Saturday, August 8, 2009

Telaga Senja (96)

When You Say Nothing at All
It's amazing how you can speak right to my heart/ Without saying a word, you can light up the dark/Try as I may I could never explain/What I hear when you don't say a thing

Chorus:
The smile on your face lets me know that you need me/There's a truth in your eyes saying you'll never leave me/A touch of your hand says you'll catch me if ever I fall/Ya you say it best when you say nothing at all

All day long I can hear people talking out loud/But when you hold me near, you drown out the crowd/Oh Mr. Webster you could never define/What's being said between your heart and mine
(Chorus twice)
==============================
Wajah Laura dingin, tak memperdulikanku duduk disebelahnya. Dia bergeming ketika aku menyapanya. Kubiarkan beberapa saat diam membisu. Wajahku menatap kedepan sambil berucap: “ Akhirnya, aku berhasil didalam perut pesawat ini. Di darat, di tepi pantai laut aku gagal, tetapi diudara aku berhasil.
” Laura langsung mencubit lambungku, kuat.
===================================

PEMBICARAAN iseng dan spontan dengan seorang ibu didalam pesawat awalnya mengalir dan sedikit menyegarkan kepenatan selama lebih seminggu di Yogya. Namun akhirnya, tanpa aku sadari, pembicaraan melebar bahkan menyebut nama Gunawan. Tetapi dalam pembicaraan iseng itu, terungkap pula kebenaran yang pernah Laura ceritakan menyangkut isu yang ditebarkan Gunawan kepada sejumlah temannya di kampus termasuk kepada putri ibu itu bahwa, dia telah bertunangan dengan Laura. Padahal menurut Laura, Gunawan sendiri belum pernah bicara atau bertemu langsung dengan Laura.

Tak tahan mendengar rumor hubungan Laura dan Gunawan, Laura meninggalkan tempat duduknya, pindah ke deretan kursi belakang. Ketika aku menemuinya, dia mencubit lambungku, lalu aku membalasnya dengan ucapan: “ Ah...gagal lagi.” Aku berlakon seperti seseorang frustrasi, kemudian menyandarkan kepala dikursi pesawat.
“Gagal apanya sih mas,?”tanyanya polos
“Cubitanmu ternyata masih mengandung penuh makna,” ucapku geli setelah mendengar pertanyaannya serius.
“ Mau lagi? Wong kesal kok dibilang macam-macam,” balasnya masih dengan mimik serius.

Mengakhiri ketegangan, aku mencubit lambungnya. Laura berusaha meloncat dari tempat duduknya seperti tertumpah air panas, tetapi terhalang seat belt yang sedang dikenakannya. Kemudian dia duduk, wajahnya merunduk setelah menyadari dirinya jadi perhatian sepasangan mata pramugari. “ Itu cubitan tanpa makna.” ucapku ke dekat telinganya. “ Kalau cubitan dengan makna, pastilah kamu menikmatinya tidak seperti orang tersiram air panas.” tambahku.
“Aku geli mas.!” ujarnya ketawa, wajahnya masih tersembunyi dibawah kedua tangannya.
“ Geli atau senang,” tanyaku sambil mencubitnya lagi. Laura menggeliat menghindar,: Mas, sudah! Jangan lagi mas,” bujuknya sambil memegang tanganku kuat. Aku mengajak Laura kembali ketempat duduk kami semula, setelah rasa dongkolnya hilang, tetapi dia menolak.
“ Mas saja sendiri kesana sambil ngerumpi lagi dengan ibu itu,” tawanya.
***
Tepat sesuai jadual yang ditetapkan, pesawat mendarat dengan mulus. Sembari menunggu jemputan adikku Lam Hot, aku sengaja menemui ibu itu diluar ruang tunggu, tanpa Laura. Tampak sepasang suami isteri separu baya telah datang menjemputnya. Sebelum memasuki taksi aku menyalamnya: “ Bu, sampaikan salam bila bertemu dengan Gunawan di Perancis.” ucapku iseng. Tanpa kusadari, rupanya diam-diam Laura mengikutiku dari belakang. “ Aku juga bu. Sampaikan salam dari Laura Harsono, putri Farel Suryo Harsono,” ujarnya sambil memeluk pinggangku.

Oohh...ehh...ehh.. kamu Laura putri pak Harsono itu...?” ujarnya. Ibu merasa surprise mendengar nama Laura yang adalah orang yang dirumorkan calon isteri Gunawan. Sebelumnya, didalam pesawat Laura aku perkenalkan sebagai perawat dan bekerja di rumahsakit St. Carolus. Sayang ibu tak sempat melanjutkan pembicaraannya karena sopir taksi telah menjalankan mobilnya. Kalau saja ibu itu masih bertahan sejenak, pastilah ceriita semakin seru.

“ Dagh..dada...dada...ibu!” seru Lauara sambil melambaikan tangannya kearah ibu itu.
“ Ah...tadi kan aku sudah bilang, kamu masih punya embel-embel,” ujarku sambil melepaskan tangannya dari pinggangku.
Halah..mas juga. Tuh mukanya kok tiba-tiba serem,” ejeknya. “ Giliran aku titip salam pada Gunawan, tubuh mas gemetaran,” lanjutnya sambil tertawa.
“ Itu hanya perasaanmu saja. Rangkulanmu juga nggak ngaruh.”
“ Masya sih. Jadi seperti air di daun keladi dong,!?” sindirnya.
“ Bukan! Seperti air di kain sutera. Masih ada sih yang tersisa, meski hampir kering,” balasku lantas memegang lengannya agar tidak ngambek.

“ Mas serius.!?” tanyanya sambil berusaha menarik tangannya dari gemgamanku.
“ Ah..ternyata kita berdua gagal. Masih ada getaran lain selain persahabatan.... dan ....”
“ Mas...mas. Ayo buruan....” potongnya sebelum aku mengakhiri ucapanku sambil menarik lenganku.
“ Itu dia datang.! Ayo buruan .” desaknya sambil berjalan buru-buru.
“ Eh...kamu seperti kerasukan. Yang datang siapa...? Almarhum papamu.?”

“ Mas, ayo. Jangan sampai dia melihat kita. Itu Gunawan datang.” ujarnya, lantas melepaskan lenganku berjalan mendahuluiku
“ Laura tenang! Jangan ajak aku kabur seperti lelaki pengecut. Kemanapun kamu lari bersembunyi pasti ketemu. tak perlu menghindar. Hadapi dia secara dewasa, sama seperti kamu lakoni ketika kita di bar beberapa malam lalu. Bukankah kamu “menikmati” pelukannya malam itu?” pancingku sembari memegang kopernya, takut kabur. Benar, Laura meronta sambil menarik kopernya dari tanganku, hendak kabur.

“ Laura, aku bilang tenangkan dirimu. Selagi aku masih ada di dekatmu, kamu tak perlu khawatir, okey !?” Laura menghentikankan langkahnya setelah mendengar hentakanku, kemudian berjalan seperti biasa, namun dia masih seperti orang ketakutan. Segera aku berbalik arah setelah melihat bayangan Lam Hot dari balik kaca ruang tunggu. “ Laura, kamu aman. Lam Hot telah datang. Kamu duluan dengan Lam Hot, aku pulang belakangan. Aku mau hajar si “ troublemaker” Gunawan,” ujarku seakan serius.

“ Jangan mas,...! Kita pulang bareng,” ibanya, bibirnya gemetar masih seperti orang ketakutan. Kami berjalan menemui Lam Hot di luar ruang tunggu. Lam Hot keheranan melihat wajah Laura dengan wajah ketakuatan, pucat. Sembari memasukkan koper kami kedalam bagasi taksi, dia bertanya: “ Mbak sakit.!?” Laura tidak menjawab.
Didalam taksi, Laura langsung merebahkan wajahnya diatas pangakuanku, nafasnya sengal.
“ Apa nggak lebih bagus kita ke dokter,” tanya Lam Hot.
“ Hot, Laura nggak sakit. Aku kedinginan dan kelaparan,”jawabnya sambil tertawa. ( Bersambung)

Los Angeles, August 2009


Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/