Monday, August 24, 2009

Telaga Senja ( 107)

====================
“ Magda ! Lupakanlah semuanya itu, maaf aku mau pergi.!”
“ Abang mau kemana malam begini?”
“ Lho, kok jadi mengurusi langkahku? Bukankah tadi kamu bilang aku bebas kemana hendak pergi ? Apa pedulimu jika aku mau pergi keneraka sekalipun.!?”
=====================
AKU menyadari hati Magdalena kembali lembut manakala niat menghadiri pernikahan Maya dan melihat kelahiran anak Rina ku batalkan. Seperti baisanya, sebelum ancamanku menjadi kenyataan, dia selalu mengalah dan bagiku itulah kelebihannya. Kecuali, kalau aku berbuat salah dan tak mau minta maaf, sampai berjam-jampun dia ngotot mempertahankan yang di yakininya benar. Meski hati Magda kembali lembut kadangkala kerasnya seperti batu cadas.

Tetapi aku yakin apa yang baru diucapkannya, melepaskanku, itu hanya ekspresi kekesalan hati bukan sesugguhnya. Buktinya, di akhir pembicaraan, dia bertanya kepergianku pada malam hari. Magda masih merasa khawatir kalau aku akan ke bar, minum hingga teler, dia tahu kebiasaan jelekku itu. Soal kesabaran? Tidak perlu diragukan dan diapun tahu siapa aku sesungguhnya; Kadangkala "nakal" walau tidak terlalu jauh, itupun hanya sekali dengan Laura. Namun, sebelum menapak lebih jauh dengan Laura, aku kembali ke pangkuan hati Magda dan minta maaf.

Aku yakin dia telah memafkanku walau mulutnya sukar mengatakannya. Sebelumnya, aku pernah "bersembunyi" dibawah selimut perempuan lain, Susan ibu dosenku, itupun sebagai pelarian hati yang luka, ketika cemburuku meluap hingga keubun-ubun karena Magda duduk bersanding dengan Albert. Kini, Susan datang lagi mengusik kehampaan sesaat, kala aku dan Magda dalam "berduka lara"

***

AKU segera menghubungi Susan setelah berulangkali dia meninggalkan pesan kepada ibu kos. Susan berteriak kegirangan ketika di hubungi melalui telephon.
“ Zung! Susah benar hubungin kamu kayak orang penting. Sejak kemarin aku dan Hendra menunggumu. Kesinilah, temani aku makan malam, “teriaknya.
“ Iya, aku mandi dulu.”
Halah kamu. Mandi disini saja, cepatan aku lapar, “desaknya.

Aku berlari keluar menunggu taksi tanpa mengganti pakaian yang aku kenakan sejak kemarin malam saat berpergian dengan Laura ke casino. Selama di perjalanan, hatiku tertanya-tanya, kenapa aku harus menemuinya malam ini sementara dia bersama dengan Hendra?

Susan segera membuka kamar ketika mendengar suaraku. Dia memelukku erat setelah mencium pipiku, berucap lirih ditelingaku; ” Zung, aku kangen.!”
“ Kangen atau lapar?”
“ Zung, mangkak ah. Aku kangen. Susan sudah minta ijin ke Magda untuk “pinjamin” kamu.”
“ Urusan apa aku dengan Magda," balasku agak kesal.
“ Zung! Jangan begitulah. Aku dan Magda sudah bicara dari hati ke hati tentang hubungan kalian.”
“ Kalian bicarakan juga tentang hubungan kita.?”
“ Zung! Kamu masih suka berpura-pura.”
“ Itu yang Susan mau, bukan? Eh..om Hendra dimana?”
“ Dia juga ada urusan dinas ke Bandung, minggu depan dia baru kembali,” ujarnya seraya menggandeng tanganku keluar kamar.
“ Tunggu dulu, aku belum mandi. Tadi janji, Susan mau mandiin aku,” ucapku disambut cubitan nakal.
‘ Iyalah, aku tungguin. Jangan lama-lama kayak perempuan hamil.”
“ Lho kok tahu, memang Susan sudah pernah hamil. Wong kamu saja nggak pernah..."
" Zung...sudah...! " teriaknya
***
Susan menolak turun dari taksi ketika aku membawanya makan malam ke pelataran parkir terminal blok M.
“Zung, ngapain kita kesini?”
“ Makan.!”
“ Nggak ah. Tan Zung malu-maluin, masya kita makan di kaki lima.”
“ Maunya Susan makan dimana?”
“ Dimana saja asal jangan dikaki lima.”
“ Makan dihotel untuk orang yang pacaran serius. Disini untuk pasangan yang pernah cerai kemudian ketemu lagi karena kangen," balasku.
“ Zung, aku malu nanti kalau kebetulan dilihat oleh teman seperjalananku yang dari Medan.”
“ Kenapa nggak makam malam dengan teman-teman Susan...?"
" Disini tempatnya bersih kok bu,” selah sopir taksi, membuat Susan tersipu malu.
“ Kita pulang?” tanyaku ngenyek setelah turun dari taksi.
Susan langsung menarik tanganku menuju warung tanpa menjawab. “ Abang yang pesan makanannya.”

“ Iya sudah pasti. Kalau dikaki lima aku yang pesan, tetapi kalau di restauran bagian Susan.”
“ Ya...ya..Tan Zung, ngajak ribut terus.!”
“ Itu bagian dari kehidupan orang yang ....”
Susan segera mencubit pahaku sebelum aku mengakhiri kalimatku. “ Sepertinya wajahmu sedang berduka, karena ditinggal kekasih? Bukankah baru tadi pagi om Hendra berangkat ke Bandung?”
“ Wajahku murung? Nggak ah.” ujarnya dengan senyum mengembang.
“ Katanya kangen, ketemu malah ngajak ribut,” ujarku disambut ketawa lepas, wajahnya menunduk.
“ Zung.Nanti saja kita ribut lagi dikamar, sekarang makan dulu.” ucapnya masih ketawa.
Wajah Susan tampak kesal ketika pengamen gonta ganti menggangu percakapan dan kenikmatan makan malam kami. “ Zung. Kita pulang, berisik.”
“Aku menikmatinya kok.”
“ Zung. Aku pulang duluan?”
“ Susan, ini Jakarta bukan Medan,” gelakku sambil menarik tangannya kembali ke hotel. ( Bersambung)

Los Angeles, August 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/