Monday, December 28, 2009

Telaga Senja (195)

============================
“ Pap, siapa mereka?” tanyanya Magda pelan dengan bibir gemetaran, ketakutan. Tiba-tiba Magda berteriak dari dalam kamarku,” Bapak siapa.?” Mendengar suara Magda, ketukan dan suara memanggilku berhenti.
============================

Aku menyuruh Magda kembali menjauh dari pintu,” Mam, pergi tidur..!” bisikku seraya menunjuk ke tempat tidur. Magda mematikan lampu kamar sehingga aku dapat melihat bayangan keduanya dari dalam kamar. Hampir saja aku mau banting pintu kalau tidak menjaga perasaan Magda. Kedua lelaki yang mengetuk pintu itu adalah, ayah dan tulangku (om,pen), ayahnya Shinta. Masih didepan pintu, aku mendengar om bertanya pada ayahku: ” Mungkin kita salah alamat? Kita tanyakan dulu alamat yang pasti ke Shinta.” Keduanya, ayah dan om beranjak dari depan pintu. Magda agak tenang setelah tahu ayah dan om meninggalkan emperan.
” Siapa mereka pap?”
“ Polisi partikelir.”
“ Polisi apa itu? tanya Magda heran.
“ Polisi spesial menikahkan pasangan yang sedang pacaran karena tertangkap tangan berduaan dikamar hingga subuh,” ujarku tertawa, diganjar cubitan Magda. “ Pap, siapa mereka. Kenapa mereka pergi?”
“ Mereka pergi karena ragu dengan alamat ini. Mereka itu ayahku, calon mertuamu dan om, ayahnya Shinta,” jelasku membuat Magda terkesima. “ Bapatua dan om, orangtua Shinta? Ngapain.?”

“ Nggak tahu. Mungkin mau menjemputku pulang.”
“ Papa mau kalau diajak pulang?
“ Mau lah. Kenapa nggak ?”
“ Jadi mama bagaimana?”
“ Mereka terlebih dahulu harus menyetujui syarat yang papa ajukan; menyetujui pernikahanku dengan Magda. dan kalau mereka tidak setuju, diam, jangan menghalangi.”
“ Kalau kedua syarat itu di tolak?”
“ Aku menolak ikut pulang. Segera aku bawa Magda kabur.”
“ Pap, sebelum mereka kembali lagi, lebih baik kita ke rumah. Kita bergereja di tempat lain saja. Nanti mama beritahu ke Rina alasannya. Ntar aku telepon Jonathan temanin mami. Papa setuju?” tanyanya. Aku menggaguk tanda setuju. Segera aku berkemas, sementara Magda keluar dari kamar menunggu becak.

Tiba dirumah, kami temui Rina sedang meninabobokan Thian. “ Mbak, Thian cengeng sejak aku antar mbak ke rumah si mas.”
“ Itu sebabnya, aku bawa Magda segera. Aku punya firasat nggak enak,” gurauku.
“ Halah...papa bilang saja ketakutan dikejar-kejar polisi,” celutuk Magda, ditanggapi serius Rina.
“ Dikejar polisi?”
“ Tan Zung mau dibawa pulang kampung oleh polisi partikelir,” ujar Magda geli seraya mengajak Rina ke kamarku. Magda menuturkan semua kejadian yang baru saja terjadi di kamarku. Kami bertiga bicara pelan, takut menggangu tidur maminya Magda.

Menghindari ayah dan om, aku merancang skneario. Selama beberapa hari aku akan menghindar dari rumahku, juga tidak di rumah Magda. “ Papa lupa, besok lusa pesta Maya.” ujar Magda mengingatkan.
“ Aku akan datang pada pestanya, kemudian menghilang lagi,” ujarku. Rina menolak skenarioku.
“ Kenapa nggak bertemu langsung dan menjelaskan apa maunya mas,” usulnya.
“ Aku tak dapat menahan emosi, apalagi om ikut-ikutan. Bisa-bisa benda seisi rumah hancur berantakan. Lebih baik menghindar daripada aku di cap anak durhaka.”
“ Tetapi persoalan nggak bakal selesai, jika terus menghindar.”
“ Persoalan akan selesai jika Magda telah siap. Aku hanya menunggu kesiapan Magda.”

“Papa gimana sih? Mama kan sudah bilang, telah siap. Tapi tunggu dulu pesta pernikahan Maya. Bagaimana kalau nanti bapatua datang pada pesta itu?” tanya Magda.
“ Kita sekak. Dengan pakaian lengkap yang masih kita kenakan, langsung minta restu.”
“ Kalau ditolak?” tanya Magda.
“ Kita restui tolakannya, lalu balik kanan. Susah amat.!”
“ Paaaa..kenapa sih nggak pernah serius diajak ngomong.”
“ Lalu mau di apakan jika ditolak? Keputusan akhir di kita berdua dan Thian,” ujarku mengurangi ketegangan Magda
“ Heh..jangan bawa-bawa nama anak gue,” tawa Rina.
***
“Rapat” kilat bertiga berakhir dengan kesepakatan, aku dan Magda pergi ke gereja pagi tetapi di luar kota. Rina akan menjelaskan ke Jonathan kenapa kami pergi keluar kota. Atas persetujuan Magda, sebelum berangkat keluar kota, aku mampir ke rumah menemui ibu kos, memberitahukan, kalau aku tidak di rumah hingga besok malam. Kepada ibu kos kutitip pesan, “ Bila ayah datang mencariku, tolong ibu katakan, beberapa hari kami pergi keluar kota berbulan madu.”
“ Tan Zung sudah menikah? Kapan?
" Kemarin bu. Kami menikah di catatan sipil."
" Menikah dengan Magda? Kenapa mas Tan Zung nggak beritahu ibu?” tanyanya serius.
“ Persoalannya panjang bu. Nantilah setelah kembali aku ceritakan,” balasku serius pula seraya mohon diri.

Baru beberapa langkah keluar dari rumah ibu kos, ayah turun dari beca persis di depan kamarku. Aku pun tak dapat menghindar.
“ Ayah sendiri,?” tanyaku berpura-pura.
“ Ayah datang dengan om mu. Om mu, ayah tinggal dirumah Shinta. Tadi pagi kami kesini, tetapi ayah ragu karena kami mendengar suara perempuan dari dalam.”
“ Mungkin ayah kerumah sebelah.”
“ Nggak. Barusan ayah kerumah Shinta memastikan alamat dan nomor rumah ini. Ini masih puntung rokok kami,” ujarnya yakin seraya menunjuk puntung rokoknya di depan pintu.
“ Pagi-pagi begini, ayah dan om ada urusan apa.?”tanyaku setelah kami masuk kedalam kamar. (Bersambung)

Los Angeles. December 2009


Tan Zung

"Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/