Wednesday, January 13, 2010

Telaga Senja (205)




http://www.youtube.com/watch?v=vnirZQnbWQc

====================
Pada keheningan malam aku dan Magda bertekuk diatas singgasana batu pualam nan sejuk, terbingkai sinar kemilau. Senandung sukma dalam simpony malam yang kami rangkai, memahkotai mahligai kejujuran menyatu pada hati dan jiwa, ditingkahi suara gemercik hujan di luar kamar.
====================

MALAM itu, dahaga cinta selama lima tahun lebih diakhiri dengan torehan lembaran baru diiringi tangisan sukacita Magda. Tiada ada lagi kata janji sumpah setia, terucap. Kata-kata cinta, janji setia, yang terukir dalam bentangan pada waktu yang cukup lama, tertulis abadi di atas batu pualam dalam dermaga penantian yang telah lama kami imipikan. Badai telah berlalu. Aku dan Magda telah meraih rembulan, bersama mereguk sinarnya, meski derita siksa menghantarkan aku dan Magda ke dalam dermaga dambaan. Layar telah terkembang, kini, dua insan mengayuh biduk mengarungi samudera luas nan ganas.

Kicauan burung, kelopak bunga sekitar rumah menyambut pagi dan sepasang anak manusia yang baru saja mereguk cinta abadi ditengah kesetiaan, kejujuran serta kepasrahan. Sejuta pelangi yang masih terukirkan sejak malam membungkus luka masa lalu.
“ Papa, selamat pagi,” sapanya diiringi kecupan di pipi lalu dia hendak bangkit dari tempat tidur.
“ Mama mau kemana? Masih pukul lima,” ujarku setelah melihat arloji tanganku. Lagi-lagi kecupan mendarat di keningku tanpa terucap kata, sementara aku masih menahan kantuk.
“ Mama mau pulang?” gurauku.
“ Pulang ? Pulang kemana pap? Atau papa mau memulangkanku setelah.....” Buru-buru aku bekap mulutnya.

“ Setelah ...apa mam?” tanyaku kemudian.
“ Setelah mama digebukin...” balasnya dengan tawa lepas, lantas meninggalkanku diatas tempat tidur. Magda membuka pintu kamar, perlahan. Sebelum melangkah keluar, Magda berucap gurau, “ Pap, tunggu mama, jangan kemana-mana.”
“ Jangan lama-lama, kalau nggak mau kutinggal,” candaku.
“ Papa mau pergi? Kunci mama pegang, nih!?” ujarnya berlagak serius.

Dengan cara berjingkat-jingkat aku keluar dari rumah, ketika Magda di kamar mandi. Sebelumnya menyibak gorden jendela kamar. Aku berdiri di luar kamar dengan posisi mengintip lewat jendela sembari menahan dinginnya udara pagi. Lewat kaca jendela aku melihat Magda membawa termos berisi air panas dan cangkir berikut sejumlah roti dan makanan kecil.

“ Papa, bangun lah...,” ujarnya seraya menyibak selimut berbungkus bantal guling. “ Papa...ahh..papa ..mama nggak suka dikerjain terus...” ujarnya manja. Aku menahan geli di luar kamar. Magda menyibak bed cover lantas melihat dibawah tempat tidur. “ Papa...di mana, ?”ujarnya seraya meninggalkan kamar. Aku berlari ke depan jendala rumah ruang tamu. Magda menilik satu persatu ke belakang sofa dan meja makan sembari memanggil namaku bergantian dengan panggilan papaaa.., lucu. Magda mulai kehabisan sabar, sejenak dia terduduk di sofa. Kemudian bangkit menuju pintu depan. Magda memanggil namaku setelah membuka pintu, “ Papa...mama kalah. Sudahlah..papa..aku kalah,” teriaknya sendu. “Papa...aku lapar...temanin mama serapan...” lanjutnya masih didepan pintu. Aku mendengar suara Susan saat Magda menutupkan pintu agak kuat.

“ Ada apa dik,?” tanya Susan. Aku tak mendengar jawaban Magda. Susan mengulang pertanyaanya.
Hah...! Bang Tan Zung nggak ada? Sejak kapan?” teriak Susan. Sebelum suasana semakin heboh, aku berlari lewat pintu dapur; pintu aku keluar sebelumnya. Berlagak lugu,” Ada apa dengan kalian berdua seperti orang ketakutan,?” tanyaku seraya mendekati mereka. Magda berlari ke kamar, mungkin dia kesal.
Heh...bang? Ada apa? Kalian ribut?” tanya Susan
“ Ribut? Nggak lah. Dia ketakutan, dikiranya aku pergi. Padahal aku di luar menyiram kembang...”
“ Menyiram kembang ? Siram kembang sepagi ini? Lagian, hujan turun sepanjang malam. Abang nggak dengar?”

“ Iya nggak lah, orang lagi.....” ucapku disambut timpukan bantal sofa kearahku. ” Maksudku lagi tidur nyenak.”
“ Ah..abang brengsek...” tawanya, lantas Susan menemui Magda ke kamar. Aku mengikuti dari belakang tanpa sepengetahuannya.
“ Magda, lima tahun bersahat dengan bang Tan Zung, masih belum tahu kelakuannya? Mana lah mungkin abang itu meninggalkanmu. Dik, semalam aku nggak tidur mengingat perjuangan kalian menggapai niat luhur. Pagi ini, kakak semakin cemburu melihat abang Tan Zung memanjakanmu lewat canda. Tetapi Magda sepertinya masih diliputi kekhawatian. Kenapa dik?”

Magda berlari ke atas tempat tidur, meninggalkan Susan berdiri, setelah melihatku masuk ke kamar. Magda menutupkan wajahnya dengan bantal. “ Magda, ayo..ketawa dulu, sebelum kakak keluar,” ujar Susan seraya menyingkap bantal dari wajah Magda. Segera dia menelungkupkan wajahnya, bahagia beraduk malu. Susan meninggalkan kamar dengan senyum mengembang. ( Bersambung)

Los Angeles, January 2010

Tan Zung

"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/