Thursday, August 6, 2009

Telaga Senja ( 95)

You fingertips against my skin /The palm trees swaying in the wind /Images / You sang me spanish lullabies /The sweetest sadness in your eyes /Clever trick
I never want to see you unhappy /I thought you’d want the same for me
*)
Goodbye, my almost lover /Goodbye, my hopeless dream /I’m trying not to think about you /Can’t you just let me be? /So long, my luckless romance /My back is turned on you /I should’ve known you’d bring me heartache /Almost lovers always do

We walked along a crowded street /You took my hand and danced with me /Images
And when you left you kissed my lips /You told me you’d never ever forget these images, no /I never want to see you unhappy /I thought you’d want the same for me


*)
I cannot go to the ocean /I cannot drive the streets at night /I cannot wake up in the morning
Without you on my mind /So you’re gone and I’m haunted /And I bet you are just fine /Did I make it that easy for you /To walk right in and out of my life?
================
Eh...nggak usah dibilangin. Dilakonin saja. Ntar papi tahu sendiri,’ cegahku.
“ Mas, maaf. Makin lama makin ketahuan aslinya,” ujarnya sambil ketawa.
“ Sejak kapan aku memalsukan diri ? Semuanya asli berikut perangkatnya. Emang gue Gunawan.!?” balasku ketawa.
====================
Masa liburan kami di Yogya berakhir dengan manis meski dibumbui dengan hari-hari menyesakkan, khususnya buat Laura. Beberapa jam sebelum ke airport, Laura mengajakku ziarah ke makam almarhum papinya. Disana dia duduk bersimpuh, khusuk dan melayangkan doa. Setelah berdoa, Laura mencium nama almarhum yang tertera di salib makam, kemudian wajahnya menunduk menghadap pusara, berkata lirih; “ Pap...Sebentar lagi Laura mau kembali ke Jakarta. Aku dan mami telah baikan lagi pap.....”ucapnya diiringi airmata melintas di wajahnya, sementara tangannya membersihkan tumbuhan rumput-rumput kecil diatas pusara.

“ Sudah mas, ayo kita berangkat. Terimakasih mas.!” ucapnya sambil menarik tanganku yang masih mencabut rumput-rumput liar diatas makam papinya. Sepanjang perjalanan dari makan hingga kerumah, Laura menyandarkan kepalanya disisi bahuku, jari tangannya meremas telapak tanganku sambil menahan isak. Sesekali mengusap airmata yang berlinang di wajahnya. Mulutnya masih memanggil lirih almarhum papinya: ” papa...papa....!!!” Aku hanya diam membisu, larut dalam isak tangis Laura.
***
Papi dan mami Laura melepaskan kami di airport, kembali ke Jakarta. Sejak keberangkatan kami dari rumah, sikap Laura, didepan kedua orangtuanya tidak seperti semula ketika baru tiba di Yogya, manja. Di airport, kami jalan sendiri-sendiri tanpa pegangan tangan meski sesekali tubuh Laura nempel pada sisi lenganku.

” Kamu telah berhasil Laura,” ujarku setelah agak jauh dari orangtuanya.
“ Berhasil apa, ?” tanyanya.
“ Mengubah pikiran papi-mami; Sikapmu sejak dari rumah hingga disini, tempat kita berdiri, telah menunjukkan bahwa aku bukan calon mantu mereka.”
“ Kenapa mas omong seperti itu.?” tanyanya serius.
“ Semuanya Laura perankan sesuai skneario yang aku ajukan.”
“ Peran apa mas ?” tanyanya heran.
“ Sikapmu tidak seperti hari pertama kita tiba di rumahmu dan di restauran, akrab dan manja.”

“ Hah....? nggak mas! Nggak ada skneario-skenarion,”ujarnya, lantas menggaet lenganku berjalan menuju pintu masuk kedalam airport.
“ Laura, tunggu dulu! Kita belum bersalaman dengan papi-mami.”ujarku mengingatkannya. Laura tersipu malu, lalu kami kembali menemui papi-maminya.

Didalam pesawat terjadi “keributan” kecil ketika aku dan Laura saling ejek.
“ Laura tadi kamu memainkan peran sempurna dihadapan papimu. Dan menurutku, itu jawaban untuk papi, bahwa memang diantara aku dan kamu hanya sebagai sahabat tanpa embel-embel.”
“ Peranku sempurna ? nggak juga mas. Semuanya berjalan tanpa diatur. Emang mas terlalu manja, maunya nempel terus.”
“ Kemauanku atau maumu? Jangan bohong, entar pesawatnya jatuh lho.”

Mendengar akhir kalimatku, tiba-tiba seorang ibu penumpang didepan deratan kursi kami, ngerocos: “ Mas jangan bicara pesawat jatuh.!” tegurnya seperti orang ketakutan. Dari logat bicaranya seperti perpaduan Batak dan Jawa. Kemungkinan ibu ini sudah cukup lama tinggal di Yogya atau suaminya wong Yogya. Selain aksen suara khas batak, pada diri ibu itu tampak ciri khas ibu -ibu Batak kebanyakan; Jika berpergian jauh selalu memakai perhiasan. Di kedua telinganya melekat anting berlian dibalut emas, juga pada sasak rambutnya tersemat untaian emas berbentuk daun bertahta berlian juga.


“ Nggak bu. Aku tadi bilang perawat jatuh, bukan pesawat jatuh.!”
“ Oh...iya ? Kayaknya ibu dengar pesawat jatuh,” bantahnya.
“ Bukan bu. Perawat jatuh bu. Ini perawatnya,” ujarku sambil menunjuk Laura disebelahku. Laura terus mencubit pahaku sejak ibu yang duduk didepan kami ngerocos.

“ Perawatnya jatuh dimana?”
“ Di sisi tempat tidur ketika mau mengangkat pasien.”
“ Perawat dimana dik?” tanyanya sambil memutar kepalanya menghadap kebelakang.
“ Di St. Carolus bu.” jawabku sebelum Laura menjawab.
“ Bagian apa,” tanya dia berlanjut.
“ Bagian jantung bu,” jawabku sekenanya.

Laura tak tahan lagi menahan rasa geli, mendengar percakapan ku dengan ibu itu. Dia langsung bangkit dari duduknya dan pergi ke kamar mandi dipesawat. Laura juga khawatir kalau bumbu bohongku akan terungkap, karena percakapan dengan ibu itupun berlangsung secara spontan. Laura agak lama baru kembali dari kamar mandi. Mungkin dia menunggu percakapanku dengan ibu itu berakhir. Sekembalinya dari kamar mandi, aku melihat kelopak matanya masih memerah. Agaknya dia tak mampu menahan rasa gelinya hingga terpingkal-pingkal mendengar omong kosong dengan ibu itu. Syukur, ibu tidak memperpanjang pembicaraan tentang keperawatan.

Setelah Laura sudah duduk kembali, ibu kembali menoleh kearah kami dan bertanya: “ Mau kemana kalian.?”
“ Ke Jakarta bu.”
“ Taulah ibu itu, semua yang dalam pesawat ini mau ke Jakarta. Maksudku kalian di Jakarta dimana.?”
“ Di Kebayoran Baru bu. Ibu orang Medan iya?” tanyaku, sementara Laura mengeyitkan dahinya mendengar suara ibu rada sopran tapi false, mirip orang berteriak kecil.
“ Ya, di Jl. Sisingamangaraja, Medan. Aku orang Kabanjahe, suamiku orang Yogya kerja di kantor Pajak. " terangnya.
“ Ibu di Jakarta dimana,”? tanyaku, sementara tangan Laura terus mencubit pahaku. Mungkin dia merasa terganggu.

“ Ibu cuma sebentar di Jakarta. Besok lusa mau ke Perancis.” jawabnya bangga.
“ Ibu punya keluarga di Perancis.?”
“ Putri sulungku nikah dengan orang Perancis lima tahun lalu. Aku sudah rindu melihat cucu. Tiga tahun lalu ibu sudah pernah kesana, aku tinggal selama enam bulan waktu putriku melahirkan anak pertama," tuturnya.

Ah..sekalian ibu agak “narcissism”, kubalas pula dengan percakapan “gelembung”.
“ Aku juga punya teman di Perancis sedang mengambil program master bu.”
“ Perancis itu luas mas. Di Perancis kuliah diamana? Mungkin putriku kenal dia. Orang mana dia.?”
“ Orang Yogya. Namanya Gunawan Chan bu.” Laura langsung memutar wajahnya menolehku, matanya terbuka lebar setelah menyebut nama Gunawan. Ibu itu langsung menyambar:
” Oh anak pak Dokter itu. Kenallah aku. Sebelum ke Perancis, kan dia sudah di jodohkan dengan putrinya pak.....waduh aku lupa namanya, yang punya hotel itu lho. Putrinya itu, teman kuliah anakku nomor dua. Wadu...duh...aku kok bisa lupa iya. Oh..iya ..ya..mas Harsono. Dia punya putri satu-satunya. Beruntung Gunawan itu,” ucapnya serius.
“ Iya bu. Gunawan itu beruntung. Aku benasib malang.” ujarku berlagak sendu.
“ Bah! Kenapa? Nak kenal putri pak Harsono itu.?”
“ Kenalan lama bu waktu dia kerja di Jakarta.Tetapi akhirnya putus gara-gara Gunawan itu.”

“ Ah...nak ini kan masih muda, masih banyak perempuan! Tak usahlah langung patah hati,” nasihatnya. Lagi-lagi Laura menghindar, meninggalkan kursinya setelah aku tak perduli peringatannya lewat cubitan dipahaku. Sebenarnya ketawaku hampir meledak ketika ibu itu menasehatiku. Tak tahu pula dia, kalau orang yang sedang kami bicarakan ada disisiku, Laura.

Aku segera mengakhiri pembicaraan dengan ibu itu, menyusul kebelakang tempat Laura “berteduh”. Kebetulan di deretan kursi belakang masih ada yang kosong. Wajah Laura dingin, tak memperdulikanku duduk disebelahnya. Dia bergeming ketika aku menyapanya. Kubiarkan beberapa saat diam membisu. Wajahku menatap kedepan sambil berucap: “ Akhirnya, aku berhasil didalam perut pesawat ini. Di darat, di tepi pantai laut aku gagal, tetapi diudara aku berhasil.
” Laura langsung mencubit lambungku, kuat. ( Bersambung)

Los Angeles, August 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/