Wednesday, October 28, 2009

Telaga Senja (150)

“HOW AM I SUPPOSE TO LIVE WITHOUT YOU”
I could hardly believe it/When I heard the news today/I had to come and get it/straight from you/They said you were leavin’/Someone’s swept your heart away/From the look upon your face, I see it’s true/So tell me all about it, tell me ‘bout the /plans you’re makin’..Oh...oh/Tell me one thing more before I go

CHORUS:
Tell me how am I supposed to live without you/Now that I’ve been lovin’ you so long/How am I supposed to live without you/How am I supposed to carry on/When all that I’ve been livin’ for is gone

(I didn’t come here for cryin’) Too proud for cryin’/Didn’t come here to break down /It’s just a dream of mine is coming to an end/And how can I blame you/When I built my world around/The hope that one day we’d be so much/more than friends/And I don’t wanna know the price I’m/gonna pay for dreaming..oh...oh..../When even now it’s more than I can take
Back to CHORUS
(bridge)
And I don’t wanna know the price I’mgonna pay for dreaming...oh..oh.../Now that your dream has come true
Back to CHORUS

===========================
Aku nggak kemana-mana kok,” ujarnya sambil mendekapku diatas tempat tidur. Aku mengaduh ketika Magda memeluk tertindih bahu menambah rasa nyeri.
“Duh...abang sok mau ngajak kawin lari, kesentuh sedikit sudah mengaduh. Gimana...dong.”
“Yang nikah kan bukan bahuku...!”
============================

PIKIRAN yang terpenjara, ketakutan, Magda akan meninggalkanku sirna setelah memberi “jaminan”ulang bahwa dia tetap setia mendampingiku sebagaimana aku ada. Sesungguhnya aku dihinggapi ketakutan berlebihan, karena dibayang-bayangi rasa bersalah. Belakangan , setelah kami bertatap wajah, ucapannya sering menggoda dan menantang, berbeda ketika kami bicara lewat telepon.
***
Obat penenang yang sejak pagi aku butuhkan ternyata terikut di dalam tas Magda. “ Maaf bang, obatnya terikuit dalam tas,” ujarnya setelah kami capek mencari diseputar kamar. Dia menyorongkan kemulutku, rasa nyeri berkurang sekaligus menghantarkan aku tidur. Sebelum aku tertidur, Magda menanyakan apakah ibu kost mengijinkkan dia istrahat sejenak dikamarku.
“ Nggak apa-apa asal pintunya terbuka,” jawabku.

Sebelum mata terpejam, aku terenyuh melihat Magda duduk di kursi sementara kepalanya terkulai diatas meja tanpa alas. Dia nggak tega menerima bantal yang aku sodorkan. “ Nggak usah. Abang miskin amat, punya bantal hanya satu,” ejeknya dengan tawa. Aku merasa malu dan sangat menyesal ketika aku komplain dan meragukan kesetiaanya hanya karena terlambat datang. Ah...aku memang nggak tahu diri.
Jawaban yang baru saja dilontarkan terasa menghujam: ” Zung ..! Aku juga masih sangat menyayangimu. Aku kan sudah janji, aku tetap menerimamu sebagaimana adanya. Masih belum percaya, meski aku masih setia menungguimu walau aku sering dimarah. Aku meninggalkan pekerjaanku dan semua kesibukanku hanya karena abang. Belum cukupkah!?
***
Aku tejaga dari tidur ketika Magda mempersiapkan pakain pengganti malam. Magda tak mengomel ketika aku membuka pakainku sendiri.” Biarkan aku sendiri membuka sekalgus melatih bahu dan pangkal lenganku bergerak,” ujarku. Magda sesekali mengelus kepalaku ketika meringis menahan sakit. Sementara dia melap bagian atas tubuhku dengan hati-hati, dia berucap: “ Selama kita berhubungan, kali kedua abang mengalami kecelakaan serius. Kali pertama, abang kecelakaan gara-gara aku duduk bersanding dengan seorang lelaki. Aku nggak boleh menyebut nama kan bang?" tawanya. Ketika itu, lanjutnya, Mawar yang merawat abang. Kini, kali kedua, abang terkapar gara-gara Laura, tetapi aku yang merawat. Aneh iya bang!?”

“ Nggak ada yang aneh. Perjalanan hidup itu semuanya telah diatur dari atas”
“ Dari atas mana bang? Dari atas genteng!” tawanya.
“ Aku mengalami kecelakaan yang pertama karena cintaku terciderai. Mawar merawatku karena kakimu, saat itu, terpasung. Kali kedua, karena faktor kemanusian. Ingin menolong Laura, tetapi naas, niat tulusku diganjar celaka. Siapa yang menduga semuanya ini akan terjadi? Bahkan aku tidak yakin bahwa ini faktor kebetulan.”

Masih membersihkan tubuhku, tampaknya Magda ingin menyampaikan sesuatu. " Zung, masih boleh aku menanyakan sesuatu.?"
" Boleh! Tetapi jangan mengungkit masa lalu yang menyakitkan. Saat ini aku tidak siap. "
" Tadi, waktu aku mau merapikan lemari pakaian, aku menemukan tumpukan uang di dalam tas kerja abang. Lembarannya masih baru dengan nomor seri berurutan. Abang peroleh dari mana?" tanyanya. Pertanyaan yang tak pernah terduga membuat aku gagap menjawabnya, hingga Magda mengulang pertanyaannya.
" Zung, kenapa diam? Abang peroleh uang itu dari mana?"
" Aku memperolehnya ketika aku mengaudit cabang perusahaan.!"
" Abang mendapat uang sogok?"
" Kenapa Magda mempunyai kesimpulan seperti itu?"
" Iya mana mungkin abang mendapat uang sebanyak itu kalau bukan karena ada kerjasama, manipulasi data, dengan yang diperikasa. Zung, aku juga sering memeriksa pembukuan di kantor dan rekanan kerja. Kalau aku mau, lebih dari jumah yang abang dapatkan aku peroleh.!"

" Magda, terlalu panjang ceritanya kenapa aku jatuh dalam pencobaan itu, bahkan akupun hampir terjerumus kedalam dosa zinah. Ah...ternyata mentalku sangat rapuh."
" Sungguh? Abang tidak melakukannya?"
" Iya Magda. Hingga kini, aku masih seperti yang kamu kenal sejak kita di es-em-a. Aku gemetar dan ingat nasihat ibuku ketika mau melakukannya. Seperti Magda tahu, dalam pengakuan teman baikku, ketika aku masih aktif dalam salah satu organisasi ekstra mahasiswa. Aku dianggap lelaki banci karena aku satu-satunya dalam rombongan yang tak menyentuh wanita prostitusi, kala itu. Tudingan lainnya, aku dituduh manusia sok suci. Masih ingat kan?"

" Ya, iya bang. Aku ingat. John yang cerita ke aku. Tetapi, aku heran, ketika masih mahasiswa, abang jadi pelopor di kampus, melabrak rektor karena diduga melakukan manipulasi bantuan pemerintah pusat untuk pembangunan laboratorium dan perluasan pelataran parkir. Tetapi ternyata teriakan abang ketika dikampus tidak lebih dari untaian retorika. Kini, abang tak sabar dengan apa yang diperoleh dari hasil keringat?" cecarnya.

" Magda, aku kedinginan. Nanti kita lanjutkan lagi dikamar," ujarku menghentikan sentilan sambil memikirkan jawaban pembelaan diri.
Sebelum menuntunku kembali kekamar, dia menatapku gelisah, tangannya memegang kedua bahuku. " Abang, marah?" tanyanya gusar.
" Nggak! Magda benar. Aku manusia munafik."
" Aku tidak mengatakan itu bang. Aku hanya mengingatkan." ujarnya sambil memapahku masuk kamar. Sejenak kami berdiam diri, sementara dia memasang baju tidurku, kemudian dia menolongku berbaring ke tempat tidur. Magda menarik kursi kesisi tempat tidurku. Masih dengan penuh kasih sayang, dia mengajakku bicara dari hati ke hati.

" Zung, malam ini, kalau ibu kost tidak keberatan, aku mau menginap di kamar abang. Nggak apa-apa aku tidur di kursi."
" Pulanglah. Nanti kamu jatuh sakit."
" Tolonglah bang minta ijin ke ibu. Aku masih mau bicara dengan abang."

Magda memanggil ibu kost masuk kekamarku. Aku menyampaikan keinginan Magda. Ibu tidak keberatan. " Kalian sudah cukup dewasa, tahu apa yang pantas dan tidak kalian lakukan," ujarnya meninggalkan kami. Ibu kost kembali kekamar membawa selimut untuk Magda. Sepeninggal ibu kost, aku seperti orang hukuman menunggu eksekusi ke tiang gantungan. Magda menyelimuti seluruh tubuhku karena menggigil, iya, juga karena takut menunggu peluru lanjutan dari Magda. Ah...dia terus menggantung. Aku semakin dihantui rasa gusar dan ketakutan, tak sabar menunggu "peluru" berikutnya. ( Bersambung)

Los Angeles. October 2009

Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/