Tuesday, July 21, 2009

Telaga Senja (84)

(music: right click on mouse then click “open in new window”)

I'm not always strong /And sometimes i'm even wrong /But i win when i choose /And i can't stand to lose /But i can't always be

The rock that you see /When the nights get too long /And i just can't go on

The woman in me /Needs you to be /The man in my arms /To hold tenderly /Cause i'm a woman in love /And it's you i run to /Yeah the woman in me /Needs the man in you

When the world wants too much And it feels cold and out of touch /It's a beautiful place /When you kiss my face

The woman in me /Needs you to be The man in my arms /To hold tenderly /Cause i'm a woman in love /And it's you i run to /Yeah the woman in me /Needs the man in you
Yeah the woman in me /Needs the man in you /I need you baby /Yeah yeah /Oh baby...
=====================
Tampaknya Laura agak enggan menyambut tangannya. Gunawan bangkit dari kursinya kemudian menarik tangan Laura. “Sebentar mas,” bisiknya ke telingaku, bibirnya hampir menyentuh wajahku.
“ Bah! Kok giliran Gunawan duluan.?”
=======================
SEMENTARA Gunawan dan Laura berduaan di “floor” aku asyik bicara dengan Laurance. Aku berusaha menghindar menoleh ke depan selama percakapan dengan Laurance. Mainkan kaulah disitu Laura, kataku dalam hati agak kesal, setelah Laura mendahulukan Gunawan. Hmmm...aneh, kali pertama aku merasa gelisah merambat cemburu terhadap Laura, bahkan tak sabaran menunggu Laura kembali duduk disisiku.

Menit-menit aku lalui dengan gejolak gelisah meski aku masih berbicara dengan Laurance. Akupun masih tak mampu melihat kedepan, walau ingin menyaksikan sedang apa Laura dan Gunawan lelaki calon suami pilihan orang tua Laura itu disana. Tak sadar, teguk demi tegukan minuman nyelongsor melalui tenggorokan, getir. Ingin menambah minuman, tetapi ku urungkan ingin menjaga citra dihadapan om Laura, Laurance.

Gunawan dan Laura kembali bergabung dengan kami. Gunawan mengambil sebatang rokok, menyodorkan ke Laura tetapi dia menolak,”Oh...nggak! Terimakasih Gun,” tolaknya. Laura menurunkan tangannya kemudian meremas ujung jariku, namun aku tidak memberi reaksi.
“ Mas, mau nambah minumannya?” tanya Laura.
“ Nggak !” jawabku singkat tanpa menolehnya. Mataku menatap kosong jauh kedepan. Gairahku hilang setelah Laura mendahulukan Gunawan melantai bersamanya. Ini pelanggaran etika dalam tatakrama club malam. Beberapa saat aku diam membisu, sementara ujung jari telunjuk mengetuk pelan meja mengikuti irama musik.

Laura mulai gerah dengan suasana “perang dingin” denganku. Dia menyorongkan gelasnya kemulutku. “ Terimakasih Laura,” ujarku menolak, kemudian aku permisi ke kamar mandi, sekedar over konpensasi. Agak lama disana. Kembali dari kamar mandi gelasku telah terisi minuman seperti semula. Gelas minumanku tak kusentuh beberapa saat, masih menjaga citra. Jangan pula sampai ketahuan kepada om Laurance dan Gunawan bahwa aku ini peminum berat.

Mencairkan suasana yang sedikit kaku, aku mengambil sebatang rokok milik Laura, memasukkan diantara kedua bibirku tanpa sulutan. Spontan, Laura menyalakan macis kemudian menyulutnya. Kini giliranku “ over acting”, rokok yang masih tersisa setengah, aku sorongkan kemulut Laura, dia terima. Irama musik yang disuguhkan silih berganti. Saat musik beralun lembut, Laura bangkit dari tempat duduknya, meraih lenganku mengajak kedepan.

Saat melantai, kedua tangannya melingkar diseputar leherku, mendekapku hangat sembari mengikuti irama lagu; “ Kenapa mas tiba-tiba begitu dingin,” ucapnya di telingaku.
“ Aku panas kok dibilang dingin?”
“ Kenapa mas?”
“ Laura dan Gunawan tak punya etika, kampungan.!”
“ Lho, kenapa? Jelasin dong Laura nggak ngerti,” ujarnya sambil mengangkat wajahnya dari sisi wajahku.

“ Aku tak keberatan Laura melantai bersama dia hingga esok hari. Tetapi sebelum Laura ikut dengannya atau siapapun dia termasuk papimu, mesti bertanya atau ijin lebih dulu dari aku, karena Laura datang kesini bersamaku, faham?”
“Maaf mas, Laura nggak mengerti.” ujarnya, kembali dia meletakkan wajahnya diatas pundakku.
“ Laura, kita pulang. Aku pusing gara-gara merokok.”
“ Mas, aku juga tak pernah merokok. Gunawan juga.”
“ Persetan dengan Gunawanmu itu.!”
“ Mas, jangan marah dulu. Aku sengaja merokok didepannya karena dia paling benci melihat perempuan perokok. Laura juga dari tadi mau muntah. Mas, tunggu satu lagu lagi, aku belum puas.”

" Gantian. Gunawan kan ada disana.?"
" Mas tadi ingatkan, kita bukan anak remaja lagi. Kok cemburuannya berlebihan.!?"
" Laura sok tahu. Aku tak cemburu, kesal iya. Bagaimana kalau aku duluan pulang, biar aku telepon Rio menjemputku.”

“ Silahkan.!” jawabnya singkat tetapi tubuhnya semakin didekapkan. Aku mencoba melepaskan tangannya yang menggelantung dileherku namun dia tak mau melepaskannya. Malah Laura menghentikan gerakannya, mengangkat wajahnya menghadapku; “ Nggak boleh. Kita datang sama, pulang juga harus sama,” ujarnya, kemudian perlahan dia "mengayun"tubuhku seirama dengan gerak tubuhnya mengikuti irama musik.

Pundakku masih labuhan wajahnya .” Laura tahu, selain marah juga cemburu , iya kan mas," ucapnya pelan ditelingaku. ” Mas, benar nggak? ayong dong, jawab Laura," desaknya.
" Iya, sedikit!” jawabku.
“ Kenapa kita saling mencemburui? Aku juga heran, kala mas menyebut nama Magda, hatiku gundah, cemburu. Mestinya aku tak berhak mencemburuinya. Juga, mas tak harus mencemburuiku. Tapi...iya...nggak tahulah mas, mengapa.” Suaranya tersendat diakhir kalimatnya. Aku merasakan cairan hangat mengalir di pangkal leherku.

“ Kamu menangis Laura?”tanyaku sambil mengangkat wajahnya. Laura menatapku dengan mata kuyu, kami menghentikan langkah saling menatap dekat. Perlahan Laura mendekatkan bibirnya mengecup; “ Mas, ini kecupan dari mbak Magda,” ujarnya. Kemudian dia megangkat wajahnya, sejenak, lalu memberiku kecupan kedua; "Mas, ini ciuman dari Laura yang selalu mencemburuimu, “ujarnya.

Aku meniru ciuman serial versi Laura; “Ini dari mas Tan Zung,” ujarku. Kemudian menyusul seri kedua. " Yang ini dari Gunawan." Laura menolak sebelum ku mengecupnya. “ Nggak.” ujarnya, wajahnya dipalingkan untuk menghindar kecupanku.
" Oh...tadi sudah dapat dari orangnya langsung iya,?" ujarku bercanda.
Segera dia menghentikan langkah-langkahnya mengikuti irama musik, setelah mendengar candaku. " Mas, jangan ikut menyiksaku. Cukup aku menahan siksa dari mami, " ucapnya dengan bibir gemetar ditelingaku.
" Maaf Laura. Aku hanya bercanda."
" Tetapi bukan seperti itu mas. Sejak tadi aku sudah mengelak membicarakannya, tetapi mas selalu mengulang. Tolong mas, jangan hantarkan aku dalam keputusasaan." ujarnya sendu. Kini bukan hanya airmata terus mengucur, tenggorokannya tak mampu menahan isak tangisnya.

" Mas, aku tak tahan lagi. Kita pulang," ucapnya lirih.
" Bagaimana dengan mereka, aku nggak enak dengan om Laurance.?"
" Nggak apa-apa mas. Besok aku bilangin."
" Aku juga nggak enak dengan Gunawan,?" pancingku.
" Massss..! Sekalian bunuh aku, biar puas! Tadi Laura bilang, jangan sebut nama itu lagi," suaranya gemas menahan marah, takut kedengaran pasangan sekitar.
"Okey... Laura, kita pulang. Kehotel atau kerumahmu.?" (Bersambung)

Los Angeles, July 2009

Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/