Saturday, November 14, 2009

Telaga Senja (162)






http://www.youtube.com/watch?v=SZGUloq93SA


========================
Buru-buru aku menelannya. “ Papa jangan! Papa mau bunuh diri?” cegahnya.
“ Nyerinya luar biasa mam . Aku tak tahan lagi,” rintihku. Dia mengajakku malam itu kerumah sakit, tetapi aku menolak. Tidak lama berselang setelah menelan obat yang kedua, aku terkapar diatas tempat tidur.
=========================

Bangun pagi, kaget setelah menyadari aku berada di ruang rawat, rumah sakit . Magda, Lam Hot duduk di sisi ranjang. Kelopak mata Magda agak bengkak sementara wajah Lam Hot tampak kuyu.
“ Kenapa aku ada disini?” tanyaku. Magda mendekat kewajahku, berujar: ” Papa makan obat over dosis.”
“ Daripada tersiksa terus, lebih baik dioperasi saja bang,” usul Lam Hot.
“ Pap, tadi malam, aku terpaksa minta tolong Lam Hot membawa papa kesini setelah melihat wajah papa biru dan badan kejang. Memang berapa obat yang papa makan ?”

“ Nggak ingat. Tadinya mau makan satu. Tetapi tiba-tiba mama teriak, tanpa sengaja papa makan semua obat yang ada ditangan.”
“ Makan obat seperti makan kacang. Untung abang masih dapat diselamatkan,” celutuk Lam Hot. “ Makan jengkol pun jika over dosis bisa semaput,” imbuhnya cengengesan.

Magda menyuruh Lam Hot pulang istrahat . “ Hot pulang duluan, kamu terlalu capek. Jangan lupa jemput mama tua dari rumah tulang. Apa kakak perlu telepon Lam Hot, entar ketiduran ? Bilangin mama tua, kakak dan abang pulang besok, penerbangan terakhir.”
“ Kita pulang besok? Kenapa buru-buru.?”
“ Mama pusing dan capek urusin papa disini.”
“ Nggak jadi naik kapal laut?” tanya Lam Hot.
‘ Kapal laut? Memang siapa yang bilang pulang naik kapal laut?”
“ Papa yang bilang,” sahutku.

“ Kenapa nggak bilang ke mama? Hot, batalkan itu. Besok, dari airport, kakak akan bawa abang langsung ke rumah pak Ginting.”
“ Barang-barangku belum di kepak. Juga, belum bicara dengan ibu kost. Kita pulang minggu depan iya mam?” bujukku.
“ Nanti siang kita bicara dengan ibu itu. Nanti, mama dan Lam Hot akan mengepak barang-barang papa.”
“ Bagaimana ibu? Ikut pulang?” tanya Lam Hot
“ Nggak usah. Biarkan mamatua puas dulu dengan Lam Hot. Terserah mamatua pulang kapan. Nanti kakak belikan tiketnya open date.”

Sepeninggal Lam Hot, Magda semakin”ganas” ketika aku membujuk menunda pulang untuk beberapa hari lagi. “ Mam, aku masih lemah. Kita pulang minggu depan iya?” bujukku.
“ Tidak! Papa mau kesal, mau marah, terserah. Kali ini papa turut apa kata mama. Besok kita pulang!” tegasnya.
“ Papa belum sempat kekantor mohon diri dengan rekan sekerjaku."
“ Besok kita kesana. Apalagi alasannya? Belum ketemu dengan Laura. Iya... pap? Sebentar lagi mama akan telepon dia. Ada lagi dalihnya,?” tanyanya, lalu mencium keningku.
Iya terserah lah. “ jawabku pasrah. Meski hati berontak, aku terpaksa menurut. Selama ini, memang, Magda masih bersedia mengulur waktu, pulang ke Medan. Selain itu, Magda terus memberikan perhatian penuh atas kesehatanku. Kali ini aku harus mengalah.

“ Papa kesal?”
“ Ya, iya lah. Rencana kok begitu mendadak. Di Medan, aku tinggal dimana?”
“ Papa nggak mau tinggal sementara di rumah mami? Sebentar lagi kan jadi mertua,?" guraunya. " Kalau papa nggak mau, sementara tinggal di rumah pak Ginting,” imbuhnya.
“ Kenapa sih harus dipaksakan besok?”
“ Mama nggak tega melihat penderitaan papa. Tadi malam semua pada kuatir melihat kondisi kesehatan papa. Ibu kost juga sampai menangis. Lam Hot teman papa selalu tengkar itu pun tak mampu menahan rasa sedihnya. “
Lho, waktu itu mama dimana?”
Papaaaa... Nggak lihat mataku bengkak seperti ini. Papa, toleh ke sini!” entaknya kesal sambil memiringkan wajahku menghadap wajahnya. “ Tahu nggak papa, mama...?
“Tahu mengenai apa..?” potongku.
“ Papa diam dulu! Dengar dulu mama ngomong sampai selesai !”

“ Ya...ya... Awak sakit pun di bentak-bentak,” ujarku seakan membatin. Magda menyambut keluhanku dengan menjeng.
Papaaaa sayang, aku tidak membentak. Maka itu, jangan langsung dipotong sebelum mama selesai bicara. Dengarkan pap. Ketika wajah papa biru dan badan kejang-kejang, mama berteriak memanggil ibu kost. Mama kebingungan tidak tahu berbuat apa. Mama kira, malam tadi, akhir pertemuanku dengan papa setelah memanggil-manggil papa namun tetap diam, bibir papa gemetar, keringat mengucur terus di wajah papa. Mama pun terduduk lemas di sisi ranjang papa. Untung ibu kost mendengar teriakanku sebelumnya. Ibu itu memberiku air. Seandainya papa pergi untuk selamanya, entahlah mama dijulukin apa. Janda bukan !?”
“Kenapa sih pikiranmu sejauh itu. Seperti orang yang sudah pernah mengalami kematian suami.”

“ Ya. Sudah kan pap?” jawabnya manja.
“ Kapan? Jadi mama sudah pernah menjanda?”
“ Papa...papa. Bukankah papa, dulu, telah menceraikan mama. Bahkan mama merasa papa telah tiada. Tanda kematian telah mama pancangkan di atas “pusara” setelah papa dentangkan lonceng kematian itu. Disana , diatas tanda itu, mama tuliskan:" Manusia ini telah meninggal bersama dengan keangkuhannya."
“ Sadis amat sih Magda?"

" Mana lebih sadis dengan "pembunuh"? Tetapi, pembunuh itu telah hidup kembali kok, meski dalam penderitaan," ujarnya diiringi tawa seraya membenamkan wajahnya diatas dadaku.
".....dan manusia angkuh itu pun kini bersama dengan seorang" janda" yang baik hati," balasku.
" Bukan pap. Mestinya, duda itu pun kini kembali dengan "jandanya"
"Oalah..jadi kita berdua sudah pernah “ janda” dan “duda?”
“Ya. Tetapi mama baru sekali menjanda. Papa entah sudah kali keberapa menjadi duda.”
“ Papa termasuk yang baik hati dong. Mau menikahi seorang janda”
Kan dengan jandanya papa juga ?” (Bersambung)

Los Angeles. November 2009

Tan Zung
"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/