Thursday, January 21, 2010

Telaga Senja (213)

Tracy Chapman: The Promise
If you wait for me /Then I'll come for yo/Although I've traveled far/I always hold a place for you in my heart/If you think of me/If you miss me once in awhile/Then I'll return to you/I'll return and fill that space in your heart

Remembering/Your touch/Your kiss/Your warm embrace/I'll find my way back to you/If you'll be waiting/If you dream of me /Like I dream of youIn a place that's warm and dark/ In a place where I can feel the beating of your heart

Remembering/Your touch/Your kiss/Your warm embrace/I'll find my way back to you/If you'll be waiting/I've longed for you /And I have desired/To see your face your smile/ To be with you wherever you are

Remembering/Your touch/Your kiss/Your warm embrace/I'll find my way back to you/Please say you'll be waiting /Together again/It would feel so good to be/In your arms /Where all my journeys end/If you can make a promise /If it's one that you can keep/I vow to come for you/If you wait for me
And say you'll hold/ A place for me /In your heart/A place for me /In your heart

===========================
” Rina dan Thian ngak punya teman. Mami dibawa om ke Berastagi. Jontahan selalu nginap di rumah pacarnya, rumah om Riobert.”
“ Terserah bang Tan Zung.” jawab Susan mengalah. Magda melihat ke arahku, tapi dia sungkan bertanya, terlihat dari wajahnya. Aku tahu dia sedang menunggu jawabanku, namun aku diam, membiarkannya mendapat jawaban lewat rona wajahku.

===========================

SEJENAK kemudian Magda langsung merangkulku meski belum memberi jawaban verbal. Dia tahu pasti aku tak keberatan dengan keikutsertaan Rina. Magda cukup piawai membaca raut wajahku setelah bersahabat selama lebih lima tahun. “ Boleh ikut, tetapi hanya Thian,” gurauku disambar cepat oleh Susan,” Berdua, sintingnya sama. Wong berbulan madu kok bawa bayi. Baby sitter kenapa harus ke Parapat,!?” celutuknya. Esok harinya, setelah makan siang, Aku dan Magda menghubungi Mawar dengan menggunakan telepon toko yang berada di pasar, mulut kota. Mawar bersedia mengantarkan Rina ketempat yang kami tentukan.

Segera sesudahnya, kami menghubungi Rina, agar bersiap-siap dijemput oleh Mawar. Rina kaget ketika kami memberitahukan rencana secara tiba-tiba. “ Kenapa rencananya tiba-tiba. Mana lah bisa buru-buru, aku kan punya bayi,” protesnya. Magda menyerahkan telepon seraya memberitahukan complain Rina, diiringi tawa.
” Rin, kalau elu keberatan, nggak usah ikut, tapi kami bawa anakku Thian.”
Ndasmu. Yang lahiran aku.!” balasnya dengan tawa. Sebelum pertemuan pada waktu yang kami tentukan, Magda mencoba menghubungi Jonathan ke rumah om Robert, namun dia tidak berada di rumah. Menurut pembantu, Jonathan dan Monica juga ikut liburan. Kami tiba lebih awal ditempat yang kami janjikan.

Kami sengaja memilih tempat pertemuan agak jauh dari keramaian, khawatir intel partikelir masih gentayangan. Selang beberapa lama Mawar, Rina dan Thian tiba sesuai dengan waktu yang disepakati. Untuk beberapa saat, Mawar dan Rina tak memperhatikan kehadiran kami yang terlebih dahulu tiba di restoran, tempat yang kami tentukan. Memang, kami sengaja membelakangi pintu masuk. Serentak aku Magda berbalik setelah mendengar suara rengekan Thian. Mawar dan Rina terperanjat melihat penampilanku yang mengenakan peci, Magda memakai kerudung.

“ Kejutan apalagi nih bang,” tanya Mawar serius seraya memperhatikan kerudung Magda dan peciku silih berganti, sementara Rina terus mempelototin kami, hingga dia kelupaan duduk. Tak peduli dengan ketercengangan mereka, aku dan Magda rebutan Thian. Aku kalah, selalu. Mungkin dalam benak Mawar dan Rina, aku dan Magda telah melakukan “manuver” iman, mualaf. “ Tidak! Kami masih seperti yang kamu kenal sebelumnya. Pakaian ini menunjuk pada budaya bukan pada agama.” jawabku ketika Mawa mencurigai kami telah pindah keyakinan. Mawar dan Rina tak mampu menahan geli ketika aku jelaskan kenapa mengenakan pakaian itu, keduanya terawa lepas.

Disela pebicaraan, Mawar menyampaikan keinginannya ikut liburan bersama kami. “ Hari ini, hari terakhir aku bekerja di kantor. Atasanku telah mengabulkan permohonan yang aku ajukan sebulan lalu. Munggkin awal bulan aku pindah ke Jakarta,” ujarnya. Menurut Mawar, alasan mengundurkan diri, karena tak kunjung diangkat menjadi pegawai tetap. Aku dan Magda setuju, Mawar ikut serta dengan kami.

Malam sebelum berangkat, aku dan Magda "ribut" gara-gara Thian. Magda menginginkan Thian tidur bersama kami. " Pap, hanya semalam ini saja. Besok-besok kan masih ada hari lain untuk kita," ucapnya genit. Padahal, aku hanya khawatir akan mengganggu seisi rumah, akan membangunkan Rina, jika Thian bangun minta di susui. " Ntar Thian bangun minta minum, mama bisa menyususinya,?" tanyaku disambut dengan tawa cekikian.

***

Esok harinya aku menjemput Mawar ke perbatasan kota. Aku mengusulkan dia naik angkutan umum secara bergantian, takut dibuntutin oleh intel partikelir. Kali ini, pakaianku semakin “santun”, pakai kain sarung dengan sendal dan peci. Mawar menutup mulutnya menahan tawa ketika melihat penampilanku. Dia terus ketawa geli hingga kami masuk ke mobil. Didalam mobil, Magda, Rhina dan Thian menunggu kami. Ketiganya tertawa serempak ketika membuka kain sarungku. Thian terganggu tidurnya, kaget dan menangis. Tangisan Thian menghentikan ketawa mereka.

***
Percikan kebahagian tak sedikitpun tergaggu kala aku dan Magda mereguk bulan madu selama seminggu itu karena kehadiran Mawar, Rina dan Thian. Aku dan Magda sepakat, berbulan madu bukan hanya sekedar pemuasan tutntutan raga semata, namun pembaharuan dan perekatan hati dan jiwa di dalam memaknai hidup. Magda, jauh hari sebelumnya ketika kami masih pacaran telah tahu kebiasaanku, semedi, menenangkan diri kala embun galau membungkus. Hal itu telah aku lakukan sejak aku aktif di perguruan bela diri. Magda tak pernah sedetikpun mengganggu ketenangan kala aku duduk berdiam diri, hening, dalam posisi duduk bersila dengan mata tertutup.

Aku akui, pada waktu lalu, kadangkala aku masih jauh dari adab petapa begawan. Ego masih membelengu diri. Entahlah ke depan, kebengalan itu akan terulang, ketika alkohol adalah pilihan lain untuk penenang hati namun semu. Atas seijin Magda yang kini telah menjadi permaisuriku, semedi itu aku lakukan hampir setiap senja menjelang malam, selama empat hingga enam jam, tentunya, dengan tidak mengurangi hubungan batinku dengan Magda. Selama aku melakukan penenangan jiwa, Magda ikut ”merawat” keheningan itu dengan mengajak Rina, Thian dan Mawar menikmati keindahan suasana malam dipinggiran danau toba.

Suatu pagi, Rina yang kali pertama mengunjungi danau toba tak berkesudahan menuturkan pesona takjub keindahan alam sekitar. " Tetapi mas, bilangin dong ke warga ditepian danau untuk menjaga kebersihannya. Kok mereka membuang sampah sembarangan.!?" (Bersambung)

Los Angeles. January , 2010

Tan Zung

"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/