Monday, September 28, 2009

Telaga Senja (129)


IL Divo: Everytime I Look At You
I used to think that I was strong/I realise now I was wrong/'Cause every time I see your face/My mind becomes an empty space/And with you lying next to me/Feels Like I can hardly breathe

I close my eyes/The moment I surrender to you/Let love be blind/Innocent and tenderly true/So lead me through tonight/But please turn off the light/'Cause I'm lost every time I look at you

And in the morning when you go/Wake me gently so I'll know/That loving you was not a dreamAnd whisper softly what it means to be with me/Then every moment we're apart/Will be a lifetime to my heart

I close my eyes/The moment I surrender to you/Let love be blind/Innocent and tenderly true/So lead me through tonight/But please, please turn off the light / 'Cause I'm lost every time I look at you/Lost. Every time I look at you

====================
“ Boleh aku masuk,?”
“ Perlu apa?”
“ Memenuhi janjiku tadi malam. Aku mau menjelaskan kenapa aku “memperbaiki” laporan keuangan.”
“ Aku mau istirahat mas. Kita selesaikan di Jakarta saja,” ujarnya sambil menutupkan pintu.
====================

AKU tetap berdiri didepan pintu kamarnya. Sel-sel otak mulai berfungsi normal tetapi suhu tubuhku panas seperti terbakar, karena tak sedikitpun alkohol yang kuteguk mau keluar dari perut walau telah kupaksakan keluar. Ku coba konsentrasi sambil memikirkan bagaimana caranya aku masuk kedalam “lubang jarum” sementara ujung benang basah dan kusut pula.

Aku sengaja bersandar di depan pintu kamar sambil melorotkan tubuhku duduk diatas karpet. Berulangkali menghela nafas seperti orang mengeluh dan sesekali kepalaku menyentuh pintu kamar, kemudian terkulai dalam topangan tangan diantara dua lutut tertekuk.

Beberapa petugas dan tamu yang berlalu dari depanku ketawa geli setelah menjawab pertanyaan mereka,” kenapa duduk di luar,?”
“ Aku diusir isteri dari dalam,” jawabku sambil mendongkakkan kepala. Sepasang perempuan lari terbirit-birit setelah melihat sorotan mata memerah kehilangan sinar , “ Idihh.. matanya seram,” serunya.

Perlahan aku mendengar engsel pintu kamar dibukakan. “ Mas, masuk, ntar kedinginan,” ajak Laura. Aku diam tak menyahut ajakannya, kepalaku tetap masih terkulai diatas topangan tangan.

Akhirnya benang kusut itu masuk juga dalam lubang jarum itu, bisikku dalam hati. Laura mengulang ajakannya agar aku masuk kedalam kamar, kali ini dia menarik lenganku setengah paksa,” Ayo masuk, nanti mas sakit.”
Aku menuruti ajakannya masuk kedalam kamar. Tanpa sepatah kata, Laura langsung naik ketempat tidur dan membungkus seluruh tubuhnya hingga kepala dengan selimut. Aku mendekati dan menyingkap selimut dari kepalanya, “ Laura, permisi aku mau tidur diluar.”

“ Mau tidur dengan Tia? Pergilah!” ketusnya.
“ Bukan! Aku mau tidur di emperan hotel.! jawabku
“ Mau bawa selimut mas?” tanyanya serius. Bah! mati kartu aku. Tak ada lagi kalimat bujuknya, semua terampas oleh keangkuhanku sejak kemarin subuh. Tega nian dia membiarkanku tidur diemperan.? Aku berbalik langkah setelah menututupkan wajahnya dengan selimut tanpa sepatah kata, tetapi aku enggan kembali ke kamarku , disana Tia sedang berbaring. Akhirnya kuputuskan tidur di kamar mandi. Aku menggelar handuk diatas bath tub , tidur tanpa alas kepala.

Pilihan tidur di kamar mandi tanpa rencana sebelumnya, ternyata dapat menurunkan suhu tubuh karena minuman alkohol berlebihan. Untuk beberapa saat aku tertidur pulas, hal ini kurasakan setelah rasa berat dikepala telah hilang. Dalam lelapnya tidur, tanpa kusadari, rupanya Laura menutup tubuhku dengan selimut. Aku terjaga setelah merasakan tubuhku kembali hangat. Aku keluar dari kamar sambil membawa selimut. Laura tertidur meringkuk menahan dinginnya ruangan. Perlahan, agar tidak terjaga, aku kembali menyelimutinya.

Menjelang pagi, aku terbangun namun masih tergolek di bath tub. Kepala mulai terasa sakit karena tidur di bath tub tanpa alas. Laura kembali mendatangiku ke kamar mandi dengan membawa selimut dan bantal. Dia kaget ketika aku menangkap tanganya saat mau menyelimutiku. “ Lebih baik nggak usah pakai selimut, enak begini dingin,” ujarku. Tak ada respon, dia meninggalkanku tergeletak di kamar mandi, sendirian.

Tidak lama setelah dia meninggalkanku di kamar mandi, hidungku terganggu mencium bau asap rokok. Aku bangkit, keluar dari kamar mandi, melihat Laura duduk mengangkat kakinya keatas coffe table seraya menyedot rokok menthol berwarn biru.
Aku mendekatinya seraya menegur: “ Belakangan ini Laura merokok berlebihan. Lagian, masya sih kamu merokok dalam kamar, pengap,” tegurku.

" Aku merokok berlebihan ? Apa pedulimu mas? Aku juga beli rokok dari hasil keringatku sendiri. Mas tak tahan asap rokok? Gampang, keluar saja dari kamar,” jawabnya tanpa menolehku.
“ Laura, kenapa kamu ketus seperti itu?”
“ Memang mas siapa? Aku iya aku, kamu iya kamu, faham!?” hentaknya. Kalimatnya terasa menghujam ulu hatiku. Pisau berbalik gagang. Kalimat itu pula yang ku hujamkan kepadanya kemarin malam sebelum ke klub malam.

"Boleh aku bicara tentang pembukuan yang aku robah itu itu?"
" Tak ada yang melarang mu bicara."
" Walau terlambat, aku telah menyadari kesalahan itu. Aku terbawa perasaan atas "kebaikan"Tia dan Ririn. Aku janji akan memperbaikinya lagi sebelum kembali ke Jakarta."
" Kemarin dulu, sebelum mas berangkat aku telah ingatkan. Tetapi karena Tia menyodorkan madu, jadi lupa diri. Mas tak sadar kalau didalam madu yang mas teguk itu bercampur racun."

" Ya Laura. Aku telah menyadari semuanya. Laura masih menyimpan marah.?"
" Marah!?" Ya, karena begitu mudahnya mas menjual diri.!"
" Tetapi Laura, aku sudah menyadari dan mengaku salah. Aku telah melacurkan diri dan profesiku . Aku bodoh dan terjatuh kedalam lembah terjal. Laura nggak mau menolongku.?"
" Manusia luar biasa seperti mas, masih mengharap tolong dari aku yang kamu anggap perempuan jalanan.?"

" Laura! Aku tak pernah menganggapmu perempuan serendah itu. Mestinya sebagai sahabat Laura dapat memahami kenapa semuanya ini terjadi.
" Tetapi terlalu menyakitkan mas. Hanya dalam tempo dua hari, perubahan dirimu begitu dahsyat. Berulangkali aku mencoba menyadarkanmu, tetapi cacimaki yang ku dapat. Sekarang setelah,...."
" Sudah Laura. Cukup! Tidak usah lagi menabur cuka dalam luka," balasku memotong kalimatnya.
" Mas terluka? Siapa melukai siapa?"
" Iyalah, aku terlanjur telah melukaimu. Terserah kamu mau memaafkan atau tidak." ujarku sambil menginggalkannya di kamar. ( Bersambung)

Los Angeles. September 2009


Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/