Thursday, November 19, 2009

Telaga Senja (166)


=======================
" Eh...mam, sudah pukul tiga, tidurlah. Papa tidur di sofa ini saja.”
“ Mama ikut papa, tidur disni,” ujarnya sambil merebahkan tubuhnya di sisiku
“ Ntar ketahuan orang tua Rina dan ibu, nggak enak.” ujarku
“ Ibu papa kan calon mertuaku. Kenapa harus malu?”
========================
" Halah...Magda ... tadi menangis karena papa ajak tidur di kamar papa, merengek minta pulang. Sekarang mama nantangin. "
Nantangin apaan? Mama bilang, mau tidur disini bersama dengan papa. Ada yang salah?”
“ Mama serius? papa panggil taksi iya. Kita tidur di kamarku.!”
“ Selamat malam pap, “ ujarnya menghindar lalu melangkah ke kamarnya. “ Pap, mama lupa beritahu, Rina telepon Lam Hot. Katanya, Maya ada pesan untuk papa,” ingatnya sebelum masuk kamar.
“ Tunggu dulu! Pesan apa?”
Duh papa, semangatnya mendengar nama Maya. Apa lagi yang papa harap dari dia. Minggu depan sudah mau menikah.”

“ Apa pesannya mam?”tanyaku ulang.
“ Tanya langsung ke Lam Hot. Nggak baik pesan disampaikan pakai perantara.”
“ Mama selalu begitu. Menggantung perasaan papa.”
Hah..? Menggantung perasaan? Perasaan apa pap? Papa masih..."
"Mama...sudah. Nggak usah diperpanjang. Mama tidurlah. Mama terlalu capek. Yang menyinggung nama Maya kan mama. Kenapa mama sewot?”

" Sewot? Apa makusd papa, menggantung perasaan..hah!?" entaknya, lantas Magda langsung meninggalkanku diruangan tamu sendirian, tanpa pamit. Aku membiarkannya pergi. Aku yakin, dia tidak akan bisa tidur. Dia akan kembali menemuiku. Aku sangat yakin, karena aku tidak melakukan kesalahan apapun. Magda terlalu sensitif jika mendengar nama Maya, padahal dia sendiri yang memulai. Sikapnya jauh beda, jika kami bercerita tentang affairku dengan Laura. Tetapi dengan Maya?...Huh....ketakutannnya berlebihan !

Hingga saat itu, aku tak tahu jelas kenapa dia sangat benci bila mendengar nama Maya. Barangkali saja, karena aku dan Maya teman satu kampung? Dan tahu pula dia, mungkin dari paribanku Shinta, bahwa hampir seluruh keluarga kedua belah pihak sangat setuju atas hubunganku dengan Maya. Tetapi itu dulu, ketika aku dan Magda sedang ” bersengketa” dalam cinta. Bahkan ompung Napitpit ( panggilan untuk nenek br Napitupulu) sudah bersedia menyumbangkan sapi satu-satunya miliknya. Kalau saja bukan karena om Maya, John sibagur tano itu, patentang patenteng, pastilah aku dan Maya telah menjadi pasangan suami isteri. Sayang memang, sapi ompungku pun belum “jodoh” untuk disaksang.( di cincang, pen)
***
Aku tak habis pikir, kenapa Rina masih mau menyebut nama Maya dalam pesan teleponnya. Padahal dia sendiri pernah mengingatkanku, lewat telepon, jangan menyingung nama Maya bila bicara atau bercengkrama dengan Magda. Adakah pesan sangat penting untukku sehingga Rina sendiri terpaksa mengingkari peringatannya.?

Pikiranku , mengembara jauh ke kampung mengenang kesan pada pertemuanku dengan Maya saat pernikahan paribanku Shinta. Kenanganku berlanjut ketika merajut awal asmara di kebun, dibawah pohon besar nan rimbun, persis di belakang gereja. Kesan lain yang sukar aku lupakan, ketika aku dan Maya diberangkatkan oleh keluargaku dan keluarganya kala kami akan kembali ke Medan.

Meski selama perjalanan, aku dan dia tidak banyak terucap kata bernuansa asmara, namun, gerak tubuh kami berbuah ranum, beraroma cinta. Silih berganti, pangkuan kami menjadi tumpuan kepala selama perjalanan yang memakan waktu enam jam itu. Tatapan berucap banyak, kala tembang bernuansa cinta terdengar dalam bus yang kami tumpangi. Sopir tahu, kebetulan teman sekampung, bahwa diantara penumpang dalam bus itu ada sepasang” merpati” sedang dimabuk asmara, aku dan Maya.
***
Hingga akhir buaian kenangan dengan Maya berakhir, Magda belum juga muncul menemuiku ke ruang tamu. Aku mencoba telusur pada memoriku seri berikut, dengan Maya, namun tak berhasil. Pikiranku kini kembali ke Magda, setelah dia tak keluar dari kamar. Ingin menemuinya ke kamar, tetapi disana ada ibuku. Aku pun terlelap di atas sofa hingga pagi. Ibu membangunkanku dan menyuruh tidur ke kamar Lam Hot. Sebelum masuk kamar, ibu bertanya pelan: “ Kenapa lagi kau dengan itomu ? tanyanya. “ Sepertinya dia menangis? “

“ Mungkin dia kangen dengan maminya. Dia nggak pernah jauh dari orangtuanya,” jawabku menutupi keributan kami karena Maya. Ibu tak percaya menangis karena rindu terhadap maminya. Aku berbalik arah, masuk ke kamar Magda. Sebelum masuk kekamar, ibu mengingatkanku,” Unang muruk ho tu ibotomi” ( Jangan marahin itomu itu, pen)

“Magda, ada apa? Kenapa menangis? Mama yang mendahului menyebut nama Maya? Nggak malu lihat ibu, kamu cengeng!?”
“Ya, mama cengeng “ ketusnya.
“ Mama yang memberitahuku, bahwa Maya punya pesan untukku. Kenapa kok mama jadi kesal kepada papa,?” Magda diam. Mukanya masih ditutup bantal. Aku membujuknya, supaya menjelaskan kenapa sangat marah bila mendengar nama Maya.”

“ Papa, berpura-pura. Besok, papa nggak usah ikut pulang.”
“ Kenapa?” tanyaku kaget.
“ Tanyakan saja Lam Hot.” balasnya. Tak sabaran, aku membangunkan Lam Hot.
“ Hot, apa pesan Rina.” tanyaku ketika Lam Hot ku tarik ke kamar Magda.
“ Pesannya, abang nggak usah datang pada pesta pernikahan Maya.”
“ Yang bilang aku datang ke pestanya siapa?”
“ Manalah aku tahu bang. Tanya Rina lah!” ketusnya, lalu meninggalkan kami.

Tahu Lam Hot keluar, Magda melemparkan bantalnya ke arahku. “ Papa terus berpura-pura. Ketika mama datang, minggu lalu, papa juga sudah menanyakan pesta pernkahannya!”
“ Lalu apa hubungannya dengan tangisanmu sekarang? “
“ Apa urusannya lagi, Maya mengubungi papa?”
“ Manalah papa tahu. Iya tanyakan Maya. Pertemuanku terakhir dengan Maya, di airport enam bulan lampau. Magda juga tahu itu. Setelah itu kami nggak pernah komunikasi.”

Sementara aku dan Magda bersoal jawab, ibuku masuk. ” Apa yang kalian ributkan?” tanya ibu
“ Gara-gara Maya,”jawabku kesal. Ibuku tertawa mendengarnya, lantas duduk diatas tempat tidur, dekat dengan Magda.
“ Magda, kenapa kamu inang. Minggu depan Maya sudah mau nikah.”
“ Ya. Tetapi mamatua juga senang dengan Maya kan?”
“ Iya. Itu dulu, ketika abangmu pacaran dengan ibu dosen yang sudah punya suami. Daripada abangmu menikah dengan ibu itu, mamatua setuju abangmu pacaran dengan Maya. Kebetulan kami satu kampung dengan orangtua Maya. Memang, ibunya senang jika abangmu jadi menantunya.”

“ Iya sudah, nikah saja denngan Maya," celetuknya.
“ Mana mungkin lagi inang ( panggilan sayang kepada putri, ponakan perempuan atau menantu, pen). Minggu depan Maya sudah menikah dengan pilihan amang borunya ( suami bibi, pen) yang dosen itu.
“ Tapi kan Maya masih mengharapkan abang.?”
“ Tahu dari mana kamu inang,” tanya ibu.
“ Dari Shinta. Katanya Maya tidak suka dengan calon suaminya. Dia dipaksa menikah dengan anak abang om John itu. Maunya Maya nikah dengan abang. Sejak abang berangkat ke Jakarta, Maya terus cari alamat abang."

“ Hanya gara-gara itu, Magda marah dan menangis ? Emang aku orang gila?” entakku.
Kan, mamatua! Abang terus marahin Magda. Aku hanya beritahu, apa yang dikatakan Shinta!? “ adunya , disambut tawa ibuku.
Ehe..tahe boru ni paribankon, ( eh...putri adikku ini,pen) katanya sambil merangkul Magda.( Bersambung)

Los Angeles. November 2009


Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/