Tuesday, November 3, 2009

Telaga Senja (154)

=======================
“ Kok papa nggak mau jawab mama?”
“ Ya, terimakasih ‘yang.”
“ Kok begitu saja pap,?” rengeknya.
Matanya berbinar ketika aku menjawab: “ Ya mam.”

=======================

Rintahan karena rasa ngilu pada lengan membangunkan tidur Magdalena. Aku merasa suprise Magda tidur bersamaku ditempat tidur berukuran relatif kecil. “ Selamat pagi pap,” sapanya disisi pembaringanku. Aku membalasnya dengan menepuk pahanya. “ Magda, rasanya lenganku mau copot. Tolong dong ambilkan obatku.” Perlahan tubuhku ku miringkan menyentuh pipinya. Magda bergeming bahkan menutupkan matanya, namun senyuman terukir di kedua bibir tanpa lipstik itu. Aku megulang permintaanku. Juga masih diam.
“ Mam, tolong ambilkan obatku dong.”

“ Ya pap.“ jawabnya lantas mencium pipiku. Magda masih belum bergerak dari tempat tidurku sementara gigitan ngilu pada lenganku semakin perih. “ Magda, buruan. Lenganku terasa mau copot nih,” bujukku.
“ Biarin. Magda mau mendengar jeritan papa.” Dia menatapku saat bibir bergetar dan merintih diiringi air mata menahan sakit. Buru-buru dia bangkit dari tempat tidur ketika aku berusaha duduk.

Duh...kasihan si papa. Mama kejam iya pap?” gelaknya sambil melap keringat dingin di keningku. Aku hanya tersenyum getir atas tingkah Magda pagi itu.
Magda memberiku sebuah pisang sebelum menelan obat. “ Magda, aku nggak butuh pisang. Aku butuh obat.“
“ Papa harus turut perawat. Mau nggak? ancamnya seakan serius. “ Nggak boleh makan obat ketika perut lapar,” imbuhnya.
“ Magda nggak cocok jadi perawat. Cocoknya jadi ibu tiri,” ejekku disambut tawa.
“ Papa kok kejam amat. Memang ada potonganku jadi ibu tiri ?”
Iya lah, kasih obat kok main bentak.!” Magda semakin geli mendengar omelanku.

Magda bergegas ke dapur, setelah memberiku obat, membantu ibu kost menyiapkan serapan. Aku mendengar percakapan mereka begitu akrab, bagaikan antara anak dan orangtua. Sesekali mereka tertawa diselah percakapan. Magda menemuiku ke kamar setelah usai membantu ibu kost. Dia menolongku bangkit dari tempat tidur.
***
Seperti sediakala ketika selama lima tahun pacaran , Magda tidak merasa sungkan utak-atik isi lemari dan merapikan kamarku. Pagi itu Magda buat kejutan. Selembar syal berwarna biru dengan initial "MT" digelar diatas meja tulis di kamarku. Weleh..selama ini akupun tak pernah memperhatikan kalau syal pemberian Maya waktu di kampung terikut.
" Pap, yang aku sulam dimana,?" tanyanya sambil menyiapkan serapan. " Lho bukan yang itu?" jawabku berlagak bloon. Magda tersenyum getir mendengar jawabanku.
" Pap, kita makan atau berantam dulu?"
" Berantam sambil makan lah biar seru. Biar kayak sudah suami isteri."
" Dulu, ketika abang pulang kampung, aku menemukan puluhan surat bekas pacarmu. Sekarang sudah di Jakarta, menemukan syal dengan sulaman berinitial " MT". " M" itu initial siapa pap? Maya?"
" Bukan! Singkatan Magdalena," balasku.

" Baru tadi malam kita berjanji, jangan ada luka karena dusta diantara kita. Masya sih aku nggak tahu karya tanganku?"
" Aku tidak ada niat berdusta. Hanya ingin menguji daya ingatmu. Ternyata masih segar dan tajam," jawabku berkelit.
" Memang sejak dulu, papa selalu berdalih kala terjebak. Pap, mulai sekarang kita harus bersikap jujur. Mama juga nggak sempurna kok."
Aku beranjak dari kursi menuju lemari pakainku. " Magda, tolong simpan atau buangkan itu. Aku mau pakai karya calon isteri," ujarku sambil menyerahkan taplak meja berinitial" MH" hasil sulamannya. Wajahnya kembali cerah setelah melihat hasil sulamannya.
***
Sebelum menghadiri undangan makan malam om Felix dan Andrian, Magda mengajakku melawat Laura ke rumah sakit. Dalam perjalanan menuju rumah sakit, aku mengingatkan Magda, supaya jangan memanggilku "papa" selama di Jakarta. " Nggak enak didengar ibuku. Nanti malah rencana kita berantakan."
" Zung malu dipanggil "papa"?"
" Kenapa malu? Nantilah waktu kita sudah di Medan"
" Bagaimana nanti di depan Laura, boleh aku panggil papa?"
" Terserah Magda."
" Jangan ah... kasihan Laura. Nanti dikira aku sengaja angekin dia." ucapnya ketawa.

Di depan pelataran parkir rumah sakit, Magda membeli sejumlah tangkai bunga. " Pap...eh...bang..pilih yang mana?" tanyanya sambil memilah kembang.
" Kok aku disuruh milih?"
" Jujur bang. Memang nggak pernah beli kembang untuk Laura?"
" Sungguh! Aku belum pernah beli kembang untuknya."
" Waktu ulang tahunnya abang hadiahkan apa?"
" Magda, nggak usah mancin-mancing iya. Ntar kita ribut lagi."
" Nggak. Aku ngak mau ribut lagi. Aku hanya bertanya. Nggak ada maksud apa-apa kok. Tetapi tega amat sih abang, ulang tahun teman spesial kok nggak beri apa-apa. Permen kek!" ujarnya ketawa.

" Ketika Magda juga ulang tahun, aku belum pernah memberi sesuatu."
" Pernah bang! Sekarang masih aku kenakan. Sungguh abang nggak tahu?"
" Yang mana? Kalung itu aku beri bukan pada ulang tahunmu ?"
" Benar abang nggak ingat?"
" Apa dan kapan?"
" Lima tahun lalu ketika hari ulang tahunku, abang merajuk, saat aku menolak ajakan makan ke restauran di Selat Panjang. Tetapi karena merasa kasihan, aku bersedia. Masih ingat bang, sebelum kita berangkat berdua, abang juga merajuk, karena aku mengajak Mawar." ujarnya ketawa sambil jalan menuju rumah sakit. Sepulang dari restauran, lanjutnya, kita duduk di teras rumah. Disanalah pertama sekali abang menyerahkan "bingkisan" abadi yang ku kenakan hingga saat ini."

" Bingkisan apa?"
" Abang lupa? Ketika itu berbisik: " Magda aku menyangimu". Ingat bang? Setelah abang mengucapkan itu, aku lari masuk ke kamarku? Zung, di kamar aku menghempaskan tubuhku ke atas tempat tidur. Jantungku hampir copot mengetahui "kenakalan"mu. Aku nggak duga kalau abang mampu mencuri hatiku. Padahal saat itu aku menganggap abang hanya teman belajar. Entah kenapa aku pun terkapar dalam buaian cinta abang, hingga kini. "ujarnya sambil memeluk pinggangku.

" Magda kau berhasil mengecohku. Aku pikir, maksudmu, pemberian berupa barang. Ya iya, aku masih ingat, tetapi sudah nggak terpikir kesana."
" Abang melupakannya? Zung, hingga akhir usiaku tidak akan mungkin melupakannya. " ( Bersambung)

Los Angeles. November 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/