Sunday, January 31, 2010

Telaga Senja (220-HABIS)

=====================
Selama acara berjalan Magda menunjukkan dirinya sebagai boru ni “raja”, santun dan menghormatiku sebagai suami meski baru saja dia menghajarku. Hatiku pun lega ketika Magda tertawa; Dia merasa geli, saat disuruh mengenakan kain sarung yang diberikan ibuku. “ Pap, mama sudah pantas jadi mamak-mamak iya..!”
======================

ESOK hari setelah pulang dari gereja, kami kembali ke Medan diantar oleh linangan airmata ibu. Keduanya, Magda dan ibu dalam waktu singkat telah terjalin hubungan batin sebagai orangtua terhadap anak. “ Anju ma ripem i inang.” ( Sabarlah terhadap suamimu inang, pen) pesan ibuku saat kami akan meninggalkan seluruh keluargaku. “ Manja benar mama ke ibuku,” ujarku dalam perjanan pulang. “ Tak seberapalah dibandingkan mami memanjakan papa, bahkan berlebihan.” balasnya seraya menjewer kupingku.

“ Pap, sebelum ke rumah di kebun, kita mampir sebentar ke rumah. Mama kangen kepada mami.”
“ Kita belum bisa menemui mami. Jangan berulang melakukan pelanggaran adat. Ayah kan sudah mengingatkan.?”
“ Ya. Tetapi tadi malam sehabis doa syukuran, inang bilang, boleh. Asal jangan dilihat orang lain. Ntar sebelum kesana, kita tanyakan Rina lewat telepon, memastikan bahwa tidak seorangpun famili lain berada di rumah.”

Aku menyerah , setelah Magda dengan segala bujuk mempengaruhiku agar bersedia mampir di rumah menemui maminya, mertuaku. Setengah jam mendekati rumah, sekitar pukul 22:00 Magda menelepon Rina. Magda berjalan buru-buru ke mobil, “ Pap, mami ada. Nggak ada orang lain di rumah. Ayo kita kesana sekarang juga pap,” desaknya. Magda buru-buru memacu mobil menuju ke rumah. Tanpa di sadarinya, Magda memarkirkan mobil di depan rumah. “ Magda, kita parkir di luar sana!” seruku. Magda tak perduli, dia tak sabaran dan menyeretku dari mobil.
“ Cepatan pap, ntar ada orang yang lihat.!”

Mami Magda kaget melihat kedatangan kami malam itu. Kebetulan mami belum tidur. Magda meninggalkanku di depan pintu; dia langsung “menyergap” mami diiringi teriakan,” Mamiiii..!” Keduanya berangkulan, lama. Mami mengelus wajahnya, “ Sehat kau inang? Mana Tan Zung? tanya mami, suaranya serak.

“ Ada mam.!” jawab Magda sembari melepaskan pelukannya.
“ Papa....kesini pap.” teriak Magda memanggilku, tanpa mereka sadari aku berdiri di belakang mereka. Mami memelukku erat.
"Sehat kau amang?” tanyanya masih dengan linangan airmata. Mami menggiring kami masuk ke kamarnya.

“ Kemana saja kalian selama ini?”
“ Mami cariin kami.?”
“ Ya nggak lagi. Mami sudah tahu dari adikmu Jontahn dan Rina. Tetapi mereka nggak pernah beritahu dimana kalian.”
“ Kami berpindah-pindah tempat. Kami seperti orang buronan mam,” ucap Magda sesugukan dipelukan maminya.
“ Mami dan Jonathan nggak bisa berbuat apa-apa. om mu si kapten dan om Robert bersikeras melarang rencana pernikahan kalian.”
“ Kami sudah menikah dicatatan sipil mam,” potong Magda.
“Iya, mami sudah tahu. Tetapi mereka masih terus mencari tahu keberadaanmu.”
“ Kenapa mami nggak marahin mereka.!” sentak Magda. Mami terdiam.

Lagi mami sesugukan,” Mami nggak bisa berbuat-apa-apa inang. Seandainya papi masih hidup, kalian nggak bakalan tersiksa seperti ini.” Magda berteriak histeris didalam pelukan maminya memanggil almarhum papinya. Ratapan ibu dan putri keturunan batak ini “menghunus” amarahku terhadap om si kapten dan om Robert. “ Manusia bebal,” ucapku dalam hati. Aku dan mami kewalahan menghentikan tangisan Magda memangil-manggil papinya.

" Papi, aku sudah menikah dengan abang Tan Zung..., papi...kami dikejar-kejar seperti manusia penjahat," ratapnya. Cukup lama aku membujuk Magda untuk menghentikan ratapannya. " Mami, kami harus bagaimana?" tanya Magda diakhir isakannya.

“ Magda, mami usulkan untuk sementara ini, pergilah kalian jauh-jauh. Mereka terus mencari. Mereka sudah tahu alamat di kebun itu.”
“ Tetapi mami setuju pernikahan kami?”
“ Setuju nggak setuju, kalian telah melangsungkan .”

“ Mami kok nggak bikin beras di kepala kami?” Pertanyaan lugu ini mengundang haru dan tangisan maminya. “ Iya inang, sebentar ,” jawab maminya sesugukan, lalu meninggalkan kami di kamar. Sejenak kemudian bersama Rina masuk ke kamar. Mami memberi kami sipir ni tondi seperti dilakukan ayahku dikampung, disaksikan Rina.

“ Meski papi sudah tiada, anggaplah dia ada bersama mami memberi kalian sipir ni tondi,” ucapnya diiringi airmata. Seusai menaruh sipir ni tondi, Magda dan mami berangkulan, Magda terus sesugukan.
“ Mami, kami juga telah diberi sipir ni tondi di kampung.” ucap Magda lirih.
“ Kapan kalian ke kampung,?” tanya mami heran.
“ Kami baru pulang dari sana mam.” jawab Magda.

“ Zung jaga adikmu ini bailk-baik. Kamu sudah tahu tabiat Magda. Juga kamu inang, jangan terlalu manja. Ingat inang, kamu bukan lagi sendiri. Mami akan cepat mati kalau mendengar kalian ribut. Tidak usah berkecil hati walau perjalanan hidup kalian seperti ini. Anakku Tan Zung dan boruku ( putri, pen)Magda, tidak boleh dendam kepada siapapun, termasuk kepada kedua om mu yang mencoba merintangi pernikahan kalian. Doa mami mengiringimu inang dan hela ku (mantu,pen)

Naung dua gabe sada hamu boru tu helahi. Tung burju-burju hamu marnatua-tua i. Borhat maho boru rap hon tangiangki. Tubuan laklak tubuan sikkoru. Tubuan anak hamu tubuan boru. Na sangap jala na martua, di jolonta nang di jolo ni Tuhan. Gabe ma ho boru gabe ma ho boru raphon helahi. ( H A B I S)

Los Angeles. Sunday, January 31, 2010
Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Telaga Senja (219)

====================
Jadi maksud papa, hanya ayah dan ibu yang melahirkan dan membesarkan, orang tua? Tulang bukan orangtuamu? Mamiku juga bukan orangtua papa?”
“ Lho kenapa mami diikut-ikutkan.?”
“ Papa jawab! Apakah mamiku orangtua papa juga.?”

====================
Aku di skak habis oleh Magda yang belum lama kunikahi. Tak menyangka kalau dia berpikir sejauh itu. Ucapanku menjerat leherku sendiri. Magda yang selama ini kuanggap tak tahu apa-apa tentang tatakrama kekerabatan, karena lahir dan di besarkan di kota, salah. Meski awalnya ibuku melarang pernikahan kami, namun aku yakin, ada alasan khusus sehingga akhirnya ibu dapat menyetujuinya. Salah satu alasan adalah, setelah melihat dan merasakan kebaikan serta kelembutan hati Magda saat datang bersama ke Jakarta melawatku kala opname di rumah sakit. Selain itu, Magda sangat santun jika berbicara kepada kedua orangtuaku. Kesabarannya, meski kadang beringas, melumpuhkan kekerasan hatiku. Mawar dan Rina berunglangkali memuji kesabaran Magda atasku. " Dia pantas menjadi soripada bang ( isteri, pen)" puji Lam Hot adikku satu ketika di Jakarta.

“ Papa belum menjawab pertanyaanku. Apakah mamiku, orangtua papa juga.?"
" Ya iya lah. Mamimu orangtuaku juga, sebab dia mertuaku!” jawabku enteng, tanpa beban. Walaupun aku telah menjawab, Magda tetap merasa tak puas.
“ Papa! Aku serius. Mama nggak suka mendengar cara papa menjawab inang. Ingat pap. Papa bukan sendiri lagi. Pikirkan juga mama. Mama sangat menyesal dan malu terhadap inang. Tahu begini, papa masih menyimpan dendam, mama tidak akan mau datang kesini.”
“ Mam, kenapa kita jadi ribut?”
“ Karena aku isteri papa. Sadar nggak kalau mama sudah bagian dari keluarga papa.”

“ Ya...ya. Pergilah, temanin ibu. Kalau mau undang tulang silahkan. Tetapi jangan marah kalau aku tetap esketean( tak mau bicara, pen) dengan tulang.”
“ Pap..! Kenapa masih berkeras hati, padahal dia tulang kandungmu, saudara kandung inang? Papa tidak bersyukur atas kebaikan amang dan inang menyambut kehadiran mama meski sebelumnya mereka menolak pernikahan kita? Jika papa masih bersikeras, mama tidak akan keluar dari kamar ini. Biar papa sendiri menghadapi undangan itu,” ancamnya.

“ Mam, aku hanya marah kepada tulang, bukan kepada famili lainnya?Kenapa mereka jadi ikut dikorbankan?”
“ Karena papa tidak sedikitpun mau mengorbankan perasaan meski secuil. Papa, sungguh mama kecewa,” ujarnya menumpahkan rasa kesal seraya merebahkan tubuhnya ke atas tempat tidur.

Pertengkaran berakhir ketika ibuku memanggil Magda. “ Magda, sudah siap kamu inang?” Magda diam tak menjawab. Segera aku menghampirinya,” Mam, pergilah bersama ibu. Panggillah tulang dan nantulang serta semua anak-anaknya. Janji, papa nggak akan marah,” ucapku pelan. Lagi, ibu memanggil Magda, “ Ayo lah inang sebelum kita kesiangan.”
“ Ya. Sebentar inang,” jawabnya dari kamar. Dia bergegas tak memperdulikan ucapanku.

Magda dapat secara cepat menyesuaikan diri dengan ibuku, mertuanya. Magda menghardiku ketika aku minta ikut. ” Abang nggak usah ikut. Ntar ribut lagi dengan tulang. Abang bantuin masak ibu-ibu itu,” ujarnya. Ibuku ketawa mendengar perintah Magda. Sekembalinya dari perjalanan mengundang famili dekat dan tetangga, Magda melihatku sedang nongkrong di kedai tuak tidak jauh dari rumah. Buru-buru aku pulang kerumah sebelum dia menjemputku.

Belakangan ini, Magda sudah mulai menunjukkan dirinya sebagai isteri, peduli pada suami, apalagi jika bersentuhan dengan minuman keras. Dan memnag, ini pula persyaratan utama yang Magda ajukan sebelum menikah. Telah kuteken mati pula, tanda setuju. Tiba di rumah, Magda langsung menyongsongku ke teras rumah dengan mata melotot.

“ Papa ngapain disana? Pagi-pagi begini papa minum tuak?” tanyanya geram.
“ Nggak. Papa cuma nongkrong, bertemu dengan teman-teman lama. “
“ Oh...iya? Gelas orang lain di depan hidung papa? Begitu caranya minum tuak di kampung iya?” sindirnya.

“ Mam suaranya jangan terlalu keras, papa malu jika mereka mendengar mama marah-marah.”
“ Papa tahu malu juga? Kok papa tega membiarkan mereka sibuk menyiapkan masakan , sementara papa berleha-leha dengan teman-teman minum tuak?”suaranya semakin keras seraya berbalik meninggalkanku. Bah! Magda sudah berani marah-marah di hadapan kedua orangtuaku. Ibu dan ayahku tersenyum simpul pula melihat kegalakan menantunya.

Ibu mengajak Magda ke dapur menemui ibu-ibu yang sedang memasak. Aku melangkah masuk kamar. Magda mengangguk lalugeleng-geleng kepala mendengar serius pembicaraan ibu. Seusai mendengar pembicaraan ibu, Magda menemuiku ke kamar. Dia menatapku dengan wajah geram.

“ Menurut inang, mereka setiap hari nongkrong disana hingga larut malam, tak peduli kepada isteri dan anaknya. Papa mau seperti mereka? “
“ Mam, tadi hanya minum setengah gelas, itupun sekedar menghargai mereka, ” ujarku mengaku jujur.
“ Menghargai mereka? Tetapi papa tidak menghargai diri sendiri. Juga tidak menghargai mama karena dikampung papa. Begitu!?"
“ Kali terakhir, papa mohon ampun. Nggak akan terulang lagi,” janjiku.

Magda dapat mengampuni secara tulus atas pelanggaran ringan yang aku lakukan. Selama acara berjalan Magda menunjukkan dirinya sebagai boru ni “raja”, santun dan menghormatiku sebagai suami meski baru saja dia menghajarku. Hatiku pun lega ketika Magda tertawa; Dia merasa geli, saat disuruh mengenakan kain sarung yang diberikan ibuku. “ Pap, mama sudah pantas jadi mamak-mamak iya..!”(Bersambung)

Los Angeles. Sunday, January 31, 2010

Tan Zung

"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Saturday, January 30, 2010

Telaga Senja (218)

http://www.youtube.com/watch?v=7swiNFxY8Zg
======================
" Kita berlabuh diberbagai tempat ; Di rumah ditengah kebun pinggiran kota, di kamar si putri melati tempat dibesarkan, dan malam ini di kamar pemuda idaman,” ujarku disambut ciuman di kening dan berucap,” Papa, kita bobo.” Keletihan seharian selama perjalanan, menghantarkanku dan Magda dalam tidur.
======================
PAGI saat kami bangun, dikagetkan kehadiran sejumlah ibu-ibu, dibantu seorang lelaki, amangboru( suami bibi, pen), siap-siap memotong ternak berukuran sedang. peliharaan orangtuaku. Entah bagaimana ayah dapat mengundang mereka sepagi itu.
“ Ada acara apa,? “ tanyaku, didampingi Magda, kepada ibu.
“ Acara penyambutan menantu,” ujarnya singkat diiringi tawa.
“ Kenapa harus potong ternak itu? Bagaimana menghabiskannya?”
“ Ibu mengundang tetangga dan famili dekat,” jelas ibu.
Aku menark tangan Magda masuk ke dalam kamar. Disana aku sarankan agar dia mau membantu “parhobas” ( pekerja/pelayan) ibu-ibu itu. Sebelum keluar dari kamar, aku kebingungan menjelaskan kepada Magda makna acara makan siang dengan famili dekat dan tetangga.

“ Mama tidak mengenal mereka. Mama panggil apa kepada ibu-ibu itu.?”
“ Pukul rata saja lah, panggil inang.” ucapku geli, sebab akupun tak tahu sapaan pas kepada mereka.
“ Ini acara adat batak iya pap.?” tanyanya
“ Orang tak tahu adat batak pun dapat melakukan acara seperti ini. ?”
“ Papa, gimana sih. Mama kan mau belajar?”
“ Mam, aku nggak tahu. Nanti mama tanyakan lagi ke ayah atau ibu. Yang pasti acara seperti dilakukan oleh orang beradab yang tahu adat,” ujarku.

Magda menjadi pusat perhatian para juru masak. Magda merasa risih diperhatikan seperti itu. " Pap, temanin mama disini. Jangan pergi. Aku malu dilihatin terus."
" Jangan perdulikan sorotan mata mereka. Anggap saja mereka mengagumi kecantikanmu," bisikku.

Ibuku memberi pujian langsung kepada Magda ketika melihat kesigapannya menyiapkan berbagai jenis bumbu.
“ Siapa yang ajarin Magda,” tanya ibu
“ Ya siapa lagi kalau bukan aku bu,” jawabku, disambut tawa Magda.
Setelah ibu memberi petunjuk kepada “parhobas” , dia mengajak Magda mengundang tetangga dan famili dekat. Saat mereka mau berangkat, aku bertanya kepada ibu, apakah mengundang tulang/paman, orangtua nya Shinta.
“ Ya pasti lah. Tulang harus diundang.” jawab ibuku.

“ Kenapa harus di undang? Tulang juga punya andil untuk menggagalkan rencana pernikahan kami,” protesku.
“ Zung, kalian sudah melangkah sesuai dengan keinginan kalian. Ibu dan ayah telah menerima kalian dengan baik. Bahkan siang ini kita akan makan bersama mengucap syukur. Anak dan parmaen /mantuku tiba dirumah dengan selamat. Siang ini kita akan berdoa bersama agar perjalanan rumah tangga kalian senantiasa Tuhan berkati,” ujar ibuku agak sedih.
“ Pap, apalagi yang di ributkan,? ” tanya Magda menengahi.
“ Magda nggak usak ikut campur. Ini urusanku dengan ibu,” entakku. Magda terhenyak mendengar jawabku, ketus. Spontan ibu menyambar, marah, “ Babam i...loak maho manghatai. Ndang naung parnijabum i?” ( Mulut kau. Bodoh kali lah kau. Dia kan sudah isterimu?, pen) seru ibuku menyengat.

Tulang datang, aku pergi,” ucapku dengan hati meradang. Aku belum bisa melupakan dan memaafkan keusilannya.
“ Zung...? Kamu dan parmaenku ( menantuku, pen) yang akan di doakan. Kamu mau pergi karena tulangmu diundang? Terserah kamu lah amang, kalau tega mempermalukan ibu dan ayah. Manang na boha pe, tulang mi, apala ibotongku do i ( Bagaimanapun paman mu itu adalah saudara kandungku),” ujar ibuku menahan marah. “ Tulang mu juga orangtua mu amang.” tambahnya, suara hampir tak terdengar.

“ Kalau papa mau pergi silahkan. Biar mama sendiri dengan inang dan amang menerima tulang,” bentak Magda. Tak mampu menahan pukulan telak ibu dan Magda, aku beringsut menjauh dari mereka, berpura-pura membantu ibu-ibu merapikan bara kayu api dalam tungku masak. Bara api yang mengeluarkan panas, menambah hati semakin mendidih mendengar ucapan Magda menyentak, mempersilakan aku pergi, seakan tak mengerti betapa teririsnya hati akibat ulah tulangku.

Magda beranjak dari dapur, sebelumnya dia memberi isyarat agar aku mengikutinya saat mata kami bertatap pandang. Tiba di kamar, Magda langsung menghujam dengan ”upper cut”, “ Kita datang ke sini mau cari masalah? Apakah persoalan akan selesai dengan dendam kesumat terhadap orangtua?”
“ Aku dendam kepada tulang, bukan kepada orangtuaku.”
“ Jadi maksud papa, hanya ayah dan ibu yang melahirkan dan membesarkan, orang tua? Tulang bukan orangtuamu? Mamiku juga bukan orangtua papa?”
Lho kenapa mami diikut-ikutkan.?”
“ Papa jawab! Apakah mamiku orangtua papa juga.?” (Bersambung)

Los Angeles. January , 2010

Tan Zung"
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Thursday, January 28, 2010

Telaga Senja (217)

=================
Namun kelegaan itu segera sirna kala mendengar derap langkah menjauh dari pintu. Ayah tak kunjung membuka pintu, bahkan aku mendengar langkahnya semakin redup dari pendengaranku. Magda turun dari mobil dan berlari menemuiku ketika aku berdiri lemah, bagai kehabisan tenaga, bersandar di depan pintu rumah.
===================

Magda tak mampu menahan rasa gundahnya. Dia mendekapku,” Papa, kenapa sedih? Kuatlah pap.”
“ Mam, kita pulang. Ayah tadi sudah mau bukakan pintu. tetapi berbalik ketika mendengar suaraku,” kesalku dengan suara putus asa.
“ Bersabar lah. Barangkali amang pergi hanya sebentar,” bujuknya seraya mengelus wajahku. Tubuhku tetap tersandar di depan pintu. “ Pap, kita telah menempuh jalan sejauh ratusan kilo meter, menembus malam dan memakan waktu berjam-jam. Kenapa papa nggak sabar menunggu hanya beberapa waktu? Pap.....ayo..jangan seperti orang putus asa. Lihat mama..!” serunya menumbuhkan semangatku, seakan Magda dapat membaca hati orangtuaku malam itu. Hanya beberapa saat setelah Magda memberiku semangat, kami mendengar suara ibu dan papa mendekat ke pintu.

Ibuku tersentak seakan tak percaya saat melihat Magda bersamaku didepan pintu.
Babababah..Magda ikut? Kenapa datang diam-diam inang,” ujarnya seraya merangkul Magda erat serta menciumi sepuasnya. Magda membalas pelukan ibu.
“ Kenapa datang malam-malam inang.?”
“ Abang Tan Zung ketakutan jika inang menolak kehadiran kami. Kata abang, malu kalau di lihat orang,” adu Magda tanpa rasa sungkan.
Loak ma ho. Hea do palaoon anakhon niba?” ( Bodoh benar kamu. setega itukah mengusir anak sendiri, pen) ujarnya seraya melirikku. Ayah bergegas meninggalkan kami menuju ke dapur setelah menyalam Magdalena. Tak begitu lama, ayah membawa piring berisi beras kemudian dia dan ibu menaburkan diatas kepalaku dan Magda. “ Pir ma tondim ianakhon nami ( kuat batin, panjang umurmu anak kami, pen).

Magda tak mampu menahan rasa haru setelah menyaksikan dan merasakan kehangatan sambutan kedua orangtuaku, bahkan memberi berkat. Magda memeluk ibuku sangat erat diiringi isak kebahagiaan. “ Inang..maafkan kami, karena telah melangkah tanpa sepengetahuan inang dan amang.”
“ Sudah lah inang. Nggak perlu ditangisi lagi,” balas ibuku dengan suara serak.
“ Katanya inang sakit? Inang sakit karena kami iya?”
“ Bukan. Eh..tahe parmaenkon.” ( Oalah..mantuku ini , pen) Seminggu ini, ompung jagain inang karena sakit ,” tambahnya.

“ Ompung ( nenek, pen) dimana,” tanyaku tak sabaran.
“ Ada dikamar,” tukas ayahku. Aku berlari menuju kamar ompung”reseh” di kamarnya. Ompung kaget ketika aku masuk kekamarnya.
“ Dari mana kau malam-malam begini? Siapa itu kawanmu?” tanyanya tetap berbaring di tempat tidur.
“ Maya..!” jawabku agak pelan. Ompung bangkit, bergairah mendengar nama Maya.
“ Siapa nya kamu bilang. Maya?” tanya ompung. Ompung ini, dulu, menjodohkanku dengan Maya. bahkan Sapinya pun terjual untuk rencana pernikahanku dengan Maya. Sayang, jodoh berkata lain.
“ Ayolah ke depan. Lihat sendiri siapa dia,” ujarku. Dengan jalan tertatih, ompung kutuntun ke ruang tengah menemui Magda , ayah dan ibuku.
Eh..maup maho. Ndang si Maya i,” ( Sialan kamu. Itu bukan Maya, pen) kesalnya saat mendekat ke Magda.

“ Ompung! Aku bilang Magda, bukan Maya,” kataku dekat telinganya. Tak peduli dengan ucapanku, ompung membalas pelukan Magda. “ Ompung, aku Magda. Isteri bang Tan Zung,” ujar Magda memperkenalkan dirinya.
Ayah mengambil alih tugas ibu yang sedang sakit, menyiapkan air panas untukku dan Magda, namun Ibu tak tega melihat kesibukan ayah. Ibu menyuruh membangunkan adikku.
***
Seusai melepas rindu, aku dan Magda ingin menyampaikan sesuatu, berkaitan dengan kisah pernikahan kami. Ayah dan Ibu kaget saat aku menuturkan kenapa timbul niat menikah sesegera mungkin.
“ Meski kami tidak menyetujui pernikahan kalian, tetapi kami tidak setuju cara mereka,” ujar ayah menunjuk om Robert.
“ Maafkan aku dan Magda karena menikah tanpa sepengetahuan ayah dan ibu,” ucapku sendu.
“ Ya amang! Tadi kami telah memberimu sipir ni tondi. Itu tanda persetujuan ayah dan ibu.” ucap ibuku sambil melirik Magda yang masih tertunduk di samping ibu.

“ Bagaimana khabar mami? tanya ibu ke Magda
“ Baik-baik inang. Mami dan om Robert sedang berpergian ke luar kota. Aku belum semput temui mami,” jawab Magda, suaranya serak.
“ Kalian belum boleh pergi kerumah mami sebelum ayah atau utusan mewakili kami mendatangi keluarga parmaen/menantu” ingat ayahku.
“ Ya amang.” jawab Magda.
“ Kapan kalian pulang? tanya ompung, seraya bangkit mau kembali ke kamar tidur.
“ Sebentar lagi ompung, “ jawabku
“ Hati-hati di jalan,” balasnya pula tanpa menoleh, disambut tawa Magda dan Ibu.

Ibuku marah ketika kuberitahu, esok harinya akan kembali. “ Besok? Ngapain nya kalian datang seperti pijak bara.!” entaknya
Inang. kami mau tinggal sampai lusa lah. Kami mau ke gereja bersama amang dan inang,?” tukas Magda menengahi.
“ Memang kamu tak ada rindu pada orangtua dan adik-adikmu,” sela ayah kesal. Magda melirikku memberi sign, diam, kemudian mengulang jawab seperti kepada ibuku.
Amang, kami pulang besok lusa. Sebenarnya ingin lebih lama, tetapi aku masih mengurus ijin cuti,” jelasnya. Ayah dan ibuku mengangguk, memahami. Wuih..beraninya isteriku menaggapi kekesalan ayah mertuanya.

Malamnya, aku “mengusir” adik-adikku dari kamarku dulu semasa di kampung. Sambutan orangtua yang sangat menyejukkan hati, membuahkan sukacita berjuta rasa. Ditengah hati berbunga-bunga, aku dan Magda saling mengingatkan kenangan masa awal pacaran hingga pernah "cerai" lantaran cemburu. " Semuanya tak berbekas lagi pap," tawanya, ketika kuingatkan surat "cerai" yang dilayangkan untukku.

“ Mam, seandainya dinding kamar ini dapat berucap, pastilah Magda kaget.”
“ Kenapa ?” tanyanya serius
“ Kala masih remaja, aku terbebas “polusi” asmara. Juga bebas dari asap rokok jahanam, meski daerah ini adalah lumbung “daun setan”. Tetapi akhirnya papa binal, setelah pindah ke kota dan mengenal asmara memabukkan itu. Apalagi ketika mama bertingkah dan merajuk, papa melampiaskannya lewat minuman dan daun setan itu.”

“ Apa bedanya dengan kamarku? Seusia papa, kamar itu dihuni putri melati, hening sepanjang hari dan malam. Tetapi ketika ketemu dengan seorang pemilik kamar ini, tangis dan tawa silih berganti," balasnya. Masih dengan hati berbunga sebelum terlelap aku berucap suka, “ Mam, tidak selamanya siksaan berbuah pahit. Buktinya, siksaan yang kita alami menghantarkan kita ke dalam bahtera menyejukkan. Kita berlabuh diberbagai tempat ; Di rumah ditengah kebun pinggiran kota, di kamar si putri melati tempat dibesarkan, dan malam ini di kamar pemuda idaman,” ujarku disambut ciuman di kening dan berucap," Papa, kita bobo." Keletihan seharian selama perjalanan, menghantarkanku dan Magda dalam tidur. ( Bersambung)

Los Angeles. January , 2010

Tan Zung"

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Wednesday, January 27, 2010

Telaga Senja (216)

Steps: I Know Him So Well
Nothing is so good it lasts eternally, /Perfect situations must go wrong, /But this have never yet prevented me, /Wanting far to much, /For far too long,

Looking back I could have played it differently, /Won a few more moments who can tell,/But it took time to understand men, /Now at least I know, /I know him well,

Wasn't it good, /Oh so good, /Wasn't he fine, /Oh so fine, /Isn't madness he can't be mine, /But in the end he needs a little bit more than me, /More, security, /He needs fantasy and freedom, /I know him so well,

No one in your life is with you constantly, /No one is completely on your side, /And though I'd move my world to be with him, /Still the gap between us is too wide, /Looking back I could have played differently, /Won a few more moments who can tell, /(I was just a little girl)

But I was ever so much younger then, /(So much younger then) /Now at least I know, /I know him well. /Wasn't it good, /Oh so good, /Wasn't he fine, /Oh so fine, /Isn't madness he won't be mine, /Didn't I know, /How it would go, /If I knew from the start, /Why am I falling apart?

Wasn't he good, /Wasn't he fine, /Isn't it madness he won't be mine, /But in the end he needs a little bit more than me, / More, security, /He needs his fantasy and freedom, /It took time to understand men, /I know him so well.


==========================
“ Susan mengusir kami,?” candaku.
“ Ya. Aku mengusir kalian. Kakak nggak mau mencuri waktu kalian meski sedetikpun,” ujarnya. Susan menarik tanganku dan Magda,” Ayo bangkit. Pergilah, bersama, menikmat madu,” pungkasnya.

=========================

HASRAT menggapai rindu diujung sukma, mengarung cita, tertukir abadi didalam loh hati kami. Gita malam menyentuh jiwa berpadu dalam kesehatian. Hujan ketakutan itu kini hanya menyisakan gerimis bimbang; terhempas tekad juang dalam ruang kecemasan. Simpul berani menjadi acuanku dan Magda menapak langkah ke depan. Kami tak akan larut (lagi) dalam bimbang yang menyesakkan.

“ Papa, kejadian yang kita alami mengajar aku semakin dewasa. Kini mama, bukan lagi Magda yang papa kenal sebelumnya, peragu sikap. Mama telah larut dalam ketangguhan yang papa miliki, ketika berlaga merebut piala. Mama telah memenangkan dan meraih piala kemenangan itu, juga papa. Mama dan papa telah menentukan arah lintas yang akan kita telusuri. Mama yang selama ini berbeban seakan melawan kepatutan, telah terhapus dari benak. Mama dan papa telah berhasil melepas jiwa dan hati terbelengu,” tutur Magda semangat menjelang ke peraduan.

“ Magda, benar seperti kata Susan. Mama perempuan batak; Diam bukan karena ketakutan, menangis bukan karena siksaan. Diam dan tangis berakhir pada simpul keberanian. Iya, aku mengaku, mama lebih cepat dewasa dan lebih berani dariku,” balasku.
“ Papa pahlawanku sekaligus sumber inspirasi mama.”
Merdekaaaa...!” seruku mengagetkan Magda, kemudian aku mengajaknya pulang ke kebun, sementara waktu telah menunjukkan menjelang tengah malam.

“ Malam ini, papa dan mama tidak mau tidur di kamar pelarian. Mama ingin tidur bersama dengan papa di kamar perjuangan batin. Disini, di kamar ini, doa mama bersimbah airmata. Seisi rungan ini lah menjadi saksi bisu. Seandainya isi ruangan dapat berucap kata, papa akan mendengar kidung kemenangan menyambut papa.”
“ Papa telah mendegarkannya lewat bibir dan mulut perempuan tertindas,” celutukku.

“ Ah...papa tunggu dulu,” ucapnya manja. “ Papa belum mendengarkan seutuhnya. Duka dan luka mama yang papa torehkan sebelumnya, telah tertutup bukan sekedar gempita gita. Airmata duka berkalang dalam keseharianku. Kini, dengan linangan airmata mengucur dari mata yang sama menghatarkan mama dalam pelukan kasih papa. Papa, malam ini, bukan sebatas mimpi. Jangan biarkan mama sendiri menikmati impian yang telah terwujud nyata. Di kamar ini, kita berbaring diatas pualam sejuk nan bening, merangkai mimpi-mimpi baru, di dalam bahtera menyambut mentari pagi pengharapan,” ucapnya dengan gemuruh jiwa, bergelora . Malam itu bahtera berlayar menebus airmata Magda selama lima tahun lebih, kala aku"menyiksa" batinnya.
***
Pagi itu, tangisan Thian seakan protes karena sepanjang malam aku dan Magda mengabaikannya. Magda buru-buru bangkit dari tempat tidur, berlari menuju suara tangisan Thian. Aku mendengar teguran Rina diiring tawa,” Duh mbak. Ntar Thian ketakutan lihat mamatuanya aut-autan seperti itu. Magda membawa Thian kekamar, menaruh di sisiku.
" Papa, Thian kangen suara papa," ucap Magda. Tidak seperti biasanya, senyumku mengembang menyambut Thian, kapan dan dimana pun. Kali ini aku dingin menyambut kehadiran Thian di tempat tidur.

“ Mam, belum waktunya kita repot seperti ini. Kenapa sih papa ditinggal kala tidurku teduh di sisimu,?”protesku
“ Maaf pap, mama tak sengaja. Tapi, papa, kita harus mulai belajar.”
“ Mam. Ada saatnya, belum sekarang,"
“ Papa marah,?” tanyanya seraya mengangkat Thian dari sisiku, lalu keluar mengantarkan Thian ke Rina. Magda kembali ke kamar seperti orang ketakutan kemudian duduk diujung ranjang. Perlahan, dia merebahkan tubuhnya dan mencium pipiku ketika aku diam tak menjawab sapaannya. Tak mampu menahan geli, aku tertawa lepas kemudian memeluknya. Magda melepaskan pelukanku, ”beringasan” menghajarku dengan pukulan bertubi-tubi. Kemudian dia keluar dari kamar. Magda kembali lagi dengan sebuah gayung seakan-akan tangan Thian memegang, lantas memukulkan ke kepalaku. “ Papatua nakal.” ujar Magda.
***
Aku sengaja memilih berangkat sore pulang ke kampung, agar tiba pada malam hari, dengan pertimbangan, tetangga sudah pada tidur. Sehingga, seandainya kedua orangtua menolak kehadiranku, Magda tidak terlalu terpukul karena malu. Awalnya, Magda tidak setuju berangkat sore karena alasan yang aku kemukakan.

“ Diusir? Jika itu memang terjadi, kenapa harus malu? Tetapi mama nggak sedikitpun berprasangka seperti papa. Mama kenal mamatua..eh..inang. Paling juga kalau mereka, maksudku amang dan inang, nggak setuju, akan terlihat dari gerak tubuh mereka. Tetapi terserah papa lah. Kan papa lebih tahu siapa amang dan inang,” ucapnya serius. Malu dinyanyiin seperti itu, aku mengalihkan ke alasan lain, disambut ketawa ngenyek: “ Bilang saja papa malu dibilang penakut.”

Dengan perbekalan sederhana, pakaian secukupnya, Rina dan Thian menghantarkan kami hingga ujung pekarangan rumah. " Tetap semangat mbak!" seru Rina saat kami mobil bergerak meninggalkannya dan Thian. Aku dan Magda gantian menyetir mobil hingga tiba dikampung. Selama dalam perjalanan aku telah siapkan skenario dengan dua kemungkinan akan terjadi. Diterima atau diusir. “ Mama siap.!” sentak Magda berlagak militer.

Setengah jam sebelum tiba di kampung, kami istrahat di dalam mobil, menahan dinginnya udara malam. “ Kita istrahat dulu, agar ada tenaga, jika ayahku mengusir, kita langsung pulang,” ujarku. Magda tak terusik ragu, karena dia masih dengan keyakinannya.
“ Mama mau istrahat, tetapi bukan karena alasan seperti papa katakan,” ujarnya lantas pindah jok belakang, rebahan. Baru beberapa menit, Magda telah mengajakku berangkat.

“ Ayo lah pap. Kok temuin orangtua seperti menghadapi musuh. Perasaan mama nggak enak nih. Ayo pap,” bujuknya.
“ Tiba disana, mama yang duluan ketuk pintu. Mau?”
“ Mau. Mama nggak takut! Tetapi papa yang menanggung malu bila mama dibilang menantu lancang, tak tahu adat.!” tegasnya.

Mendekati rumah, aku sengaja memarkirkan mobil beberapa meter berjarak dari rumah, agar mobil dan Magda tidak terlihat oleh orangtuaku. Dengan senter kecil yang telah aku siapkan sebelumnya, melangkah menuju pintu rumah. Ketukan demi ketukan memecahkan kesunyian malam itu. Sejenak kemudian aku mendengar sepasang kaki melangkah menuju pintu, kemudian membuka engselnya seraya berteriak dari dalam. “Siapa.?” Aku menjawab lantang dari luar.

Hah...kau itu Zung?” tanyanya seakan meyakinkan dirinya.
“ Ya ayah.” jawabku. Hatiku sedikit lega ketika ayah tidak menujukkan suara marah saat tahu kehadiranku. Namun kelegaan itu segera sirna kala mendengar derap langkah menjauh dari pintu. Ayah tak kunjung membuka pintu, bahkan aku mendengar langkahnya semakin redup dari pendengaranku. Magda turun dari mobil dan berlari menemuiku ketika aku berdiri lemah, bagai kehabisan tenaga, bersandar di depan pintu rumah. ( Bersambung)

Los Angeles. January , 2010

Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Monday, January 25, 2010

Telaga Senja (215)

Foreigner: I Don’t Want To Live Without You
I find myself in a strange situation/And I don't know how/What seemed to be an infatuation/Is so different now/(Aaaah) I can't get by if we're not together/(Eeeeh) ooh, can't you see?/(Aaaah) girl I want you now and forever/(Eeeeh) close to me...Aaaah

I'm longing for the time/I'm longing for the day/Hoping that you will promise to be mine/And never go away/I don't want to live without you/I don't want to live without you/I could never live without you/Live without your love/Oooh ooh ooh oooh

(Aaaah) I ask myself but there's no explanation/(Eeeeh) for the way I feel/(Aaaah) I know I've reached the right destination/(Eeeeh) And I know it's real / I'm longing for the time/I'm longing for the day/When I'll be giving you this heart of mine/Believe me when I say

I don't want to live without you/I don't want to live without you/I could never live without you/Live without your love/No, I don't want to live without you/ .
I don't want to live without you/
I could never live without you/Live without your love/ Now I don't want to live without you/I don't want to live without you/I could never be without you/Be without your love/I don't want to live without you/Live without your love

(Aaaah) (Live without your love) live without your love
(Aaaah) (Live without your love) you see I'm lost without your love
(Aaaah) (Live without your love) ooh ooh ooh oooh, ooh ooh ooh ooh oooh
(Aaaah) (Live without your love) without your love
(Aaaah) I can't live without it
(Live without your love) I can't live without your love

==========================
Mam, bacakan dulu surat dari mertuamu,” kataku mengingatkannya.
“ Oh..iya pap, aku hampir kelupaan,” jawab Magda seraya mengambil dari tasnya. Kubiarkan dia membaca isi yang tak terlalu panjang itu. Wajahnya berubah seusai membaca surat, menatap sendu, lalu merebahkan tubuhnya di pangkuanku.

==========================
SEGERA aku mengambilkan surat itu dari tangan Magda dan membacanya. Namun, aku heran tak menemukan sepotong kalimat yang membuat hati Magda terusik sehingga wajahnya redup dan tubuhnya lunglai di atas pangkuan. Apakah gara-gara pemeberitahuan ayah , bahwa ibuku jatuh sakit.?
“ Mama kenapa? Kamu mengidam,?” godaku. Wajah Magda berubah seketika, berbinar.
“ Papa...! Belum lah," jawabnya seraya meremas daguku. " Mama tua sakit karena mama iya?” tanyanya menduga-duga.
“ Apa hubungannya ibuku sakit dengan keberadaanmu?”
“ Mungkin mamatua nggak setuju dengan pernikahan kita?”

“ Setuju nggak setuju tokh kita sudah jalani. Tidak usah kamu menghukum dirimu sendiri. Pikirkan bagaimana agar kedua orangtua kita dapat menerima dan memahami apa yang telah kita putuskan. Mereka adalah orangtua yang melahirkan. Papa tidak yakin mereka akan menepis kita dari sisi kehidupan mereka. Aku yakin sejuta persen mam. Berhentilah menghukum diri sendiri. Hukuman ataupun tudingan dalam bentuk apapun dari manusia sekitar yang mengaku beradab, kita harus siap menerimanya. Mereka yang hidup tetapi tidak siap menanggung resiko, adalah mayat berjalan. Semakin mama takut ;ketakutan itu semakin melilit hati dan pikranmu. Mama belajarlah menjadi manusia pemberani. Mama berani ikut papa pulang kampung melihat mertua? Besok papa mau pulang. Hanya satu malam saja.”

“ Papa pulang? Mama mau ditinggal.?”
“ Baru diingatkan jangan dihantui rasa takut. Memang kenapa kalau mama ditinggal?”
“ Mama nggak takut. Mama kan sudah menjadi isteri papa? Justru papa yang ketakutan kalau mama ikut ke kampung,” tantangnya seraya bangkit dari pangkuan.
“ Meski madu terasa empedu, mama harus siap menerimanya. Tadi kan papa bilang, hidup adalah sebuah resiko.?"
" Kadangkala perasaan mengalahkan pikiran. Madu tetaplah madu. Madu itu tidak akan pernah berubah menjadi empedu. Tetapi perasaan kita mengubahnya menajdi empedu. Bagi papa keduanya adalah bagian dari kehidupan. Mengharaplah empedu itu akan menjadi penyegar tubuh. Papa yakin, mama tidak terlena dengan nikmatnya madu.”

“ Ya, iya...mama yakin, papa tidak sekedar “berkhotbah” tetapi ikut bersama mama menikmati keduanya. Nah, besok mama mau ikut papa pulang kampung, bersama-sama menikmati madu dan empedu.” ujarnya dengan hati berbunga-bunga. “ Papa , tidak perlu lagi melanjutkan “khotbah” karena semua telah ditutup dengan , Amin,” sergahnya diiringi tawa ketika aku akan melanjutkan pembicaraan.
“ Mam, aku bukan mau berkhotbah. Aku mau berdoa penutup,” jawabku ketawa .
***
Aku dan Magda sepakat pulang melihat ibuku yang sedang jatuh sakit sekaligus memberitahukan perubahan “status” ponakan menjadi menantu, dengan segala konsekwensinya. Malam itu aku mengajak Magda ke rumah Susan; Dia kaget karena kami pulang dua hari lebih awal dari yang direncanakan. Susan juga merasa surprise ketika Magda memberitahukan kami baru saja dari rumah Magda.
“ Hah..! Bagaimana sikap mami? Apa katanya Zung.!?” tanyanya semangat. Namun semangat itu meredup seketika saat diberitahu, mami Magda sedang berada diluarkota.
“ Mami nggak ada dirumah kak. Besok mereka baru pulang dari luar kota,” timpal Magda.
“ Ah...kakak pikir, kalian sudah berani ketemu dengan mami.”

“ Ya kak. Keberanian kami mulai timbul sejak tadi sore. Kami akan mengawali dengan kunjungan ke kampung, kerumah mertua, orangtua Tan Zung.”
“ Kapan..!? Iya Zung? Abang sudah siap menanggung resiko? Bukankah lebih baik menunggu suasana lebih tenang?”
“ Lebih cepat lebih baik kak !”
“ Tetapi abang harus siap menanggung resiko terburuk. Sedikit banyak tahulah aku adat batak. mamiku kan orang batak,” terang Susa.
“ Aku juga siap kak,” timpal Magda.
“ Memang kamu perempuan batak dik,” ujarnya seraya mememeluk l Magda yang duduknya berdampingan.

Tak hentingya Susan mendukung seluruh rencanaku dan Magda. Dia langsung menawarkan mobilnya kami pakai untuk pulang kampung. “ Mana tahu kalian belum diterima karena persoalan adat, bisa saja orangtua mengusir kalian dari kampung karena dianggap tabu menerima menantu yang belum diadatkan. Kalian boleh langsung pulang saat itu juga.” ujarnya seraya meninggalkan kami. Susan masuk kedalam kamarnya. Sejenak kemudian kemlabi dengan menyerahkan sejumlah uang dalam ampelop. Susan tersinggung ketika Magda menolak pemeberiannya.

“ Yang kakak kasihkan minggu lalu masih ada,” tolak Magda
“ Kamu belum sebulan jadi mama-mama sudah berani menolak pemberian kakak iya?” entaknya. “ Kalian berjalan jauh. Siapa tahu mobil mogok atau butuh nginap di jalan,” bujuknya. Susan terus menyorongkan amplop itu ke tangan Magda. Aku pun menghindar dari ruang tamu, tak mampu melihat pelukan Magda diiringi isak tangis. Menurutku juga, perhatian Susan, mantan dosen dan pacarku, sangat luarbiasa.

" Mumpung mami masih diluar kota, pulanglah ke rumah. Lanjutkan nostalgia kalian di rumah ketika masa kuliah."
" Susan mengusir kami,?" candaku.
" Ya. Aku mengusir kalian. Kakak nggak mau mencuri waktu kalian meski sedetikpun," ujarnya. Susan menarik tanganku dan Magda," Ayo bangkit. Pergilah, bersama, menikmat madu," pungkasnya. ( Bersambung)

Palm Spring. January , 2010


Tan Zung

"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Sunday, January 24, 2010

Telaga Senja (214)

======================
Suatu pagi, Rina yang kali pertama mengunjungi danau toba tak berkesudahan menuturkan pesona takjub keindahan alam sekitar. “ Tetapi mas, bilangin dong ke warga ditepian danau untuk menjaga kebersihannya. Kok mereka membuang sampah sembarangan.!?”
=======================

MALAM akhir bulan madu yang berakhir dua hari lebih awal dari terencanakan menghapus luka yang mendera ketika tangan-tangan sesama ingin membelengu kebebasanku dan Magda menentukan arah hidup. Kesehatian berasas kejujuran itu kami ikat dalam ikrar, setia hingga ajal menjemput.
“ Papa, aku rindu mami, aku rindu rumah. Kita pulang lebih awal,” pinta Magda saat kami baru bagun tidur. Aku memaklumi kerinduannya, sama sepertiku juga sangat merindukan kedua orangtuaku. Hati selalu dihantui rasa bersalah, karena kami telah melangsungkan pernikahan tanpa seijin orangtuaku dan orangtua Magda. Keinginan semakin meluap setelah dua minggu tak ada komunikasi dengan keluarga kecuali dengan Jonathan, adik Magda.

“ Papa nggak kangen dengan rumah mertua papa,?” tanyanya bergetar.
“ Pastilah mam,” jawabku sebelum dia melanjutkan dengan urain airmata.
Ntar malam, sepulang dari sini kita nginap dirumah mami iya pap? “
“ Tetapi....”
“ Tetapi... apalagi? Katanya papa rindu,” potongnya
“ Belum saatnya. Nanti setelah orangtuaku menemui mami atau keluarga mama, kita dapat mengunjungi mami.”

“ Mama nggak mengerti sikap papa. Masya menginjak rumah tempat aku dibesarkan, adat tak memperbolehkannya? Adat apaan itu?” ucapnya kesal. Tak mau mengusik keutuhan hati serta kebahagiaan yang belum lama kami ukirkan, aku mengangguk setuju.
“ Iya mam, papa mau. Tetapi, kita lihat situasinya. Jika mami mengijinkan, papa mau menginap.”
Papaaaa....gimana sih? Belum apa-apa sudah pikun. Mama mengajak nginap, bukan mau ketemu mami. Mami kan masih di Berastagi. Mereka baru kembali besok lusa. Memang papa sudah berani temui mami.?” Kepalang salah jawab, aku menjawab,” Papa berani! Kenapa nggak, bagaimanapun mamimu mertuaku.”
Bagai kerasukan, Magda bangkit dari sisiku, berteriak kegirangan kemudian menciumiku sepuasnya.

“ Nanti setelah kita ketemu mami, kita pulang kampung temui amangtua dn mamatua.” Magda tersipu malu ketika aku menegurnya. “ Papa sudah berapa kali ingatkan. Jangan panggil amangtua dan mamtua. Cukup panggil amang dan inang saja.”
“ Maaf. Kebiasaan pap.!
***
Liburan kami akhiri setelah puas menyeluusuri tepi pantai. Sukar rasanya meninggalkan danau toba yang telah memberi kami kesejukan jiwa. Disana, terlalu banyak kenangan terukir selama lima hari itu. Tak kurang mengesankan adalah, Thian ikut menikmati kesejukan alam sekitar. Kesehatannya terjaga prima meski pada malam hari, cuaca kadang tak menentu. Dalam usianya belum dua bulan, Thian telah mengenali suaraku dan Magda, selain suara ibunya, Rina. Tak jarang Thian tidur lelap dalam pangkuan Magda, padahal sebelumnya cengeng dalam pelukan Rina.

Sebelum pulang kerumah, kami mampir kerumah Shinta setelah mengantarkan Mawar ke rumahnya. Sejenak, didepan pintu, Shinta pangling ketika melihatku pakai peci dan Magda mengenakan kerudung. Aku dan Magda kelupaan membukanya. Rina juga tidak mengingatkan.
Shinta kaget dan berteriak sesaat aku dan Magda membuka alat samar yang kami kenakan. Mereka berpelukan, cukup lama. “ Boleh aku masuk? “tanyaku menyadarkan Shinta, sekaligus melepaskan pelukannya. Shinta menarik tangan dan mengajakku ke dapur setelah menyilakan Rina dan Magda duduk diruang tamu beserta Sihol, suaminya Shinta.
“ Abang dan kakak pindah agama iya?”
“ Nggak. Kenapa? Karena kami kami mengenakan peci dan kerudung? Ompung/kakek kita juga pakai peci.”
“ Iya. Tetapi ompung boru/nenek, nggak pakai kerudung,” jawabnya. Shinta mendadak ketawa lepas setelah aku utarakan alasan kenapa aku dan Magda mengenakannya. “ Maup maho.( Sialan kamu, pen) balas Shinta. Kami kembali keruang tamu, Shinta masih terus cekikan.

“ Akhirnya jadi juga. Perjalanannya cukup panjang dan melelahkan iya kak?” ucap Shinta. Sihol, suami Shinta, juga tampak senang menerima kehadiran kami. Kami mohon ijin pulang setelah kurang lebih setengah jam bertamu disana. Sebelum kami meninggalkan rumah Shinta, dia menyerahkan surat dari orangtuaku. Menurut Shinta, beberapa jam lalu diantarkan seseorang, teman satu kampung, ke rumahnya. Shinta hampir saja kelupaan, seandainya aku tidak menanyakan, apakah dia jadi memberi khabar ke kampung perihal pernikahanku.

Seingatku, selama bertahun-tahun sekolah di Medan, ayah atau ibu tak pernah mengirimkan surat kepadaku, kecuali ada hal yang sangat penting, misalnya, jika ada diantara keluarga jatuh sakit atau meninggal. Shinta dan Magda menyuruhku membuka amplop dan membacanya.
“ Nantilah dibaca di rumah. Biar mantunya yang baca duluan,” ujarku. Magda senang mendengarkannya.
“ Iya pap, kali pertama membaca surat mertua,” balasnya, disambut tawa Shinta dan Sihol. Meski aku merasakan ada sesuatu yang tidak beres, namun aku bersikap biasa. Dalam hatiku menduga, isinya pasti tidak jauh dari marah atau nasihat.
***
Tiba dirumah Magda, mataku liar kesekeliling sebelum turun dari mobil, sementara posisi parkir sengaja siap kabur jika ada orang yang mencurigai. Beberapa saat, kami biarkan Rina dan Thian masuk terlebih dahulu. Merasa situasi sekitar aman, aku dan Magda melangkah masuk kerumah. Setengah berlari Magda menarikku masuk ke dalam kamarnya.

" Pap, ayo ke kamar mama. Kamar ini banyak menyimpan kenangan karena nakalnya papa. Apalagi ketika dahulu papa"meceraikan" mama," ujarnya bergayut manja. Sekarang, lanjutnya, papa sudah bisa tidur bersama mama di kamar ini. Kami berdua duduk di sisi atas ranjang. Aku biarkan dia sejenak, berimprovisasi dengan kenangan lamanya, sementara aku tak sabaran ingin tahu isi surat dari orang tuaku.

" Mam, bacakan dulu surat dari mertuamu," kataku mengingatkannya.
" Oh..iya pap, aku hampir kelupaan," jawab Magda seraya mengambil dari tasnya. Kubiarkan dia membaca isi yang tak terlalu panjang itu. Wajahnya berubah seusai membaca surat, menatap sendu, lalu merebahkan tubuhnya di pangkuanku. ( Bersambung)

Palm Spring. January , 2010

Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Thursday, January 21, 2010

Telaga Senja (213)

Tracy Chapman: The Promise
If you wait for me /Then I'll come for yo/Although I've traveled far/I always hold a place for you in my heart/If you think of me/If you miss me once in awhile/Then I'll return to you/I'll return and fill that space in your heart

Remembering/Your touch/Your kiss/Your warm embrace/I'll find my way back to you/If you'll be waiting/If you dream of me /Like I dream of youIn a place that's warm and dark/ In a place where I can feel the beating of your heart

Remembering/Your touch/Your kiss/Your warm embrace/I'll find my way back to you/If you'll be waiting/I've longed for you /And I have desired/To see your face your smile/ To be with you wherever you are

Remembering/Your touch/Your kiss/Your warm embrace/I'll find my way back to you/Please say you'll be waiting /Together again/It would feel so good to be/In your arms /Where all my journeys end/If you can make a promise /If it's one that you can keep/I vow to come for you/If you wait for me
And say you'll hold/ A place for me /In your heart/A place for me /In your heart

===========================
” Rina dan Thian ngak punya teman. Mami dibawa om ke Berastagi. Jontahan selalu nginap di rumah pacarnya, rumah om Riobert.”
“ Terserah bang Tan Zung.” jawab Susan mengalah. Magda melihat ke arahku, tapi dia sungkan bertanya, terlihat dari wajahnya. Aku tahu dia sedang menunggu jawabanku, namun aku diam, membiarkannya mendapat jawaban lewat rona wajahku.

===========================

SEJENAK kemudian Magda langsung merangkulku meski belum memberi jawaban verbal. Dia tahu pasti aku tak keberatan dengan keikutsertaan Rina. Magda cukup piawai membaca raut wajahku setelah bersahabat selama lebih lima tahun. “ Boleh ikut, tetapi hanya Thian,” gurauku disambar cepat oleh Susan,” Berdua, sintingnya sama. Wong berbulan madu kok bawa bayi. Baby sitter kenapa harus ke Parapat,!?” celutuknya. Esok harinya, setelah makan siang, Aku dan Magda menghubungi Mawar dengan menggunakan telepon toko yang berada di pasar, mulut kota. Mawar bersedia mengantarkan Rina ketempat yang kami tentukan.

Segera sesudahnya, kami menghubungi Rina, agar bersiap-siap dijemput oleh Mawar. Rina kaget ketika kami memberitahukan rencana secara tiba-tiba. “ Kenapa rencananya tiba-tiba. Mana lah bisa buru-buru, aku kan punya bayi,” protesnya. Magda menyerahkan telepon seraya memberitahukan complain Rina, diiringi tawa.
” Rin, kalau elu keberatan, nggak usah ikut, tapi kami bawa anakku Thian.”
Ndasmu. Yang lahiran aku.!” balasnya dengan tawa. Sebelum pertemuan pada waktu yang kami tentukan, Magda mencoba menghubungi Jonathan ke rumah om Robert, namun dia tidak berada di rumah. Menurut pembantu, Jonathan dan Monica juga ikut liburan. Kami tiba lebih awal ditempat yang kami janjikan.

Kami sengaja memilih tempat pertemuan agak jauh dari keramaian, khawatir intel partikelir masih gentayangan. Selang beberapa lama Mawar, Rina dan Thian tiba sesuai dengan waktu yang disepakati. Untuk beberapa saat, Mawar dan Rina tak memperhatikan kehadiran kami yang terlebih dahulu tiba di restoran, tempat yang kami tentukan. Memang, kami sengaja membelakangi pintu masuk. Serentak aku Magda berbalik setelah mendengar suara rengekan Thian. Mawar dan Rina terperanjat melihat penampilanku yang mengenakan peci, Magda memakai kerudung.

“ Kejutan apalagi nih bang,” tanya Mawar serius seraya memperhatikan kerudung Magda dan peciku silih berganti, sementara Rina terus mempelototin kami, hingga dia kelupaan duduk. Tak peduli dengan ketercengangan mereka, aku dan Magda rebutan Thian. Aku kalah, selalu. Mungkin dalam benak Mawar dan Rina, aku dan Magda telah melakukan “manuver” iman, mualaf. “ Tidak! Kami masih seperti yang kamu kenal sebelumnya. Pakaian ini menunjuk pada budaya bukan pada agama.” jawabku ketika Mawa mencurigai kami telah pindah keyakinan. Mawar dan Rina tak mampu menahan geli ketika aku jelaskan kenapa mengenakan pakaian itu, keduanya terawa lepas.

Disela pebicaraan, Mawar menyampaikan keinginannya ikut liburan bersama kami. “ Hari ini, hari terakhir aku bekerja di kantor. Atasanku telah mengabulkan permohonan yang aku ajukan sebulan lalu. Munggkin awal bulan aku pindah ke Jakarta,” ujarnya. Menurut Mawar, alasan mengundurkan diri, karena tak kunjung diangkat menjadi pegawai tetap. Aku dan Magda setuju, Mawar ikut serta dengan kami.

Malam sebelum berangkat, aku dan Magda "ribut" gara-gara Thian. Magda menginginkan Thian tidur bersama kami. " Pap, hanya semalam ini saja. Besok-besok kan masih ada hari lain untuk kita," ucapnya genit. Padahal, aku hanya khawatir akan mengganggu seisi rumah, akan membangunkan Rina, jika Thian bangun minta di susui. " Ntar Thian bangun minta minum, mama bisa menyususinya,?" tanyaku disambut dengan tawa cekikian.

***

Esok harinya aku menjemput Mawar ke perbatasan kota. Aku mengusulkan dia naik angkutan umum secara bergantian, takut dibuntutin oleh intel partikelir. Kali ini, pakaianku semakin “santun”, pakai kain sarung dengan sendal dan peci. Mawar menutup mulutnya menahan tawa ketika melihat penampilanku. Dia terus ketawa geli hingga kami masuk ke mobil. Didalam mobil, Magda, Rhina dan Thian menunggu kami. Ketiganya tertawa serempak ketika membuka kain sarungku. Thian terganggu tidurnya, kaget dan menangis. Tangisan Thian menghentikan ketawa mereka.

***
Percikan kebahagian tak sedikitpun tergaggu kala aku dan Magda mereguk bulan madu selama seminggu itu karena kehadiran Mawar, Rina dan Thian. Aku dan Magda sepakat, berbulan madu bukan hanya sekedar pemuasan tutntutan raga semata, namun pembaharuan dan perekatan hati dan jiwa di dalam memaknai hidup. Magda, jauh hari sebelumnya ketika kami masih pacaran telah tahu kebiasaanku, semedi, menenangkan diri kala embun galau membungkus. Hal itu telah aku lakukan sejak aku aktif di perguruan bela diri. Magda tak pernah sedetikpun mengganggu ketenangan kala aku duduk berdiam diri, hening, dalam posisi duduk bersila dengan mata tertutup.

Aku akui, pada waktu lalu, kadangkala aku masih jauh dari adab petapa begawan. Ego masih membelengu diri. Entahlah ke depan, kebengalan itu akan terulang, ketika alkohol adalah pilihan lain untuk penenang hati namun semu. Atas seijin Magda yang kini telah menjadi permaisuriku, semedi itu aku lakukan hampir setiap senja menjelang malam, selama empat hingga enam jam, tentunya, dengan tidak mengurangi hubungan batinku dengan Magda. Selama aku melakukan penenangan jiwa, Magda ikut ”merawat” keheningan itu dengan mengajak Rina, Thian dan Mawar menikmati keindahan suasana malam dipinggiran danau toba.

Suatu pagi, Rina yang kali pertama mengunjungi danau toba tak berkesudahan menuturkan pesona takjub keindahan alam sekitar. " Tetapi mas, bilangin dong ke warga ditepian danau untuk menjaga kebersihannya. Kok mereka membuang sampah sembarangan.!?" (Bersambung)

Los Angeles. January , 2010

Tan Zung

"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Wednesday, January 20, 2010

Telaga Senja (212)

Shania Twain - You're still the one
Ooh, yeah, yeah/Looks like we made it/Look how far, we've come my baby/We mighta took the long way/We knew, we'd get there someday/They said, "I bet, they'll never make it"/But just look at us holdin' on/We're still together, still goin' strong

You're still the one/You're still the one I run to/The one that I belong to/You're still the one I want for life/You're still the one/You're still the one that I love/The only one I dream of/You're still the one I kiss goodnight

Ain't nothin' better/We beat the odds together/I'm glad, we didn't listen/Look at what we would be missin'/They said, "I bet, they'll never make it"/But just look at us holdin' on/We're still together, still goin' strong

You're still the one/You're still the one I run to/The one that I belong to/You're still the one I want for life/You're still the one/You're still the one that I love / The only one I dream of/You're still the one I kiss goodnight/You're still the one

Yeah, you're still the one/You're still the one I run to/The one that I belong to/You're still the one I want for life, ohh/You're still the one / You're still the one that I love/The only one I dream of/You're still the one I kiss goodnight/I'm so glad, we made it/ Look how far, we've come my baby

=============================
“ Magda nggak usah berkecil hati. Abang Tan Zung telah berusaha. Lebih baik kalian pikirkan rencana ke depan. Jangan habiskan waktu hanya berpikir tentang adat,” nasehatnya. “ Heh....jangan kebahagian kalian tersita khususnya malam ini gara-gara adat kalian itu. Sudah, ayo torehkan sejarah baru malam ini, “ujarnya ketawa seraya mematikan lampu ruangan tengah tempat kami berbincang.
==============================

AKU dan Magda sepakat untuk melupakan, sementara, rintangan yang kami hadapi. Kami ingin menikmati hari-hari sebagaimana lazimnya pengantin baru mereguk nikmat madu. Seminggu telah berlalu, bersama menapak gita cinta di tengah kesunyian alam. Kicauan burung setiap pagi seakan turut bersama kami berdendang bahagia menyongsong mentari pagi di ufuk timur. Kesejukan sungai mengalir, meliuk hingga ke muara jauh bertutur berita bahagia. Meski sukacita belum menepi, perpisahan dengan mertua, mami Magda, Thian dan Rina menuai rindu. Magda tak dapat menutupii rindu meski selalu dihantui trauma penculikan beberapa waktu lalu.

Tiga hari belakangan Susan tidak bertemu dengan kami karena dia sudah mulai masuk kerja, mengajar. Atas seijin Magda aku menemui Susan ke kantornya dengan memakai kenderaan umum. Tiba di kantor Susan, aku tuturkan perasaan Magda pagi tadi ,sebelum aku tinggalkan. Susan memaklumi perasaan Magda; Dia langsung merespon ketika hal itu aku tuturkan kepadanya. “ Ya, aku mengerti. Sebentar aku telepon Hendra,” ujarnya seraya memutar telepon di atas mejanya.

Tak lama Susan berbicara dengan Hendra, kemudian berucap,“ Bang Hendra telah mengirimkan mobil untuk abang pakai. Saranku, kalian jangan pergi dulu kerumah orangtua Magda. Lebih baik bicara lewat telepon dulu, tetapi kalian pakai fasilitas telepon umum atau dari toko di pasar,” ujarnya. Dia menyarankan, bila mau keluar agar menyamarkan diri. Tunggu aku dirumah, lanjutnya, nanti aku bawakan kain kerudung untuk Magda dan peci untuk abang. Kurang dari setengah jam, sopir Hendra datang mengantarkan mobil. Susan menyerahkan mobilnya untuk aku dan Magda pakai, sementara Susan memakai mobil kantornya Hendra.

Sekembalinya dari kantor Susan, Magda tak sabaran, segera mengajakku kembali ke kota untuk menghubungi maminya. Dia terus bersikeras meski aku sudah sampaikan pesan Susan agar menyamar seperti perempuan melayu memakai kerudung.
“ Mama nggak punya kerudung. Papa juga ngga punya peci. Ayo lah pap, aku sudah kangen mami dan Thian,” bujuknya. Tak tahan mendengar rengekannya, aku mengiyakannya. Sebelum ke kota, terlebih dahulu mampir di rumah penjaga kebun, menanyakan toko terdekat menjual kain kerudung dan peci. Kami segera menuju ke kota kecamatan agak jauh dari rumah, sebagaimana petunjuk ibu penjaga kebun. Magda membeli dua helai dengan warna berbeda dan satu peci untukku.

Aku dan Magda tertawa geli setelah mengenakan peci dan kain kerudung sepanjang perjalanan hingga kami mampir ke pasar perbatasan kota. Magda memberi sejumlah uang ke panjaga toko, untuk menggunakan teleponnya, kebetulan pemilik toko sedang pulang kerumahnya. Dalam percakapan aku mendengar dia sedang berbicara dengan Rina.
“ Rin, dekatin gagang teleponya ke kuping Thian,” ujarnya, dijawab Rina," Thian sedang tidur."
“ Thian Thidur? Rin, cubit pahanya supaya nangis. Aku kangen suaranya,” kata Magda lagi.
“ Pap, nih Thian sedang nangis,” ujarnya diiringi tawa sembari mendekatkan gagang telepon ke telingaku. Kemudian, Magda melanjutkan percakapannya dengan Rina. Diakhir percakapan, Rina memberitahukan, om Robert membawa mami liburan ke Berastagi selama seminggu karena kesehatannya terganggu.

“ Mami sakit pap,” ujar Magda sendu.
“ Mama mau kita menemui ke Berastagi,?” pancingku.
Ntar papa ribut dengan om Robert.?”
“ Sudah pasti. Dan aku akan gebukin dia kalau macam-macam. Tak peduli om/tulang.”
“ Ah...papa. Om itu juga kan om papa juga. Kita pulang saja pap,” ajaknya.

Tidak lama setelah kami tiba dirumah, Susan datang menyusul membawa kain kerudung dan peci. Susan ketawa melihat peci dan kain kerudung yang baru saja kami kenakan terletak di atas meja di ruang tamu. Dia semakin ngakak ketika diberitahukan, kami membeli di kota kecamatan.

Malam itu Susan menginap di rumah, kebetulan esok harinya tidak punya jadual mengajar. Setelah makan malam, makanan dibelinya dari restoran, Susan menawarkan kami untuk berbulan madu ke Parapat. “ Terlalu lama menunggu kami liburan ke Singapura. Kelamaan, entar madunya keburu hilang,” candanya. Memang, beberapa waktu lalu, sepulang dari Jakarta, Susan pernah menawarkan kepada kami untuk liburan bersama dengan mereka ke Singapura.

“ Aku telah bawa surat bang Hendra untuk kalian serahkan ke penjaga vila itu. Terserah kalian mau berapa lama tinggal disana,” ujar Susan. Magda berteriak kegirangan. Dia bangkit dari tempat duduknya seraya merangkul Susan. “ Terimakasih kak. Tadinya kami sudah ada rencana, tetapi ragu mau berbulan madu kemana. Kami boleh bawa Rina?” tanyanya.

“ Magda! Gimana sih kamu. Berbulan madu kok bawa penumpang lain. Aneh kamu!” ejeknya. Magda terdiam, kemudian dengan sendu berkata,” Rina dan Thian ngak punya teman. Mami dibawa om ke Berastagi. Jontahan selalu nginap di rumah pacarnya, rumah om Riobert.”
“ Terserah bang Tan Zung.” jawab Susan mengalah. Magda melihat ke arahku, tapi dia sungkan bertanya, terlihat dari wajahnya. Aku tahu dia sedang menunggu jawabanku, namun aku diam, membiarkannya mendapat jawaban lewat rona wajahku. ( Bersambung)

Los Angeles. January , 2010
Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Tuesday, January 19, 2010

Telaga Senja (211)

You Decorated My Life
All my life was a paper once plain, pure and white/Till you moved with your pen / changin' moods now and then/Till the balance was right/Then you added some music, ev'ry note was in place/ And anybody could see all the changes in me by the look on my face

And you decorated my life, created a world where dreams area apart/And you decorated my life by paintin' your love all over my heart/You decorated my life

Like a rhyme with no reason in an unfinished song/There was no harmony life meant//nothin' to me, until you cam along/And you brought out the colors, what a gentle surprise/Now I'm able to see all the things life can be shinin' soft in your eyes

And you decorated my life, created a world where dreams are a part/And you decorated my life by paintin' your love all over my heart/You decorated my life
=====================
“ Kami nggak bisa berbuat banyak dalam pernikahan yang telah kalian langsungkan. Amang boru hanya bisa bantu, jika ada keluarga yang masih mengganggu.” ujarnya.
=======================

UPAYAKU sia-sia, bagai menjaring angin, setelah tak satupun dari kedua keluarga yang menyetujui pernikahan kami secara adat. Aku tak ingin berkutat dalam pemikiran melepas jerat sanksi adat yang akan kutanggung. Lupakan adat, gumamku sendiri. Dalam pikiran yang sedang mengembara karena gagal menembus kabut buntu, kuputuskan mampir kerumah kos tanpa memikirkan resiko apapun. Habis takut timbul berani, kurang lebih demikian tekad yang aku miliki malam itu sebelum pulang bertemu dengan Magda yang baru beberapa jam lalu aku nikahi.

Ibu kos terperanjat melihat kedatangaku. “ Zung, Magda dimana? Magda kamu culik iya,” tanyanya mencurigaiku saat aku berdiri di depan pintu.
“ Bukan. Aku telah menikahinya tadi siang. Aku serius bu. Ada seseorang mencariku.?”
“ Ya Zung, segeralah pergi sebelum mereka menangkapmu. Beberapa malam ini ada sejumlah orang keluar masuk di depan kamarmu. Hari pertama mereka menanyakan alamatmu di kampung.”

“ Mereka tidak menyebut identitasnya.?”
“ Hanya menyebut petugas. Memang kamu menculik Magda,?”tanyanya ulang.
“ Tidak. Tadi siang, kami telah menikah di kantor catatan sipil. Ada bagudung ( tikus, pen) lain selain petugas?”
“ Apa itu bagudung? Zung buruan pergi kataku ! Tiga hari ini mereka datang jam-jam seperti ini.” ucapnya gelisah.
“ Persetan dengan mereka bu. Aku mau mengambil barang-barangku,” jawabku tanpa sediktpun rasa takut.

Hingga semua barangku telah aku masukkan ke dalam mobil tak seorangpun yang datang ke rumah kos maupun orang patut di curigai disekitar rumah. Bayangan wajah Magda terus menghiasai pikiran selama dalam perjalanan pulang. Dalam benakku, mengurai bayangnya terbaring gelisah dalam penantian malam. Perpisahan kami yang memakan waktu tiga jam terasa menyiksa, setelah tanganku menengadah hampa dalam harapan. Gelora jiwa mengejar rindu ditengah halilintar beresabung ganas seakan ikut memacu kenderaanku. Ritme jantung kadang sendat kemudian berpacu cepat bagai derap kijang mengejar bibir telaga dikala haus. Sejumlah pita rekaman lagu yang kuputar lewat audio mobil, syairnya tak mampu mengeja dahaga.

Masih di pertengahan jalan menuju rumah, laju kenderaanku terhambat oleh curah hujan. Hujan bagai tertumpah ruah dari langit menyembunyikan wajah rembulan dan bintang. Gempita rindu itu semakin membahana kala menyusuri jalan menembus celah butiran hujan di kegelapan malam. Mobil melaju terseok diatas jalan yang belum teraspal menuju rumah ditengah kebun. Dari kejauhan, setelah beberapa langkah turun dari mobil menembus hujan lebat, aku melihat kamar tanpa secercah cahaya. Mungkin Magda telah tertidur bisikku dalam hati. Namun tak lama, cahaya lampu menerangi kamar. Aku melihat bayangan Magda menilik dari jendela kamar. Sejurus kemudian, Magda berlari menyongsongku menembus hujan ditengah gegap gemuruh jiwa dikelamnya malam.

“ Kenapa kemalaman pap?” tanyanya tak sabaran setelah dia puas menciumiku dijalanan tanpa lampu penerang itu. “ Papa jadi melewati depan rumah,?” tambahnya.
“ Iya. Aku melihat sejumlah mobil dan motor di pekarangan rumah. Lampu ruang tengah terang bederang. Barangkali mereka sedang membicarakan kita, entahlah," jawabku seraya menuntunnya diatas tanah licin itu. Meski kami jalan tertatih diatas jalan berlumpur, Magda tak mampu menahan keseimbangan tubuh. Aku berusaha menahan, tetapi terlambat. Akupun ikut terjungkal dijalanan. Berdua ketawa sambil berusaha bangkit, sementara tubuh kami berbalur lumpur. Mungkin Susan terusik mendengar ketawa lepas kami berdua; dia menyalakan senter mengarah kepada kami, berteriak,” Heh...Zung...Magda ! Pengantin baru berlayar diatas ranjang, kok kalian bernafas dalam lumpur.!?”
***
Susan ikut mendampingi Magda mendengar hasil kunjunganku ke rumah amangtua , bibi dan Shinta. Tampak wajah Magda agak “mendung” setelah aku selesai menuturkan hasil pembicaraan dengan kedua keluarga dekatku. “ Magda nggak usah berkecil hati. Abang Tan Zung telah berusaha. Lebih baik kalian pikirkan rencana ke depan. Jangan habiskan waktu hanya berpikir tentang adat,” nasehatnya. “ Heh....jangan kebahagian kalian tersita khususnya malam ini gara-gara adat kalian itu. Sudah, ayo torehkan sejarah baru malam ini, “ujarnya ketawa seraya mematikan lampu ruangan tengah tempat kami berbincang. (Bersambung)

Laughlin, Nevada. January , 2010


Tan Zung

"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Monday, January 18, 2010

Telaga Senja (210)

KHII:If We Hold On Together
Don’t lose your way/With each passing day/You’ve come so far/Don’t throw it away/Live believing/Dreams are for weaving/Wonders are waiting to start/Live your story/Faith, hope & glory/Hold to the truth in your heart

If we hold on together/I know our dreams will never die/Dreams see us through to forever/Where clouds roll by/For you and i

Souls in the wind/Must learn how to bend/Seek out a star/Hold on to the end/Valley, mountain/There is a fountain/Washes our tears all away/Words are swaying/Somebody is praying/Please let us come home to stay

If we hold on together/I know our dreams will never die/Dreams see us through to forever/Where clouds roll by/For you and i

When we are out there in the dark/Well dream about the sun/In the dark well feel the light/Warm our hearts, everyone

If we hold on together/I know our dreams will never die/Dreams see us through to/forever/As high as souls can fly/The clouds roll by/For you and i
====================
Magda mengantarkanku hingga ke ujung jalan tempat mobil terparkir. Bagai akan berpisah lama, dia mendekapku erat sebelum masuk ke mobil.” Hati-hati di jalan pap. Kembalinya, lewat depan rumah iya pap,” pintanya.
=====================

Perasaanku tak jauh beda dengan Maga. Pada hari pertama pernikahan harus berpisah, meski hanya sejenak demi melengkapi pernikahan secara utuh menurut adat batak. Bayang-bayang wajah kedua orangtuaku dan ibu Magda datang silih berganti selama dalam perjalanan. Namun aku sangat dendam kepada kedua tulang/omku, ayah Shinta dan om Robert. Menurutku kedua inilah yang mengacaukan rencaku dengan Magda mengatasnamakan adat.

Didalam perjalanan timbul sejumlah rencana diantaranya, aku harus segera memberitahukan, bahwa aku telah menikah, kepada kedua orangtuaku lewat surat atau pesan melalui orang yang kebetulan pulang ke kampung. Malam itu terlebih dulu aku mampir ke rumah Shinta memberitahukan ikhwal pernikahanku. Shinta dan suaminya kaget, antar percaya dan tidak. Hal ini desebabkan, karena aku terlalu sering bergurau dengan mereka.

“ Nikah? Nikah dengan kak Magda? Kapan,” cecar Shinta.
“ Tadi siang.”
“ Kak Magda dimana.?”
“ Dirumahku.”
“ Bang...seriuslah. Dimana rumahnya.?”
“ Di kebun. Shinta, aku kesini mau minta tolong. Besok pagi tolong pergi ke stasion bus, beritahukan lewat sopir bus, bahwa aku telah menikah,” ujarku sambil menyebut nama sopir yang kebetulan sekampung dengan ayahku.
“ Memang abang ini aneh-aneh,” ujarnya ke suaminya. “ Selalu buat kejutan dan tak lazim. Dulu pun mementaskan drama natal, membuat orang pada menangis. Sapi nenek sudah dijual karena janji mau menikahi Maya. Tetapi abang malah pergi ke Jakarta. Seandainya, kalau belum dijual, sapinya sudah beranak. Sekarang, menikah dengan itonya ( sepupu. pen), Magda,” pungkasnya. Suaminya hanya tersenyum mendengar ocehan isterinya, Shinta.
***
Sepanjang perjalanan yang memakan waktu kurang lebih satu jam dari rumah Shinta kerumah amangtua, mata tetap was-was lewat kaca spion, khususnya ketika melintasi daerah kota. Amangtua kebetulan ada di rumah. Inangtua, isteri amangtua menyambutku ramah. Aku mengutarakan niat mau bicara dengan amangtua. “ Kamu beruntung, amangtuamu kebetulan ada di rumah. Biasanya dia nongkrong di kedai tuak sepulang dari pasar,” ujarnya. Tak berapa lama kami berbincang di rumah, amangtua mengajakku ke lapo tuak. Sebelum masuk pada inti pembicaraaan, aku “sogok” duluan dengan sejumlah botol bir.

Amangtua kaget setelah kututurkan bahwa aku telah membawa perempuan tanpa sepengetahuan keluarga. Namun dia setuju setelah aku tuturkan alasan-alasan kenapa aku melakukan tindakan kawin lari. “ Nggak apa-apa, bawa ke rumah parmaen itu ( menantu, pen). Nanti aku akan ajak teman semarga kita menghadap hula-hula( pihak keluarga perempuan, pen). Beresnya itu, nggak usah khawatir, tak ada larangan kawin lari dalam adat batak,”tuturnya. Mendapat sambutan positip, minuman pun aku terus kutambahkan sebagai ucapan terimakasih. Tetapi aku menahan diri, hanya minum sedikit, karena tidak ada sopir pengganti. Lagi pula takut ketahuan Magda lantaran licensed ku menenggak alkohol telah dicabutnya.

Menjelang akhir pertemuanku dengan amangtua, entah kenapa ada lagi yang menggeletik hatinya. Lalu, menanyakan siapa keluarga perempuan itu dan kenapa mereka nggak setuju. Memang sepanjang pembicaraan kami, aku segaja mengalihkan pembicaraan setiap amangtua menanyakan siapa keluarga Magda. Dalam pembicaraan selalu aku menekankan, kedua orangtuaku dan orangtua Magda tak menyetujui hubunganku, tanpa meceritakan secara detail kenapa mereka tak menyetujui pernikahanku dengan Magda.

Diakhir penuturanku, tiba-tiba amangtua tersentak. “ Bah..! Jadi ibu parumaen/mantu itu sepupu dengan ibumu? Nenek kalian kakak adik pula,? Ah...kau menjerat aku. Jangan amang.....jangan bawa ke rumah. Digorok pula aku oleh ayahmu.” tegasnya. Aku berusaha meyakinkan dirinya, bahwa secara hukum pernikahan kami telah syah.
“ Aku hanya ingin agar pernikahan dialangsungkan secara adat.” bujukku.
Amangtua akan dikucilkan dari adat jika menyetujuinya.”
“Kenapa putri tulang/om kandung, satu kakek-nenek, bisa dikawini. Kenapa kami tidak, padahal kakek dan nenek yang berbeda?” tanyaku kesal.

“ Manalah aku tahu kenapa? Tanya kau lah sijolojolo tubu ( leluhur orang batak, pen) “ jawabnya. Akupun mengundurkan diri dari lapo dengan perasaan kesal. Percuma juga sudah disogok dengan lima botol bir, kesalku dalam hati. Beberapa menit kemudian, aku sadar, bahwa aku lupa mengantarkannya pulang. Rasain! ucapku lirih.
Gagal dengan amangtua, aku kerumah namboru kandung (bibi, adik permpuan ayah, pen) bersuamikan polisi. Bibiku menyambut dengan senang hati setelah ku membertahukan bahwa aku telah menikahi Magda dengan cara catatan sipill. Aku tak lagi menceritakan siapa Magda sebab dia sudah kenal dan tahu keluarga Magda.

“ Bibi nggak bisa berbuat apa-apa. Bibi adalah boru.( dalam adat batak, posisi boru tak dapat mengambil keputusan, pen). Tetapi bibi setuju dengan apa yang kalian lakukan. Orang sileban ( menunjuk diluar suku batak, pen) juga nggak punya adat serumit adak batak, gabe (beranak pinak) juga nya," ujarnya memberi semangat. Namun, amangboru, suami bibi menegur. " Ma, jangan sampai kedengaran hula-hula itu, " maksudnya ayahku.
" Kami nggak bisa berbuat banyak dalam pernikahan yang telah kalian langsungkan. Amang boru hanya bisa bantu, jika ada keluarga yang masih menggangu." ujarnya. ( Bersambung)

Laughlin, Nevada. January , 2010


Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Telaga Senja (209)

=========================
Juru potert profesional yang sejak tadi menunggu, memintaku dan Magda duduk di kursi yang telah disapkan, kemudian mengatur posisi kami keseluruhan. Jonatahn berdiri dibelakang kami pada posisi tengah, disisi kiri dan kanan, Mawar dan Rina. Susan dan Hendra duduk disamping kami berdua.
==========================

SEUSAI pengabadian dalam bentuk pose bersama, Susan kembali super aktif mempersiapkan makan siang, sekaligus memberangkatkan Hendra ke kantor. Susan masih libur hingga esok lusa. Siang berlangsung meriah dan khidmat. Disudut ruangan Jonathan dan Magda tampak berbicara serius. Aku sengaja tak mau mencampuri pembicaraan mereka. Aku, Mawar dan Rina duduk pada satu meja.

Rina bercerita banyak reaksi keluarga Magda perihal pelarianku dan Magda, berikut dengan skenario penculikan Magda. Mawar menambahkan, bahwa dia telah mendengar laporan amanguda ( pak le/paman ) yang tinggal di Siantar dan om Robert ke pihak kepolisian. Mawar menuturkan, papinya yang bertugas di kantor kepolisian telah mendapat laporan bahwa abang Tan Zung menculik Magdalena. Menurut Mawar, papinya menyarankan agar abang Tan Zung segera mendaftarkan ke catatan sipil untuk menghindari tuduhan penculikan. “ Besok abang pergi ke kantor catatan sipil. Kalian dapat melakukannya tanpa dihadiri keluagra, karena usia telah memungkinkan sesuai dengan undang-undang,” urainya.

Magda dan Jontahan kembali bergabung dengan kami. Aku menuturkan usulan Mawar ke Magda rencana ke catatan sipil, setelah makan siang. Magda menanggapi serius didukung Jonathan, Rina, Susan dan Hendra.
“ Kak Susan minta tolong kami diantarkan ke kantor catatan sipil, sekalian kakak menjadi waliku,” pintanya semangat. Susan menyanggupi dan akan ditemani adik iparnya, Ron. Hendra segera nimbrung mendengar percakapan kami.“ Telepon aku kekantor setelah kalian sudah disana. Abang mau jadi saksi,” tukasnya.
***
Setelah makan siang, kami berangkat tanpa Jonathan, Mawar dan Rina. Aku tersentak ketika pihak petugas tidak bersedia melayani karena aku bukan warga Medan. “ Saudara bukan warga kota madya Medan,” ujar petugas ketika melihat kartu tnada penduduk Jakarta. Lumayan alot menghadapi petugas meski telah dijelaskan bahwa aku sedang mengurus pergantian tanda penduduk. Bahkan Susan telah memeberi jaminan dengan memberikan tanda pengenal sebagai dosen di perguruan tinggi. “ Saya siap memberi jaminan apapun yang bapak butuhkan,” ucapnya kepada petugas, namun petugas tetap menolak. Magda tampak seperti putus asa setelah upaya Susan tak berhasil.

Ditengah perasaan kesal dan hampir putus asa, Susan memberitahukan Hendra lewat telepon. Hendra tiba hanya dalam waktu sepuluh menit. Kantor Hendra yang tidak terlalu jauh dari kantor catatan spil. Dia langsung menemui kepala kantor. Kurang dari setengah jam , dia keluar dengan wajah cerah. Aman, pikirku. Petugas pencatat mempersiapkan seluruh acara dengan sigap setelah menghadap atasannya. Seluruh prosesi acara berlangsung dengan lancar. Seberkas surat, kini ada dalam peganganku. Aku dan Magda secara hukum resmi sebagai suami isteri.

Susan mengajak kami kembali ke kebun tanpa Jonathan, Rina dan Mawar, kecuali pembantu. Sejak urusan kami selesai di kantor catatan sipil hingga menjelang di kebun, Susan super excited. Dia memarkirkan mobil di pinggir sungai yang mengalir bening, dekat rumahnya. Dia menarik kami secara paksa masuk kesungai. Sebelumnya Susan telah mempreteli isi kantongku dan meletakkan di dalam mobil. Bertiga masuk kesungai ditonton sejumlah pasangan mata dipinggairan sungai. Susan dan Magda mengerubutiku, perlawanan tak seimbang. Magda dan Susan menghentikan aksinya setelah melihatku hampir kehabisan nafas menahan “siksaan” dengan cara membenamkan ke dalam sungai yang agak dalam. Susan meningalkan kami setelah Magda memberiku bantuan "pernafasan” mouth by mouth, hanya sebentar. Sementara kami duduk dipinggiran suangai, Susan menyuruh pembantu ke rumah untuk mengambil handuk untuk pelindung tubuh Susan dan Magda yang basah kuyup.
***
Senja menjelang malam, dengan perasaan berat Magda melepaskan keberangkatanku seperti telah diutarakan kemarin dulu, aku akan menemui keluarga amangtua, kakak ayah. Ayah mereka kaka adik, tinggal di Binjei. “ Abang perlu ditemani si Ron? “ tanya Susan seraya menyerahkan kunci mobil. “ Pap....jangan mampir dimana-mana,” sela Magda.
“ Iya nggak lah. Maya kan sudah punya suami.”
“ Bang, nggak lucu,” ketus Susan disambut tawa Magda. Magda mengantarkanku hingga ke ujung jalan tempat mobil terparkir. Bagai akan berpisah lama, dia mendekapku erat sebelum masuk ke mobil." Hati-hati di jalan pap. Kembalinya, lewat depan rumah iya pap," pintanya. (Bersambung)

Laughlin, Nevada. January , 2010

Tan Zung

"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Saturday, January 16, 2010

Telaga Senja (208)

Sarah Mclachlan "I Love You
I have a smile /Stretched from ear to ear /To see you walking down the road /We meet at the lights /I stare for a while /The world around us disappears

And it's just you and me /On my island of hope /A breath between us could be miles /Let me surround you /My sea to your shore /Let me be the calm you seek

Oh but every time I'm close to you /There's too much I can't say /And you just walk away /And I forgot to tell you I love you /And the night's too long /And cold here without you /I grieve in my condition /For I cannot find the words to say I need you so

Oh and every time I'm close to you /There's too much I can't say /And you just walk away /And I forgot to tell you I love you /And the night's too long /And cold here without you /I grieve in my condition /For I cannot find the words to say I need you so bad /I need you so bad
==================
Untuk beberapa saat, Magda masih kelihatan nervous. “ Papa.. lebih baik kita segera pindah ke Jakarta. Mama nggak merasa aman jika masih di Medan. Aku setuju rencana papa tadi. Besok kita minta tolong kak Susan mengurus ijin cutiku.”
===================

SEPARUH MALAM aku dan Magda tak dapat memejamkan mata diruang yang tak begitu luas itu. Malam itu aku mengajukan beberapa rencana alternatif menghindari jerat hukum dari pihak keluarga Magdalena dengan tuduhan penculikan. Aku harus segera melaporkan kepada keluargaku terdekat, bahwa aku telah membawa seorang perempuan tanpa sepengetahuan orangtuanya.

Magda heran setelah aku tuturkan rencana ini secara detail. “ Papa yakin kalau jalan yang papa tempuh dapat diterima oleh keluarga papa,?” tanyanya.
“ Aku akan berusaha meyakinkan mereka. Papa pernah menemani seorang sahabat membawa kabur pacarnya, karena tak ada kecocokan kedua belah pihak. Bedanya, dia membawa ke rumah seorang penetua gereja. Sementara kita dibawa kabur ke kebun,” tawaku mengurangi stressnya Magda. “ Tetapi kita kan sudah melakukan proses pernikahan di gereja, bareng dengan Maya,” balasnya diiringi tawa renyah.

Tingkat ketakutan Magda mencapai puncak ketika kami di jemput dan dikawal oleh sejumlah oknum aparat. Siang itu seseorang mengetuk pintu. Magda kaget, hampir berteriak melihat yang datang bukan Hendra. Segera orang itu memperkenalkan dirinya ketika melihat Magda ketakutan. “ Aku adiknya Hendra, baru kembali dari luar kota. Abang Hendra memintaku menjemput mbak dan mas,” ujarnya. Didalam kendreraan yang kami tumpangi, adik Hendra berkata, “ Kakak dan abang nggak usah khawatir, kami sudah siapkan pengamanan secukupnya. Tetapi untuk beberapa hati ini jangan keluar rumah dulu, sampai situasi aman. Mas atau mbak ada memakai telepon dari rumah teman abang Hendra dalam beberapa hari ini.?”
“ Ya, pak. Aku telepon ke rumah om, mau bicara dengan adikku,” jawab Magda.
“ Itu sebabnya mereka tahu dimana posisi kalian. Mereka caritahu melalui kantor telkom. Mbak, jangan panggil bapak, aku masih single, panggil saja Ron,” ujarnya mengakhiri percakapan.

Tiba dirumah, Susan menyongsong dan memeluk Magda setelah turun dari mobil.
“ Magda,kalian tinggal di rumah kakak saja. Abang Hendra dan Ron sudah minta tolong kepada teman-temanya untuk mengawasi rumah ini. Kenapa wajahmu ketakutan seperti itu,?” tanya Susan seraya menuntunnya masuk ke dalam rumah. Aku dan Magda merasa surprise ketika masuh kedalam rumah. Suasana rumah berubah, tidak seperti beberapa hari lalu ketika kami tinggalkan. Sepasang kursi terhias rapi, berlatar dinding warna-warni benuansa sejuk. Susan mengajakku dan Magda ke kamar yang telah dipersiapkan untuk kami. Ruangan itu juga telah “disulap” sedemikan rupa berikut lampu warna warni dengan suasana romantis. Dua pasang pakaian tergeletak diatas tempat tidur; Sepasang jas dan kebaya modern. “ Zung..Magda, kalian ganti pakaian. Sebelum kita makan siang, kalian akan diabadikan.”

Aku dan Magda hanya menurut apa pesan Susan yang kami anggap perlakuan tulus. Kami hanya geleng-geleng kepala sebagai reaksi membalas kebaikan hati Susan dan Hendra, setelah Susan keluar dari kamar. Belum lagi rasa haru berakhir, bagai dalam mimpi, aku dan Magda tertegun saat keluar dari kamar melihat kehadiran Jonathan, Mawar, Rina dan Thian ada di ruangan tengah. Magda mengejar adiknya Jonathan dengan teriakan...Jon...! Kemudian mereka pelukan sepertinya tak bertemu tahunan.

Siang itu sikapku berubah terhadap Jon, tidak seperti biasanya menganggap sebagai adik karena dibawah usiaku. Bagi kami kehadirannya membawa hawa sejuk mewakili keluarganya. Seusai pelukan dengan Jon, aku dan Magda bergegas menemui Thian dalam gendongan Rina. Magda tak membiarkanku terlebih dulu mencium Thian. Magda “merampas” Thian dari gendongan Rina. “ Thian...ini mamatua...! Bangun sayang...Thian bangun...” suaranya sendu dalam rindu. " Nih, pap mau cium Thian?" tawarnya, seraya mendekatkan Thian ke arahku.
***
Mawar mengambil alih acara pengabadian kami berdua. Kelihatan Susan kelelahan menangani acara siang itu. Ditengahnya riuhnya pagi itu, Susan hanya terduduk di sofa, entah apa yang yang dipikirkannya. Aku berbisik ke Magda untuk menemuinya, Magda setuju. “ Kak, kenapa diam? “ tanya Magda.

“ Kakak nggak apa-apa. Aku terharu, sejauh ini semuanya bejalan lancar,” jawabnya seraya membalas pelukan Magda. Tawaku dan Magda meledak ketika Susan menuturkan cara dia "memprovokasi" Jonathan, Rina dan Thian serta Mawar yang bolos dari pekerjaannya, berkenan hadir dalam acara makan siang dan pemotretan.

Juru potret profesional yang sejak tadi menunggu, memintaku dan Magda duduk di kursi yang telah disapkan, kemudian mengatur posisi kami keseluruhan. Jonatahn berdiri persis dibelakang kami pada posisi tengah, Mawar disisi kiri dan Thian dalam gendongan Rina disebelah kanan. Susan dan Hendra duduk mendampingi kami berdua. (Bersambung)

Fresno, January 2010

Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Thursday, January 14, 2010

Telaga Senja (207)



Celine Dion I Surrender:
There's so much life I've left to live/And this fire is burning still/When I watch you look at me/I think I could find the will/To stand for every dream/And forsake this solid ground/And give up this fear within/Of what would happen if they ever knew/I'm in love with you

'Cause I'd surrender everything/To feel the chance to live again/I reach to you /I know you can feel it too/We'd make it through/A thousand dreams I still believe /I'd make you give them all to me/I'd hold you in my arms and never let go/I surrender

I know I can't survive/Another night away from you/You're the reason I go on/And now I need to live the truth/Right now, there's no better time/From this fear I will break free/And I'll live again with love/And no they can't take that away from me/And they will see...

I'd surrender everything/To feel the chance to live again/I reach to you/I know you can feel it too/We'd make it through/A thousand dreams I still believe/I'd make you give them all to me/I'd hold you in my arms and never let go/I surrender

Every night's getting longer/And this fire is getting stronger, baby/I'll swallow my pride and I'll be alive/Can't you hear my call/I surrender all

I'd surrender everything/To feel the chance to live again/I reach to you/I know you can feel it too/We'll make it through/A thousand dreams I still believe/I'll make you give them all to me/I'll hold you in my arms/and never let go/I surrender

Right here, right now/I give my life to live again/I'll break free, take me/My everything, I surrender all to you /Right now/I give my life to live again/I'll break free, take me/My everything, I surrender all to you
=======================
Keluar dari kamar mandi, Magda membawa handuk kecil yang telah dibasahi. Di hadapan Susan mengusapkannya ke wajahku. “ Papa, pura-pura malu,” ujarnya disambut tawa cekikkan Susan. “ Tuan dan nyonya duduk disana, kakak duduk disini,” aturnya sebelum menikmati makan.
=======================

Disela-sela pembicaraan ringan, saat makan siang, Susan memberitahukan bahwa acara penutupan tahun, akan bersama dengannya dan Hendra. Aku telah pesan tiket untuk kita berempat,”ujarnya seraya menyebut hotel yang cukup mewah kala itu. Aku dan Magda saling pandang. Mulutku berat menolak, meski aku dan Magda sudah punya rencana, berdua menyepi dalam keheningan malam, bertelut mengaku dosa sekaligus pasrah padaNya perihal semua rencana kami ke depan.

“ Bang...nggak aci pakai alasan. Harus mau,” tegasnya, mungkin setelah dilihatnya mulutku mau mengucapkan sesuatu.
“ Iyalah kak. Tadinya, kami mau menyambut tahun baru di rumah ini, berdua,” jawab Magda.
“ Masih ada hari lain dik,” balasnya.
Setelah makan siang bersama dengan “pahlawan” kami, Susan, pamit mau menjemput Hendra ke airport.
“ Boleh Magda temanin aku bang,?”
“ Terserah Magda, kalau tega,” balasku. Aku tahu Susan hanya bergurau.
“ Ngomong yang jelas, Jangan bahasa bersayap,!” tawanya. “ Kakak cuma bercanda. Aku ngerti lah. Pembantu aku bawa, agar kalian bebas jungkir balik,” lanjutnya.
“ Iya lah kak. Kami mau jungkir balik di sungai. Disini lantainya terlalu keras,” balasku.
“ Eh...jangan ke sungai. Semalam hujan deras,” ingatnya.
***
Susan dan suaminya, Hendra, datang menjelang senja. Magda menyambut Hendra bagai seorang kakak kandung. Hendra memegang wajah Magda dengan kedua tanganya seraya menepuk,” Magda, tercapai juga cita-citamu. Berhentilah mencurigai si abang,” tawanya seraya melirikku disambut pelukan Magda. “ Ya, bang,” jawabanya lirih.
“ Kakakmu Susan telah bercerita banyak tentang kalian. Aku tahu keluaga Magda tidak akan tinggal diam. Sedikit banyak tahulah abang tentang adat batak. Cepat atau lambat, posisi kalian akan mereka ketahui, sebab Mawar, Rina dan Jonathan tahu, kak Susan membawa kalian kabur. Besok lusa, hingga situasi agak reda, kalian akan abang pindahkan ke rumah sahabat dekatku di kantor. Kebetulan keluarga ini sedang liburan keluar negeri selama dua minggu. Rumah itu hanya ditinggali dua orang pembantu. Kalian boleh memakai mobilnya kemana pun mau pergi. Tetapi hati-hati jangan sampai ketahuan dengan keluarga Magda.”
***
Malam tutup buka tahun berlangsung dengan meriah, namun aku tidak menikmati penuh.Demikian halnya dengan Magda. Tepat pukul 00:00, Magda tak kuasa menahan isaknya ditengah riuh rendahnya bunyi terompet dan tabuhan drum serta alat musik lainnya. Dia mendekapku erat diiringi tangis sesugukan memanggil maminya, “ Mami..maafkan Magda..” isaknya di atas dadaku.
“ Kita pulang mam?”
“ Jangan pap. Nanti nggak enak dengan kak Susan dan Hendra. Kita pulang bareng dengan mereka,” jawabnya masih sesugukan.
" Mama menyesal?"
“ Nggak pap. Mama sedikitpun tidak menyesal. Mama bahagia...pap...” ujarnya seraya mengecupku dengan bibir gemetar. “ Papa, jangan salah sangka. Malam ini mama sangat bahagia. Kali pertama mama bersama dengan papa menyambut tahun baru, dan kali pertama juah dari mami dan adik Jontahan. Aku kangen mereka pap...?” isaknya.
“ Nggak lama lagi kita akan ketemu dengan mereka, setelah orang tuaku akan menemui keluargamu.”
“ Kemarin malam papa bilang, itu mustahil. Karena adat tidak memungkinkannya.”
“ Aku akan coba. Bila hal itu gagal, kita pindah ke Jakarta. Mungkin pikiran mereka berobah setelah kita punya anak.”

“ Bagaimana dengan pekerjaanku pap.?”
“ Kita didkusikan dengan Susan. Mungkin dia bisa membantu lewat atasanmu, sahabat Susan, bagaimana caranya agar Magda dapat cuti diluar tanggungan negara.”
“ Mama belum setahun jadi pegawai. Nggak mungkin itu pap.”
“ Apa yang nggak mungkin di negari ini,”ujarku, lalu mengajak Magda kembali ketempat duduk.

Susan Hendra menikmati malam hingga larut dengan sejumlah minuman. Sebelumnya, Magda telah melarangku secara keras untuk minum alkohol meski hanya sedikit. “ Papa sudah janji, tidak akan menyentuh sedikitpun alkohol kalau sudah bersama mama. Pilih salah satu, alkohol atau mama?” ancamnya ketika tiba di bar hotel.
" Pilih keduanya mam."
" Pilihan hanya satu. Papa jangan serakah," ucapnya serius.
***
Pagi hari, kami pindahan ke rumah sahabat Hendra di kawasan perumahan badan usaha negara, ukurannya lumayan luas. Namun, baru tiga hari berdiam disana, agaknya keberadaan kami sudah tercium oleh keluarga Magda. Sejumlah kenderaan dan orang bergantian lalulalang di sekitar komplek. Pembantu yang sudah lima tahun tinggal di kawasan itu, tidak mengenal satupun diantara mereka. Seharian aku dan Magda tak berani keluar rumah. “ Jangan keluar, sebelum aku tiba,” pesan Hendra saat aku melaporkan situasi di ligkungan perumahan.

Menjelang malam, Hendra tiba diikuti dua mobil dinas, satu diantaranya berplat polisi. Hendra menjemputku dan Magda dari rumah, sementara mobil polisi siaga menunggu di seberang jalan. Mobil polisi berpenumpang tiga orang itu mengikuti kami dari belakang hingga tiba di suatu tempat yang tidak kami kenal sebelumnya. Perjalanan menuju rumah itu, menurut perkiraanku sekitar dua puluh menit ke arah timur pusat kota.

“ Zung, malam ini kalian nginap disini. Besok abang jemput,” ujar Hendra sebelum meninggalkan kami di satu ruangan, mirip barak. Di dalam ruangan itu berisi rangsel. Di dinding tergantung foto seseorang anak muda mirip wajah Hendra, sedang mengikuti latihan ala militer di atas seutas tali menyeberangi sungai. Untuk beberapa saat, Magda masih kelihatan nervous.
“ Papa.. lebih baik kita segera pindah ke Jakarta. Mama nggak merasa aman jika masih di Medan. Aku setuju rencana papa tadi. Besok kita minta tolong kak Susan mengurus ijin cutiku.” (Bersambung)

Los Angeles, January 2010


Tan Zung

"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/