Wednesday, November 25, 2009

Telaga Senja (170)

still believe
In the beginning it was just like a dream. /I remember every word you whispered so sweet. /Your tender kisses and the love that we made. /Oh you got me on my knees I was never afraid.

You promised the world said I was your only girl baby. /( promised me the world )
You promised the world said I was your only girl baby. /(Said i was your only girl )Baby Baby


I’ve been told a million lies I’ve been left with a broken heart. /But I still believe in love. /I’ve been hurt a thousand times I’ve been crying all the tears in the dark. /But i still believe in love.

I’ve been looking for somebody whose right. /The event who will be for more than one night. /I’ve been lookin for the love of my life. /When you think you’ve found someone and live on a lie.

You promised the world said I was your only girl baby. ( promised me the world ) yes you did /You promised the world said I was your only girl baby. (Said i was your only girl ) said i was your only girl Baby Baby oooh

I’ve been told a million lies/ I’ve been left with a broken heart. /But I still believe in love. /I’ve been hurt a thousand times I’ve been crying all the tears in the dark. /But i still believe in love.

I never lost my faith in love. /I never lost my hope for a good life. /There’s gotta be someone for me. /somebody who can give me everything that i need.

baby oh oh oh why a million lies with a broken heart. /baby baby oooh.

I’ve been told a million lies I’ve been left with a broken heart. /But I still believe in love. /I’ve been hurt a thousand times I’ve been crying all the tears in the dark. /But i still believe in love. ( repeat x3)
=========================
“ Mam! Ini bukan rumah Tan Zung!”
“ Apa hubungannya, rumah papa dengan rumah mami? Mama tanya mau di bantu? Jawabannya hanya “ya” dan “tidak” jawabnya centil.
“ Terserah mama lah”
“ Tidak ada pilihan jawaban ketiga. Hanya “ya” atau “ tidak”?
=========================

“Mama nggak malu nanti kalau ketahuan mami atau Jonathan?”
“ Kenapa malu. Mama kan sedang membantu orang sakit?”
“ Orang sakit? Atau calon suami.”
“ Iya, itoku calon suamiku. Mulai sekarang mama harus semakin menujukkan kedekatanku dengan papa.”
“ Tunjukkin apa?” tanyaku iseng.
“ Pemuda idaman yang badannya sedang mama bersihkan adalah calon menantunya. Jelas pap!” tawanya sembari melanjutkan tugas”keperawatan”, melap tubuhku.

“Pertenggkaran” manis sering aku ciptakan sekedar mendulang senandung berisi lirik-lirik cinta yang telah kami rangkai selama lima lahun lebih. Disana, di dalam lubuk hatinya , semaian cinta tumbuh subur . Kini, kelopak cinta itu semakin mekar , menebar semerbak aroma menyambut mentari harapan.

“ Papa, tak perlu lagi ditutupi. Sebenarnya mereka, maksudku, mami dan Jonathan telah menyaksikan dan merasakan keseriusanku.”
“ Magda sudah cerita ke mami keseriusanmu.?”
“ Kok cuma keseriusanku? Memang papa nggak serius?”
“ Ya,iya maksudku keseriusanmu dengan pemuda idaman itu.”
“ Kok papa mengkek amat sih? Memang hanya mama saja yang serius?”
“ Ya , si pemuda idaman itu juga lah.”

“ Pap, tanpa harus Magda ceritakan pun, sebenarnya mami telah tahu kok. Apalagi ketika mami melihatku menangis semalaman setelah mendengar papa kecelakaan. Malam itu, mami menemuiku di kamar, disaksikan Rina, mengatakan, “ Pergil lah boru lihat abangmu.” Aku langsung peluk mami. Kemudian mami bilang lagi, “ Bawa lah abangmu pulang. Biar nanti berobat di Medan saja. Huh...pap.... Selesai mami ngomong, aku ciumin mami sepuasnya."
" Oh ...iya? Papa pikir rencana itu murni dari mama, ternyata..."
" Papaaa! Apa sih bedanya aku dengan mami?" entaknya. Sementara, dia pun menghentikan "tugas" melap tubuhku. Dia mematung menatap. Wajahnya gemas.
" Apanya yang beda pap..hah..?"
" Ya jelas beda lah. Ternyata calon mertuaku lebih memperhatikan daripada calon isteriku...."
" ...terus bagaimana lagi hah..?" entaknya seraya menjewer kupingku.
" Teruskan dong melap tubuhku. Aku kedinginan."

Sedang asyiknya kami "bertengkar" di kamar mandi, aku mendengar sepasang langkah mendekat kearah kamar mandi.
“ Mam, ada orang datang, tutup pintunya. !” Magda sejenak menoleh keluar pintu.
“ Siapa mam ?” tanyaku sambil beranjak mau keluar dari kamar mandi.
“ Mami! Kok papa ketakutan ?” tawanya.

“ Sialan!”umpatku setelah melihat Rina medekat ke pintu kamar mandi. “ Hei Jawa, ngapain kamu kesini. Berdua sedang pacaran. Sudah mamak-mamak juga mau tahu urusan anak muda ,”bentakku pelan.
“ Batak norak! Pacaran kok di kamar mandi !” balasnya tak kalah galak.
“ Kapan sih berdua bisa akuran? Ketemu berantam terus. Nggak lihat nyariin,” celutuk Magda.
Duh...mas segede begini nggak bisa mandi sendiri?” ejeknya
“ Rin, bantuan keringkan badan abang,” sela Magda.
“ Ogah. Disuruh nyiram gue mau.”
“ Dasar parbada..!” seru Magda

***
PAGI sebelum ke rumah pak Ginting “dokter spesialis" tulang, Magda mengajaku jalan ke bilangan Kesawan. Sebelum tiba di tempat yang dituju, Magda memberitahu, kami menuju ruang praktek tabib, khusus “penata” wajah. “ Tabib Tinghoa ini terkenal pap. Ntar hidung dan bibir bekas kecelakaan itu bisa cepat pulih,” ujarnya. Aku hanya menurut kebaikan hati Magda. Sebelumnya aku pura-pura protes: “ Kok mama nggak bilang-bilang.?”

Seorang lelaki usia separuh baya dengan langkah gemulai menyongsong kami ke depan pintu . Dia hanya menyapa kami dengan “hallo”, sementara gerak tangannya mempersilahkan kami masuk dan menunjuk ruangan tunggu. Tak lama kemudian setelah aku dan Magda duduk, seorang wanita menemui kami. Dia memperkenalkan dirinya serta tugasnya sebagai penerjemah. “ Om ini warga negara Hongkong, dia tinggal disini hanya beberapa bulan kemudian akan kembali ke Hongkong . Maaf beliau tidak dapat berbahsda Indonesia. Apa yang bisa kami bantu?” tanyanya.

Semangatku hilang seketika melihat gemulainya tabib berwajah kelimis ini. Gerak gemulainya mengingatkanku biduan di kapal laut, beberapa tahun lalu, yang hampir memperkosaku. Sampai saat itu, aku masih diliputi trauma bila melihat orang berperilaku aneh, pria bukan, wanita nggak. Tak jarang mau muntah bila ketemu manusia aneh seperti itu, otakku langsung ingat “tragedi” di kapal laut.

Magda bersikeras menahanku: ” Pap, jangan lihat orangnya. Yang penting papa sembuh,” bujuknya, ketika aku mengajak Magda pulang. Selain itu, aku juga merasa risih karena semua kostumernya perempuan. Magda terus membujukku setengah paksa. “ Pap, ayolah. Kok susah amat sih? Mama kan bermaksud baik!?” ketusnya. Aku mengalah.

Tidak sampai satu jam, dengan alat sederhana, wajahku selesai di “vermaak”. Dia memijat bekas luka di hidung dan bibir setelah mengoleskan cairan beraroma kecut. Selain itu, jerawat pun di babat habis. Aku tak merasakan sakit meski bekas jerawat yang di bedah itu berdarah. Hampir selama pemolesan berlangsung, aku menutup mata kala tabib menata wajahku. Takut muntah benaran. Sesekali aku melirik Magda. Dia merasa geli melihat tingkahku, tetapi dia berpura-pura memalingkan wajahnya ketika bertatapan. Mungkin dia takut tawanya meledak.

Setelah proses pemolesan usai, tabib memberi dua jenis ramuan Tionghoa. Satu bungkus besar berupa daun-daunan untuk diminum selama seminggu. Lainnya, sejenis serbuk untuk di oleskan selama lima hari.
" Mama, jangan salahkan papa, bila kelak, setelah wajahku kembali seperti semula, bahkan lebih tampan, banyak perempuan menggoda papa. Salahmu sendiri."
" Mama jamin. Papa nggak bakalan "laku". Siapa sih, di pelosok Medan ini yang nggak tahu kalau papa terus mengejar mama hingga berdarah-darah.!?" ( Bersambung)

Los Angeles. November 2009


Tan Zung

"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/