Wednesday, August 5, 2009

Telaga Senja ( 94)


Kau seperti cermin /Yang tekah usang dan berdebu /Sebarkan noda di hati ku /Berkalang awan kelabu di sini

Ku seperti kapas /Yang putih lemah dan terkulai /Meratapi cinta yang hitam /Ku jatuh cinta, jatuh cinta yang salah

Bersama mu serasi /Hati dan cinta ku bernyawa /Namun mengapa barulah kini /Ku bertemu dengan mu /Ku tak sendiri dan kau telah berdua

Ku sering menatap awan /Andai ku bisa jadi burung /Bisa hinggap di mana saja /Setiap saat bisa melihat kau dengannya /Getir…


============================
“ Nggak ada jalan lain, nikahi aku biar papimu puas.!” celutukku lagi.
“ Massss! Aku serius. Aku bilang apa pada papi.?” tanyanya dengan mimik wajah mengharap.
“ Terserah Laura mau bilang apa. Kamu termakan permainanmu sendiri; bermain api diatas bara, rasain.!”
============================
KAMI mengakhiri pembicaraan ditepi pantai tanpa ada saran berarti yang kuberikan kelak disampaikan kepada papinya seandainya ditanya lagi tentang hubungan Laura denganku. Bahkan, Laura sangat tersinggung ketika aku mengusulkan; agar pertemuan pisik dan pemutusan komunikasi keseharian setelah kembali ke hotel dan setelah di Jakarta nanti.

“ Jawaban tidak selalu disampaikan dengan bahasa formal. Bahasa tubuh juga dapat dimaknai melebihi ucapan. Atau sejak sekarang kita batasi kedekatan pisik,” usulku. Laura menolak secara tegas dan amarahnya memuncak ketika didengarnya aku berbicara serius dengan mimik serius pula.
“ Mas, nggak usah berpura-pura. Bilang saja nggak mau berteman lagi dengan aku. Inikah arti sahabat itu? Justru menghindar ketika aku mengalami kesulitan.?”

“ Ya. Sahabat harus berani mengatakan yang sesungguhnya meski itu sangat menyakitkan. Aku mengharap persahabatan kita bukan persahabatan versi Judas Iskariot; Tega “menjual” sahabat hanya dengan sekeping logam lewat bibir.”
“ Tetapi analoginya terlalu jauh . Aku nggak kepikir sampai kesana mas.”
“ Hanya itu yang dapat kusarankan. Soal didengar atau tidak terserah dirimu sendiri.”
“ Mas, aku jadi menyesal meceritakan itu pada mas. Tadinya aku menganggap mas sebagai sahabat yang dapat membantuku.”

“ Hanya itulah kemampuan yang kamu anggap sahabat itu. Tapi yang pasti aku tidak mau perankan perilaku Iskariot itu.”
“ Aku tadi meminta saran, bukan peran.!?”
“ Untuk sementara ini, saranku kita batasi perjumpaan pisik, bila perlu segera kita akhiri. Mulai dari sekarang.”
“ Jangan mas! Aku nggak setuju. Kok malah cari alasan untuk menjauhiku.?”
“ Memang sudah waktunya. Inilah waktu yang tepat agar papi segera mengetahui bahwa sebenarnya kita hanya pacaran ecek-ecek.”

“ Tapi saran boleh dijalankan boleh juga nggak kan mas.?”
“ Terserah pemeran utamanya. Aku kan hanya pemeran pembantu,” ujarku sengaja mengambangkan pembicaraan. Ternyata Laura masih menanggapinya.
“ Pemeran utamanya, kita berdua mas. Alur cerita berlangsung justru karena kehadiran mas.”
“ Jangan tersinggung iya mbak yang cantik. Gunawan sebenarnya pemeran utama. Alur cerita menjadi seru dan laik jual karena kehadiran Gunawan. “
“ Tak ada satupun peran Gunawan yang laik jual.” bantahnya
“ Ada! Peran menjual diri. Dia menjual dirinya dari bawah ketiak orangtuanya dan mamimu. Untuk zaman sekarang, peran yang dilakoni Gunawan sangat langka dan itu sebabnya layak jual untuk dicemooh.”

“ Sudah ah.... mas, pembicaraan semakin tak jelas.”
“ Salah sendiri ikutin omongan orang ngawur, lugu dan dungu.”
“ Kok mas malah senewen. Kenapa?”
Permainan "bola liar" inipun terpaksa kuakhiri setelah melihat wajah Laura semakin murung dan hampir kehilangan gairah. “ Laura, ini salah satu cara agar Laura membenciku, kemudian menjauhiku. Ternyata aku gagal, dan ini salah satu bukti Laura masih ...?” Belum menyelesaikan ucapanku, wajah Laura berubah ceria dan meloncat-loncat seperti anak kecil dan memukul-mukul dadaku; “ Mas, memang senewen. Laura kirain dari tadi mas bicara serius. Kok tega ngerjain aku..?” tanyanya manja.

“ Kamu benar. Aku bicara serius dan kadangkala ngawur tetapi kamu tidak terbawa emosi. Untuk hal ini kamu terlalu lugu.”
“ Tetapi aku nggak dungu kan mas.?”
“ Susah ngebedain.!”
“ Nih..kan mas, ngulah lagi.!?”

“ Apa pedulimu bila aku menganggapmu lugu atau dungu? Yang pasti aku masih sahabatmu, tanpa embel-embel.!” ujarku berlagak serius.
“ Iyalah mas. Nanti aku bilang papi, kita hanya sebagai sahabat tanpa embel-embel.!” balasnya berlagak serius pula.
“ Eh...nggak usah dibilangin. Dilakonin saja. Ntar papi tahu sendiri,’ cegahku.
“ Mas, maaf. Makin lama makin ketahuan aslinya,” ujarnya sambil ketawa.
“ Sejak kapan aku memalsukan diri ? Semuanya asli berikut perangkatnya. Emang gue Gunawan.!?” balasku ketawa. ( Bersambung)

Los Angeles, August 2009


Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/