal: " Mas! baru berapa jam berjanji tak mau kerja di sana, kok sudah ingkar.?"

" Laura, aku butuh biaya banyak untuk persiapan pernikahanku dengan Magda. Aku tak mau membebani orangtuaku. Pernikahan orang batak tidak cukup hannya resepsi, masih banyak tetekbengeknya. Ada tujuh "langkah" yang harus dilalui sebelum pesta pernikhannya. Selain itu, pihak lelaki harus mempersiapkan mahar yang cukup besar. Tolonglah aku mengerti. Yakinlah, aku tak keluar dari kantor. Aku akan tetap bersamamu sebelum aku kembali ke Medan, aku janji."

Laura menghela nafasnya panjang, dia melihatku dengan tatapan hampa. Aku bangkit dari dudukku, mengelus wajahnya," Laura, tolonglah aku dimengerti. Aku janji, tidak akan meninggalkanmu selama aku di Jakarta. Laura keberatan kalau aku menikah dengan Magda.?" Laura menggelengkan kepalanya, tetapi kedua bibirnya dikatupkan rapat.

" Iyalah mas. Aku mau kembali ke kantor."
" Tunggu ! Laura nggak boleh keluar dari kamar ini membawa rasa kesal."
" Nggak mas, aku tidak merasa kesal. Aku setuju apapun yang mas putuskan demi kebahagianmu."
Laura membiarkan tanganku menggerai rambutnya, bertanya : " Laura tulus.?"
" Iya mas!" jawabnya dengan wajah sendu.
Aku mengingatkannya sebelum meninggalkan kamarku: " Laura, hati-hati dijalan. Jangan lupa menjemputku besok pagi."
***
Baru saja menutupkan pintu rumah, aku mendengar decitan mobil kemudian mendengar hantaman keras. Buru-buru membuka pintu. Ohhh iya Tuhan....Laura sudah tergeletak di atas aspal. Aku berlari dan berteriak memanggil namanya, Laura... !
Dalam waktu bersamaan, setelah mendekat kepada Laura, satu kenderaan bajaj melaju dengan kecepatan tinggi. Aku berusaha menghindar dengan salto, tetapi terlambat. Tubuhku terlempar hampir menindih tubuh Laura. Dengan tenaga yang tersisa, aku menggapai wajahnya dengan tanganku sambil berteriak memanggil namanya. Kemudian aku terkulai tak sadarkan diri.
. ( Bersambung)

Los Angeles. October 2009


Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/