Tuesday, August 18, 2009

Telaga Senja (103)


Celine Dion & Il Divo I Believe In You
Lonely the path you have chosen/A restless road no turning back/ One day you will/ find you light again/Don't you know/Don't let go the chance

English chorus:
Follow your heart/Let your love lead through the darkness/Back to a place you once knew/I believe, i believe,i believe in you/Follow your dreams/Be yourself an angel of kindness/There's nothing that you cannot do/I believe,i believe,i believe in you

Tout seul tu t'en iras tout seul/Couer ouvert à l'univèrs/Poursuis ta quête/Sans regarder derrière/N'attends pas/Que le jour se léve/Suis ton etòile/Va jusqu'oì ton revê t`emporte/Un jour tu le toucheras/Si tu crois,si tu crois,si tu crois en toi/Suis ta lumière/N'étint pas la flamme que tu portes/Au fond de toi souviens toi/Que je crois,que je crois,que je crois en toi

Someday i'll find you/Someday you'll find me too/And when i hold you close/I know that it's true
Repeat english chorus

========================
Dia tetap tidak mau menjawab, menolehpun tidak selain isak tangis. Baiklah, kalau berpalingpun tak rela, jika tidak keberatan bolehkah aku meminta kali terakhir? Tolong dibakar semua foto-foto kita selama di Yogya.! Selamat tinggal...Laura!”
========================

AKU menyeka airmata sebelum meninggalkan Laura yang masih menangis histeris. Tak sepatah katapun Laura ungkapkan saat aku di dalam kamar dan keluar kecuali isak tangis memilukan, bagaikan kematian seorang sahabat. Tidak berapa jauh setelah keluar dari kamar, kaki terasa berat melanjutkan langkah. Aku putuskan kembali ke kamar Laura. Ibu kost menyongsongku kedepan rumah setelah dia melihatku akan berbalik ke kamar Laura;” Mas, kok tega banget meninggalkannya masih menjerit seperti itu,” protesnya.

Aku masuk ke kamar lantas duduk di ujung tempat tidur Laura yang masih meringkuk dalam siksa. Untuk beberapa saat membiarkan tangisannya mengisi ruangan yang kini didiami sepasang insan yang terlibat dalam “perseteruan”batin bernuansa asmara. Irama tangisnya menyesakkan dan mengiris jiwa dalam sejuta penyesalan. Dalam sesaknya sukma, aku berusaha menenangkan diri, menukil kejadian tadi malam, tanpa aku sadari telah menorehkan luka dalam sanubarinya.

Keputusan mendadak keluar dari pekerjaan dan pulang ke Medan adalah keputusan yang sangat emosional. Dari sudut tempat tidurnya, aku membujuk Laura agar menghentikan tangisnya. “ Laura duduklah, lebih baik kita bicara baik-baik sebelum aku berangkat ke kantor. Sudah waktunya berangkat ke kantor, nggak enak ditegur karena terlambat. Laura mau ngantor?” tanyaku lembut.
“ Laura hanya menggelengkan kepala dari balik bantal yang menutupi wajahnya.”
“ Kamu masih sakit.?”
“ Nggak! Aku mau pulang ke Yogya,” jawabnya pelan, sesaat kemudian membekap mulutnya dengan bantal menutup isak tangisnya. Setelah tangisnya mereda, ku menyentuh ujung kakinya, berujar: “ Laura, aku sudah batalkan mengundurkan diri dari kantor kita. Aku nggak jadi pulang ke Medan.”

Pelan tapi pasti, isak tangisnya berhenti setelah mendengar ucapanku, tetapi wajahnya masih tertutup bantal. Aku merasakan kelopak yang hampir luruh sebelum waktunya, kini mekar. Kesempatan ini aku manfaatkan menyiramnya dengan sendaugurau sebagaimana sering ku lakukan kepada Magda. Hanya saja, kalau tangis Magda telah “berseri” seperti tangis Laura pagi ini, membujuknyapun awak harus jungkir balik dan berseri pula. Meski masih dalam suasana “tegang” jurus-jurus penawar luka,sendagurau, satu-satunya menjadi pilihan.

“Laura duduklah ! Kok bantalnya basah, airmatanya bercampur darah?” pancingku. Laura kaget, dia langsung mengangkat bantal dari wajahnya, lalu memeriksa seputar bantal. Dia periksa ulang sambil membalik-balikan bantal namun tak menemukan walau sebercak darah. Laura geram, dia melemparkan bantal ke wajahku setelah dia melihatku tertawa pelan. “ Tangis dan tawa adalah ciri orang yang sedang kasmaran,” ujarku sambil mengembalikan bantal ke pangkuannya setelah dia duduk menghadapku.

“Sudah bolehkah kita bicara? Tetapi janji nggak pakai marah dan tangis.!” syaratku. Laura belum mau menanggapiku. Dia hanya duduk menatapku, tajam bagai sembilu. Bagiku, tatapan matanya berkata banyak. Laura menghindari telapak tanganku ketika hendak menghapus sisa airmata di wajahnya.
“ Oh....Maaf, tanganku terlalu lancang. Memang tangan ini nggak tahu diri,” ujarku sambil mengusapkan ke bed cover. Laura mungkin menyadari “kekeliruannya”, dia kembali melemparkan bantal kearahku. “ Hmmm... ternyata selain diriku, bantal juga ikut jadi korban, “ gumamku. “ Permisi mbak, aku mau berangkat kerja,” ujarku lagi sambil beranjak dari tempat tidur.

Tiba-tiba Laura bangkit dari duduknya, turun dari tempat tidur dan segera menutup pintu kamarnya.” Tunggu! nggak boleh keluar.” ujarnya dengan mimik serius.
“ Lalu ngapain aku disini? Hanya menatap patung bernafas? bisanya hanya menangis dan menangis,?” protesku.
“ Tidak! Laura bukan patung. Bukan juga robot!. Aku manusia yang punya hati, perasaan dan harga diri !” balasnya sengit. Aku terdiam atas hentakannya pas menghujam jantungku. Aku mengaminkan tohokannya, dan berjanji dalam hati tak perlu lagi membela diri. Duduk seperti orang terdakwa, siap mendengar cecaran pertanyaan Laura perihal kejadian malam sebelumnya, ketika aku meninggalkannya di mini bar casino dan menemukanku dikamar , berdua dengan Sonya.

“ Apa sih yang salah mas, hingga tega amat meninggalkanku duduk sendirian di bar seperti perempuan jalang.? “
“Aku mengaku salah. Laura bukan perempuan nakal, kau sungguh baik...tetapi...”
“ Tetapi..kenapa...hah..!?
" Sudahlah Laura, Maafkan aku.!"
" Aku nggak butuh permohonan maaf. Aku perlu penjelasan, nggak sekedar minta maaf. Aku juga perlu koreksi diri bila memang aku salah.”
“ Jujur, aku tak senang mendengar nama Gunawan kamu sebut-sebut. Laura menuding aku cemburu? iya, mungkin. Aku juga tak suka mendengar kalimatmu,” kita tidak akan saling memiliki...” walau itu hal yang sebenarnya.”

“ Mas sendiri yang menyebut-nyebut nama Gunawan, sengaja menyindirku.”
“ Aku tidak menyindir, faktanya Laura dan Gunawan saling menaruh hati. Kamu jatuh sakit, Gunawan mengantarkan dan menjagaimu di rumahsakit.”
“ Kemarin aku sudah jelaskan kenapa Gunawan mengantarkan aku ke rumahsakit. Tante yang menghubunginya karena tak seorangpun yang dapat membawaku ke rumahsakit. Mas sendiri seperti orang penting, nggak boleh diganggu.”
“ Setelah kamu diantar, dia menjagaimu bukan.!?”

“ Mas...! Gunawan tidak sedetikpun tinggal bersamaku selama aku dirawat. Mana mungkin dia menjagaiku sementara maminya sedang koma di lain rumahsakit,!? Emang mas cemburuannya keterlaluan," hentaknya.
Aku menatap wajahnya setelah dia puas menumpahkan amarahnya.
" Sekarang mas boleh minta maaf, walau kita tidak saling memiliki,” ejeknya, sesungging senyuman menyertainya.

“ Cemburumu juga keterlaluan, padahal kita tidak akan saling memiliki,”ujarku membalas ejekannya, ku hadiahi juga dia dengan senyuman.
“ Aku nggak cemburu, sebel ! marah iya. Masya mas samakan aku dengan perempuan malam, sesukanya bawa dan meninggalkan seperti barang rongsokan. Aku kan punya harga diri mas.!“
“ Kamu nggak cemburuan ? Bila Laura memang tidak cemburu, mengapa kabur saat melihatku dengan Sonya berdua di kamar? Dan, siapa yang kamu tangisi semalaman.?”

“ Diriku sendiri,” jawabnya singkat sambil keluar kamar, kemudian dia mengangkat telepon.
“ Om, aku dan mas Tan Zung, hari ini nggak ngantor. Kami mau kerumah sakit. Iya...ya...berdua..! Terimakasih om.!”
“ Lho, siapa yang mau kerumah sakit.?”
“ Aku dan mas !”
“ Kenapa?”
“ Berdua, sama-sama sakit jiwa.” jawabnya enteng. ( Bersambung)

Los Angeles, August 2009


Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/