Tuesday, June 30, 2009

Telaga Senja (67)

Align Right

http://www.youtube.com/watch?v=4nAL3krkCSE

No Mountains too high, for you to climb /All you have to do is have some climbing faith, oh yeah /No rivers too wide, for you to make it across /All you have to do is believe it when you pray

And then you will see, the morning will come /And everyday will be bright as the sun / All of your fears cast them on me /I just want you to see...

I'll be your cloud up in the sky /I'll be your shoulder when you cry /I'll hear your voices when you call me /I am your angel /And when all hope is gone, I'm here /No matter how far you are, I'm near /It makes no difference who you are /I am your angel /I'm your angel

I saw the teardrops, and I heard you cry /All you need is time, seek me and you/ shall find /You have everything and you're still lonely /It doesn't have to be this way, let me show you a better day

And then you will see, the morning will come /And all of your days will be bright as the sun /So all of your fears, just cast them on me /How can I make you see...

I'll be your cloud up in the sky /I'll be your shoulder when you cry /I'll hear your voices when you call me /I am your angel /And when all hope is gone, I'm here /No matter how far you are, I'm near /It makes no difference who you are /I am your angel /I'm your angel

And when it's time to face the storm /I'll be right by your side /Grace will keep up safe and warm And I know we will survive / And when it seems as if your end is drawing near /Don't you dare give up the fight / Just put your trust beyond the sky...

I'll be your cloud up in the sky /I'll be your shoulder when you cry /I'll hear your voices when you call me /I am your angel /And when all hope is gone, I'm here /No matter how far you are, I'm near /It makes no difference who you are /I am your angel /I'm your angel

I'll be your cloud up in the sky /I'll be your shoulder when you cry /I'll hear your voices when you call me /I am your angel /And when all hope is gone, I'm here /No matter how far you are, I'm near /It makes no difference who you are /I am your angel /I'm your angel

=================
" Zung, Susan titip salam,” ucap Magda mengawali pembicaraan kami.
“ Itukah kalimat yang paling pantas Magda sampaikan malam ini, setelah aku berjam-jam menunggumu.?
==================
SEJENAK Magda diam mendengar ungkapan kekecewaanku. Akupun menyesali ungkapan perasanku itu yang sebenarnya merupakan ekspresi rindu dendamku. Tiga jam menunggu serasa tiga hari dalam penantian.

“Zuuung, Susan yang pernah kau cintai, sepeninggalmu dia menjadi sahabat tempatku berbagi rasa. Aku hanya menyampaikan pesan sahabatku, sahabatmu juga.Kekecewaan apa yang abang pendam terhadapnya?”
“ Maaf Magda, aku tidak memendam apapun atasnya juga denganmu. Magda, aku hanya tak mampu menahan rindu dan Magda tidak memahaminya.”
“ Bang, aku mengerti, mami juga sudah cerita kalau abang berulangkali menghubugiku. Tetapi karena aku merasa Susan pernah bagian dari hidup abang, maka aku menyampaikan pesan itu. Yakinlah bang, nggak sedikitpun niatku menyinggung perasaanmu. Kini, Susan adalah sahabat baikku, seperti suratku terdahulu, cerita kalian berdua senantiasa menumbuhkan rasa rinduku untukmu. Bang, bayang wajahmu selalu muncul manakala aku bertemu dengan Susan, rindukupun terobat. Masihkah bang menyalahkan aku.?”

“ Sekali lagi, maafkan aku Magda. Aku juga tak ada niat menyinggung perasaanmu. Itu hanya ungkapan rindu yang sejak tadi aku menunggumu.
“ Dan menghadiahiku rasa “kesal” saat aku merayakan ulangtahunku,” jawabnya dengan tawa renyah.
“ Magda, aku kesal karena rindu memburuku.”
“ Abang masih merindukanku di kejauhan? Bukankah sosok lain ada mendampingimu, kini.?”
“ Magda, berucaplah dengan nada-nada rindu, bila hatimu masih menanggung rindu. Mengapa rasa curiga mengiringi kerinduanmu?”

“ Abang sepertinya semakin sensitif setelah seseorang mendampingimu.”
“ Belum ada seorang yang mampu menggantikannmu Magda.”
“ Bukankah Laura begitu baik dan setia mendampingi abang, hingga kini, abang telah mengenal kedua orangtuanya dan tahu kota kelahirannya.?”
“ Dia bukan pendampingku, dia sahabat dan teman sekantorku.”
“ Bang, bukankah aku juga , dulu, sahabat dan teman satu kelas disekolah yang sama, kemudian berlanjut....”
“ Magda! Hentikan kecurigaanmu. Hingga saat ini aku belum mampu mengulang kembali seperti apa yang kita lakukan masa lalu pada siapapun, kecuali kepada Susan, itupun hanya karena pelarian hati yang terluka.”

“ Ah..abang! Bukankah kala itu, dalam bilangan hari, abang mampu mengabaikan diriku kemudian membuat simpul baru manakala simpul cinta kita belum lama terciderai.?”
“ Karena aku sangat kecewa dan aku melampiaskannya dengan api yang masih membara.”
“ Bukankah kemungikinan itu akan terjadi lagi bang.!?”
“ Ya. Bila Magda masih menilai cintaku bagai onggokan sampah.”

“ Zung, malam ini saat merayakan ulangtahunku, sebelumnya dalam batinku mengharap, abang akan berbicara tentang masa lalu yang kita lalui bersama dengan Mawar dan teman-teman lainnya. Kala itu, kita duduk bersama ditaman kecil, dibelakang rumah, setelah pulang dari restauran kesukaanmu itu. Menjelang malam, abang diam-diam memetik setangkai bunga mawar yang tumbuh dipojok taman itu, kemudian meletakkan dipangkuanku. Semuanya teman kita yang melihatnya tertawa lucu, wajah abang memerah karena malu. Masih ingatkah abang? Saat itu wajahku marah terhadap teman-teman karena menertawaimu, akhirnya mereka diam. Semua teman kita menyaksikan, setangkai bunga mawar yang abang berikan aku gemgam dan aku masuk kekamar serta meletakannya diatas meja belajarku.

Tadipun, sejak dirumah Susan, pikiranku melekat dalam kenangan lama yang kita ukir bersama. Oh..iya..masih ingatkah abang, ketika kita duduk di sudut ruangan restauran, kali pertama abang mencium pipiku disaksikan sepasang mata pelayan restauran itu. Abang masih ingatkan? Seandainya, saat itu, aku melihat wajahku didepan cermin, pastilah wajahku memerah, sebab abang melakukannya secara tiba-tiba tanpa seijinku. Bang, ketika itu abang melihatku agak gemetar. Sungguh, itulah kali pertama seseorang yang aku cintai, memberiku ciuman, suatu kenangan indah yang akan kubawa hingga berkalang tanah."

Dan, itulah kali pertama abang menyatakan cintamu tanpa kata. Zung, ternyata anganku hanyalah sebatas angan, harapan tinggal harapan. Bang, aku takut abang semakin meradang, bolehkah aku membawa kenangan, milik kita dulu, dalam tidurku.?” tuturnya dengan suara tersendat.

Bagai sembilu menusuk kalbu saat Magda menuturkan runtut kenangan lama. Aku tak mengira, malam ini, dia mengharap aku ”bersenandung” tentang warna-warni cinta yang kami miliki, tempo dulu. Magda, kembali mengajukan pernyataan sekaligus pertanyaan karena aku belum menjawab pertanyaan sebelumnya.

“ Zung, mungkin tuturanku tidak lagi bagian dari kenanganmu, terhapus sudah setelah Laura kini mendampingimu, tapi bolehkah aku membawa kenangan, milik kita tempo dulu, dalam tidurku.?” tanya dia lagi masih dengan suara tersendat.

“ Ya! Magda, semuanya masih segar dalam benakku, kenangan itu bagian dari hidupku dan aku akan mebawanya hingga diujung kehidupan. Selama ini Magda tak pernah memberi kepastian, tetapi kini Magda menukil kenangan yang kita ukir bersama. Mengapa.?”

“ Mengapa? Bukankah aku selayaknya bertanya, ada apa denganmu bang? Meneleponku untuk mengucapkan selamat ulang tahunku tetapi teriring rasa kecewa. Kepastian apa lagi yang abang harap dari seorang perempuan sepertiku. Aku bukan lagi Magda yang pernah abang cintai, setelah kehadiran Laura bukan? Bukankah aku kini hanya sebagai pelengkap tumbal kerinduanmu.?”

“ Magda, mengapa bicara seperti itu? Tolonglah mengerti. Aku berulangkali mengatakan, aku masih tetap mengharapkan kehadiranmu bahkan telah berjanji kepada orangtuaku, mamatuamu, pilihanku hanyalah dirimu? Meski orangtuaku merasa berat karena hubungan kekerabatan kita, tetapi mereka telah menyetujuinya. Aku telah mempertaruhkan kedua orangtuaku, belum cukupkah? Aku harus bagaimana agar Magda mempercayaiku.?”

“ Bersikaplah jujur terhadap diri sendiri bang, bukan hanya mengatakannya.!”
“ Ya. Aku berlaku jujur dan telah mengatakan sejujurnya, tetapi Magda selalu mencurigaiku.”
“ Dulu ketika abang mencurigai hubunganku dengan Albert, abang mengatakan; "kejujuran tidak cukup dengan kata-kata.”
“ Magda jangan sebut-sebut lagi nama lelaki itu. Aku muak.!”

“ Mendegar nama tanpa sosok sajapun abang marah dan muak,? Lalu aku tak berhak mencurigai ketika sosok perempuan lain berada disisimu? Abang! Mestinya mengerti, kenapa aku cemburu. Bukankah itu tandanya aku masih menaruh harapan pada abang? Bukankah juga harapan itu yang selalu tunggu dariku, hingga kini,?” ( Bersambung)

Los Angeles, June 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Monday, June 29, 2009

Telaga Senja (66)

==================
"Bagaimana menurut pendapat mas Tan Zung.?” tanya maminya gusar.
“ Aku sependapat dengan Lala, jangan dulu diberitahu kepada pak Adrian. Bila perlu aku cukup mengingatkannya.” ujarku mantap.
" Jangan mas! nanti dia cari gara-gara," cegah Laura.
===================
SETELAH makan malam Laura bersama kedua orangtuanya mengantarkanku kembali ke hotel. Sebelum masuk kamar, mereka mampir sebentar, duduk di lobby. “ Aku mau mengambil sesuatu dari kamar mas Tan Zung, papi dan mami tungguin Laura sebentar,” ujarnya seraya mengikuti langkahku.

Malam itu aku benar-benar jengah atas sikap Laura memperlakukanku berlebihan dihadapan kedua orangtuanya. Skenario apa yang dimainkannya pun aku tak tahu. Untuk Laura semuanya berlangsung spontan dan mengalir, tetapi tidak denganku. Aku kikuk dan merasakan ada sesuatu dibalik skenario yang dilakonkannya.
Sejenak aku menahannya dikamar dan bertanya; “ Laura ! Malam ini kamu beda dengan yang aku kenal selama ini.”
“ Apa yang beda mas? Perasaanku biasa-biasa saja.”
“ Tetapi tidak seperti biasanya Laura! Dihadapan papi-mamimu kamu perlakukan aku sangat “istimewa”, kenapa?”
“ Istmewa? Ah...nggak tuh mas.”
“ Laura, katakan sejujurnya, atau aku tidak membiarkanmu meninggalkan kamar ini.?”
“ Mas mau menculikku ,?” tanyanya dengan mimik wajah seakan serius.
“ Ya, sampai Laura mengaku.”
“ Bagaimana kalau aku suruh dulu papi dan mami pulang, agar mas lebih lama menahanku disini,?” jawabnya ketawa.

“ Laura! aku serius. Jawablah, nanti papi mami menunggumu terlalu lama.”
“ Mas, esok matahari masih bersinar.” jawabnya semu membuatku semakin tak mengerti.
“ Sesuatu yang tidak pasti Laura!” kataku membalas jawaban semunya.
“ Pukul berapa besok kita berangkat?” tanyanya mengalihkan pertanyaanku.
“ Tergantung matahari esok,” jawabku.
“ Pasti, matahari akan bersinar,” ujarnya ketawa,
" Barangkali esok awan gelap menutupinya."
" Tidak. Aku yakin mas, meski bukan tanganku yang mengatur gerak matahari, tetapi aku tahu dari sinar sehariannya, memberiku secercah sinar kehangatan," ucapnya, lalu melangkah keluar dari kamarku.

Halah.....aku semakin tak memahami makna ucapannya. Tetapi besok, mungkin, saat kunjungan ke candi Borobudur, akan terkuak makna ucapannya. Aku menghantarkannya ke lobby tempat papi-maminya menunggu Laura, namun kami tak menemui mereka disana. Laura tersenyum mendengar pertanyaanku karena diliputi rasa gusar; “ Papi-mami dimana?” tanyaku
“ Mungkin mereka sudah pulang, karena menunggu terlalu lama. Mas terlalu lama sih “menculik” ku,” jawabanya ketawa. Jawabannya yang kurang serius mengurangi gundahku. Tak lama kemudian kedua orangtuanya muncul dari kantor hotel, “ Laura kamu ngerjain aku,” kataku lega, namun dia tak menggubris perkataanku.

Laura menanyakan orangtuanya; “ Darimana sih pap, dari tadi mas Tan Zung cariin, “ tanya Laura dengan wajah serius. Ah...lagi-lagi Laura kerjaiin aku.
“ Ada yang perlu mas ,?” tanya papi Laura.
“ Oh..nggak oom, aku kira oom sudah pulang “ jawabku gugup. Laura ketawa melihat kegamanganku sambil tangannya bergayut di lengan papinya, lantas Laura mengajak pulang papi dan maminya. “ Mas, jangan lupa telepon mbak Magda,” ingatnya. “ Telepon aku besok pagi kalau mas sudah siap,” lanjutnya sebelum melangkah masuk kedalam mobil.

“ Mas Tan Zung, bilang Mathias kalau ada yang perlu,” pungkas papinya. Sepeninggal mereka, aku masih terus diliputi pertanyaan, kenapa Laura masih terus berlagak akrab bagaikan kami pasangan yang sedang dibalut asmara.?
***
BERULANGKALI aku menghubungi Magda, setelah sebelumnya berbicara beberapa saat dengan maminya. Malam itu telah bergulir pada pukul 9:00 malam, namun dia belum kunjung tiba dirumahnya, terakhir inanguda, mami Magda berujar: “ Zung, nanti aku beritahu, biar nanti Magda menghubungimu.”

Dalam keheningan malam, meski badan terbujur diatas tempat tidur, pikiran melayang jalang, sejenak, kepada Magda yang belum menghubungiku, sementara jarum arlojiku telah menunjukkan pukul 22:30. Kemudian sel otak lainnya menggubris perlakuan Laura sejak dirumahnya hingga di restauran, terakhir ketika mereka hendak pulang dari lobby Hotel.

Lantunan lagu-lagu lama berirama sendu menghantarkan tidurku, menghentikan cengkrama liar dalam angan terhadap Laura. Tidak lama kemudian, redup mataku terusik dering telepon malam pukul 23: 00; Suara nyaring terdengar menyambut ucapan selamat malamku ketika mengangkat gagang telepon; “ Mas, tadi telepon kesini iya,?”
“ Iya, kalian darimana?” tanyaku.
“ Mas, maaf, aku tadi ajak Magda ke rumah ibu Susan setelah makan malam di restauran Kp. Keling tempat mu dan mbak Magda, dulu, berkencan,” ujarnya diiringi tawa.

“ Ngapain kalian pergi kerumah Susan.?”
“ Emang nggak bisa? Kan elu sudah “cerai” dengan ibu itu.? Eh...mas jangan marahin Magda iya. Aku yang ngajak dia kesana. Janji iya mas!” ujarnya serius.
“ Ya. Tolong panggilkan dia, aku mau bicara. Aku bosan bicara dengan lu,” candaku.
“ Apalagi gue,” balasnya, lantas memanggil Magda.

“ Selamat hari ulangtahun Magda. Kali pertama , dalam lima tahun terakhir, kita tidak bersama saat merayakan hari kelahiranmu. Sejak tiga jam lalu aku gelisah menungguimu. Tadi siang aku kan sudah janji mau telepon, kenapa pulangnya larut malam seperti ini.?"

" Zung, Susan titip salam,” ucap Magda mengawali pembicaraan kami.
“ Itukah kalimat yang paling pantas Magda sampaikan malam ini, setelah aku berjam-jam menunggumu.?”(Bersambung)

Los Angeles, June 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Saturday, June 27, 2009

Telaga Senja (65)


These walls keep a secret/That only we know/But how long can they keep it?/'Cause we're two lovers, we lose control

We're two shadows/Chasing rainbows/Behind closed windows/Behind closed doors
If walls could talk/Oooh... they would say I want you more/They would say
Hey...ever felt like this before?/That you'll always be the one for me


If walls had eyes/Mine...they would see the love in sight/They would see /Me...in your arms in ecstasy/And with every move they'd know I love you so/ Two people making memories/Just too good to tell/These songs are never ending (?)When we're lying where we fell / We're painting pictures/Making magic/Taking chances/Making love

[Chorus]
When I'm feeling weak/You give me wings/When the fire has no heat/You light it up again/When I hear no violins/You play my every string/Stop the press/Hold the news/The secret is safe between me and you/Can you keep a secret?


[Repeat Chorus]
I love you so/Ooooh I love you baby/Ooooh baby/Love you love you love you so honey
Love you love you love you so/In your arms in ecstasy/If they could only see you and me baby/Just you and me baby

========================
“ Mbak, selamat hari ulang tahun, panjang umur. Salam untuk Tante dan Rina,” ujarnya. Laura mengembalikan telepon. Aku tak mendengar lagi suara Magda diujung sana.
“ Magda, kami mau pergi dulu kedokter. Nanti aku telepon lagi iya.”
“ Iya bang,” jawabnya hampir tak kedengaran.
========================

AKU meninggalkan kamar dengan pikiran terganggu saat menutup telepon karena Magda tiba-tiba diam setelah Laura mengucapkan selamat hari ulangtahunnya. Sebenanya aku ingin bicara lagi dengan Magda, tetapi Laura telah menungguku diluar.

Laura mengenderai sendiri mobil ketika kami pergi ke tempat praktek dokter. Tiba disana, dia langsung menemui dokter Lou, menurutnya, dr. Lou adalah dokter keluarga mereka.
" Mas, aku mau temani ke dalam,?" tanyanya.
" Tidak usah, dokternya nggak galak kan,?" guyonku.
Aku menjelaskan kepada Laura setelah keluar dari kamar praktik dokter bahwa aku tidak sakit, hanya kelelahan. “ Dokter hanya menganjurkan istrahat yang cukup dan makan sejumlah vitamin.”

Setelah dari dokter Laura mengajakku kerumahnya. “ Kita jemput sopir dulu kemudian jemput papi dan mami , tadi aku sudah janji kita makan malam bersama,” ujarnya.
“ Tapi aku sudah janji mau telephon Magda malam ini, Laura.”
“ Nanti mas boleh telepon dari restauran,” jawabnya.
Aku tak dapat menolaknya apalagi dia telah janji dengan kedua orangtuanya, bagaimanapun aku harus mengapresiasi waktu khusus yang telah disiapkan, juga merupakan kehormatan bagi diriku sendiri.

Dirumah, papi dan mami Laura menyambutku dengan ramah. Sebentar kami bicara diruang tamu yang cukup besar, tidak jauh beda dengan ruang tamu Martha, tantenya Laura di Jakarta. Sejumlah barang pajangan tertata rapi berikut sejumlah lukisan tergantung pada dinding. Ditengah percakapanku dengan kedua orangtua Laura , mataku sempat terpaku dengan satu lukisan berukuran besar, dipojok bawah lukisan tertulis nama pelukis kesohor .

Masih dalam percakapan dengan kedua orangtuanya, Laura menjelaskan kepada papinya kenapa kami naik kereta yang semestinya, menurut papinya, naik pesawat. “ Pap, mas Tan Zung sudah sering naik pesawat, mas pingin naik kereta,” ujarnya semangat disambut tawa papi dan maminya.
“ Oh..iya? Tapi Lala , panggilan seharian Laura, mbok beli tiket di kelas,” balas maminya.
“ Tiket kelas sudah habis jauh hari mam, tiket yang itu juga aku dapat dari calo,” jelas Laura. “ Ayolah pap, nanti kemalaman, mas TanZung mau telepon ke Medan. Malam ini teman mas akan merayakan hari ulangtahunnya,” ajak dia sambil beranjak dari tempat duduknya.
***
Tampaknya pemilik dan karyawan restauran sudah sangat mengenal keluarga Laura, terlihat dari sambutan dan penyedian tempat khusus untuk kami. Laura meminta daftar menu makanan khusus untukku. “ Mas, pilih yang sesuai dengan selera, asal jangan soto,” ujarnya ketawa. " Mami tadi sudah pesan lewat telepon untuk mereka," imbuhnya.

“ Lala, biarkan mas Tan Zung pilih sendiri, sotonya khas dan enak kok” tegur maminya
“ Apa mas nggak bosan makan soto? Maaf mas, buka rahasia,” ujarnya ketawa lepas.

Malam itu, sejak kami di rumah hingga ke resaturan sikap Laura sangat berbeda. Dia bukan Laura yang aku kenal sebelumnya. Dihadapan kedua orangtuanya Laura sangat manja, orangtuanya “patuh” apa kata Laura. Sikapnya juga berbeda terhadapku dibanding manakala kami hanya berdua keseharian, sikapnya biasa-biasa saja. Tetapi ketika dihadapan orangtuanya dia memberlakukanku sebagai bagian dari keluarganya, seakan sudah bersahabat bertahun-tahun lamanya. Dia tanpa canggung menatap lama dan menegurku bila aku masih enggan “bersahut-sahutan” dengan dia dihadapan orangtuanya.
“ Pap, besok pagi kami mau ke candi Borobudur. Lala pinjam dulu sopir papi, boleh nggak?” tanyanya dengan nada manja. Kemudian dia menolehku dan bertanya, “ Setelah itu kita mau kemana mas ?”

Maminya menegur Laura dengan ketawa,” Lala, makan dululah, setelah itu nanti atur rencana kalian.!”
“ Mam, aku tanya papi dan mas Tan Zung!?” protesnya. Buru-buru papinya menengahi “soal jawab” Laura dan maminya. “ Iya.... sayang, boleh. Mau pakai mobil yang mana?”
“ Terserah yang mana pap. Oh...iya kami mau bepergian dengan adik Lam Hot. Boleh kami pakai Jeep.?”
“ Oh..ya..! Jangan lupa bilang Mathias supaya diisi bensin sebelum kalian berangkat, juga persiapkan bekal kalian.” ujar papinya, lalu menambah sup kesayangan Laura ke mangkuknya.
Duh...Laura keterlaluan, dia mengambil dan menyorongkan mangkukku untuk diisi papinya. Buru-buru aku menarik mangkuk sebelum diisi. Laura malah ngomel, “ Lho , kenapa ? mas nggak suka ,” tanyanya, matanya menatapku manja.

Setelah selesai makan malam, Laura mengingatkanku untuk menelepon Magda. Namun perasaanku kurang sreg meninggalkan mereka di meja makan.
“ Nantilah aku telepon dari Hotel,” elakku. Laura menarik tanganku menuju kantor restauran, kemudian dia memutar nomor yang aku berikan.
“ Mas, nggak ada yang angkat, barangkali nggak ada orang dirumah,’ ujarnya setelah beberapa kali dia memutar nomor teleponnya.

Aku dan Laura kembali bergabung dengan orangtuanya ke meja makan. Laura menjawab pertanyaan papinya perihal diriku, padahal papinya menanyakan langsung kepadaku; berapa kami bersaudara, orangtuaku tinggal dimana dan tamat dari universitas mana. Maminya hanya tertawa melihat putrinya agak agresif. Malam itu, kepada orangtuanya, Laura bercerita banyak mengenai tanggung jawabku dikantor, juga menuturkan bila aku hampir setiap hari kerja ekstra menyelesaikan tugas yang terbengkalai karena ditinggal karyawan yang aku gantikan.
"Pap, mas Tan Zung terkadang lupa makan, nggak pikirin kesehatannya, padahal gajinya nggak beda dengan yang lain, benar nggak mas.!?" ujarnya sambil melirikku.

Setelah dia mengumbangku habis ( puja-puji, pen). dia bercerita tentang manager kantor yang mata keranjang. Sebelumnya dia belum pernah mengeluh atau bercerita kepadaku. Aku kaget mendengar tuturannya perihal manager kami itu. Menurut Laura, manager sering bersikap tidak simpatik. “ Manager itu masih sering menggangguku pap,” katanya mengagetkanku.
“ Sudah lapor kepada mas Adrian?” tanya maminya.
“ Belum mam. Aku takut om Adrian akan memecatnya. Bisa-bisa anak isterinya nggak makan,” jawabnya.
“ Oh..dia sudah berkeluarga!?” tanya ayahnya.
“ Iya sudah pap!”
“ Perlu papi telepon Adrian?”
“ Jangan dulu pap. Nanti kalau masih terus, aku akan beritahu om Adrian.”

“ Bagaimana menurut pendapat mas Tan Zung.?” tanya maminya gusar.
“ Aku sependapat dengan Lala, jangan dulu diberitahu kepada pak Adrian. Bila perlu aku cukup mengingatkannya.” ujarku mantap.
" Jangan mas! nanti dia cari gara-gara," cegah Laura.( Bersambung)
Los Angeles. June 2009


Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Thursday, June 25, 2009

Telaga Senja (64)

Ingat, dulu, aku tergolek lemah ditempat tidur, pura-pura sakit karena takut dimarahi Magda. Saat itu aku dibelikan makanan kesukuaanku kwetiau goreng kemudian menyuapiku. Kini jari perempuan lain menyentuh kelopak mataku dalam pembaringan.
===================
Aku merasakan perihnya mata karena tetesan cairan yang semestinya untuk mata yang sedang sakit terpaksa kutahankan, korban kebohongan. Laura semakin prihatin ketika aku meringis kesakitan, perih. Segera aku memiringkan tubuh untuk mengeluarkan cairan itu dari mata. Perlahan dia membalikkan tubuhku, wajah menghadap keatas; Dia mengusap cairan yang mengalir diwajahku.

Disisi pembaringan Laura berusaha menghilangkan rasa sakit mataku melalui pembicaraan ringan berikut rencana kunjungan wisata apabila kesehatanku sudah pulih. Dia menyebutkan daerah wisata yang sering aku dengar dari kawan-kawan yang sudah pernah mengunjunginya. Dari semua tempat wisata yang disebutkannya, hanya satu yang paling tertarik, Candi Borobudur. Suatu saat temanku bercerita, ada suatu stupa atau entah apalah namanya di candi itu, bila tangan kita dapat menjangkau patung didalamnya, pertanda kita akan mendapat rezeki. Apa yang kita inginkan akan tercapai. "Mau kaya, mau perempuan cantik bisa, apabila patung didalam itu dapat dijangkau." ujarnya.

Aku manggut-mangut mendengar bualan kawan itu. Ah..belumpun kujangkau patung itu, semua temanku perempuan cantik-cantik. Soal kekayaan? Akupun sudah pernah kaya, sayang uangku ditilap oleh si Ria, perempuan ketemu di casino itu. Tetapi aku mulai tergoda, barangkali kalau aku dapat menjangkau patung itu, uang yang dibawa kabur si Rina itu dapat kembali.?

“ Mas, pakai obat apa sih, rambutnya bisa hitam seperti ini?” tanyanya menyadarkan pikiran liarku. Laura bertanya sambil menggerai rambutku yang bergelombang. Pertanyaan itu, seingatku, kali ketiga diajukannya.

“ Aku tidak pernah pakai jenis obat apapun. Rambut ini turunan dari ibuku."
“ Mas, gantian hidung yuk,?’ godanya.
“ Mau! Asal diganti tanpa operasi. Ini juga turunan ibuku. Hidung ayahku mancung kesamping seperti hidung adikku Lam Hok,” jawabku lalu dihadiahi ketawa derai Laura, sambil menarik tanganku bangkit dari pembaringan. Laura menyodorkan lengannya ketika kami mau melangkah keluar dari kamar.

Baru saja kami menutupkan pintu, Laura kembali masuk kamar setelah mendengar dering telepon. Aku mendengar volume suara Laura bernada surprise, setengah teriak, senang. " Oh...mbak Magda? Ya mbak, aku Laura, apa khabar mbak? Aku mau temani mas Tan Zung ke dokter. Kata mas Tan Zung mbak sakit. Sudah sembuh?. Oh..iya mau bicara dengan mas Tan Zung, boleh, sebentar mbak," ujar Laura lantas memberikan gagang telepon kepadaku.

Suara Magdalena bergetar, tak tahu karena geram atau karena rindu. " Zung, tadi siang adik Lam Hot beritahu abang sakit. Kenapa abang nggak mau telepon aku.?"
" Iya aku tadi mau telepon tetapi aku tak tahu dimana kantor telepon. Rencana, malam nanti setelah pulang dari dokter aku mau telepon sekalian mengucapkan selamat hari ulang tahunmu."

" Abang berdua satu kamar dengan Laura?" tanyanya masih dengan suara bergetar.
" Bukan! Aku hanya sendiri."
" Abang masih ingat hari ulangtahunku iya.?"
" Masih! " jawabku singkat, lantas membalikkan badanku membelakangi Laura. Aku tak ingin dia melihat perubahan wajahku, sendu, meski setitik embun telah menyejukkan kerinduanku. Sementara aku bicara dengan Magda, dengan bahasa isyarat Laura memberitahukan kalau dia sebentar pergi kekantor. Saat Laura masih dikantor, aku menjelaskan kepada Magda perihal kehadiran Laura dikamarku.

" Magda, Laura baru saja masuk, dia menjemputku mau pergi ke dokter."
" Kenapa abang paksakan berangkat kalau masih sakit.?"
" Kemarin sudah hampir pulih. Tetapi dalam perjalanan aku lemas lagi karena sumpeknya didalam kereta."
" Tetapi abang memaksakan diri bepergian karena ada yang merawat iya,?" ujarnya mulai timbul rasa cemburu.
" Magda, aku merawat diriku sendiri." Jawabanku ini memicu amarahnya.
" Merawat diri sendiri, tetapi Laura ada dikamar abang.!?"
" Tadi sudah aku katakan, dia baru saja datang menjemputku. Dia mau menolongku pergi ke dokter. Magda, aku belum bisa pergi sendirian, lagipula aku belum tahu situasi kota ini."

" Zung, aku kira wajarlah kalau Laura menolongmu sejak abang sakit di dalam kereta hingga sekarang. Seandainyapun aku punya teman entah itu perempuan atau lelaki, aku pasti "merawat"nya pertanda sebagai seorang sahabat. Benar kan abang sakit selama di dalam kereta?"

" Darimana Magda tahu kalau aku sakit selama dalam perjalanan? Aku cuma lemas."
" Bang, kenapa sih abang selalu berkelit kalau ditanya? Nggak mungkin aku tahu kalau tidak ada orang yang memeberitahu. Abang tak pernah berkata jujur, selalu berbelit-belit."
" Makanya Magda jangan curiga terus dan marah-marah. Iya, aku sakit selama dalam kereta."

Laura mengakhiri percakapanku dengan Magda setelah dia kembali menemuiku kekamar.
" Mas, sebentar aku mau bicara," potong Laura sembari memutarkan tubuhku menghadapnya.
" Mbak, selamat hari ulang tahun, panjang umur. Salam untuk Tante dan Rina," ujarnya. Laura mengembalikan telepon. Aku tak mendengar lagi suara Magda diujung sana.
" Magda, kami mau pergi dulu kedokter. Nanti aku telepon lagi iya."
" Iya bang," jawabnya hampir tak kedengaran. ( Bersambung)

Los Angeles. June 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Telaga Senja (63)




It’s the way she fills my senses/It’s the perfume that she wears/I feel I’m losing my defences/To the colour of her hair /And every little piece of her is right/Just thinking about her/Takes me through the night

Every time we meet/The picture is complete/Every time we touch/The feeling is too much/She’s all I ever need/To fall in love again/I knew it from the very start


She’s the puzzle of my heart/It’s the way she’s always smiling/That makes me think she never cries/I feel I’m losing my defences/To the colour of her eyes /And every little piece of her is right

[Chorus]
Like a miracle she’s meant to be/She became the light inside of me/And I can feel her like a memory/From long... ago
[Chorus]
Every time we meet/The picture is complete/Every time we touch/The feeling is too much/Every time we meet/The picture is complete/Every time we touch
The feeling is too much/She’s all I ever need/To fall in love again/I knew it from the very start/She’s the puzzle of my heart

=======================
Aku bintang Virgo, Lam Hot bintangnya lipan, makanya ucapannya berbisa dan selalu membelit ” jawabku.
“ Mana ada bintang lipan mas, mungkin Scorpio maskudnya,?” celutuk Laura.
“ Samanya itu, cuma beda bentuk tubuh, tapi sama-sama beracun dan mematikan,” jelasku disambut tawa cekikan Rima
=========================

USAI makan siang Lam Hot dan Rima mengajakku jalan keliling kota dengan naik bus,tetapi Laura mecegahnya dengan alasan aku masih kelihatan lemah. “ Biarkan mas Tan Zung istrahat dulu, 'ntar kalau sudah pulih benar kita jalan bareng,” ujarnya. Aku hanya diam, meski ada keinginan jalan bersama Lam Hot sekaligus menghindari kunjungan ke dokter, tetapi aku takut Laura merasa tersinggung. Aku selalu menjaga perasaannya sebab Laura jarang membantah jika aku menolak keinginanannya, dia selalu bersikap diam atau membujuk, tidak pernah ada “improvisasi” seperti Magda,misalnya, bertanya kenapa kalau aku menolak, bila perlu “bentak” meski pada akhirnya akan cair, tak jarang pula dia merajuk.

“ Mas, istrahat dulu, nanti sore kita ke dokter. Aku sebentar kerumah mau temani mama ke salon,” ujarnya.
“ Laura, aku boleh jalan sekitar hotel ini.?”
“ Jangan biarkan abang jalan sendirian mbak, ‘ntar kehilangan jejak, mampus kita nanti,” celutuk Lam Hot.
“ Iya, nggak usah khawatir, aku akan temanin mas Tan Zung,” balas Laura.
“ Mas, tunggu disini atau dikamar, aku segera kembali setelah antar mami. Mas jangan pergi sedirian, takut abang apa-apa dijalan nggak ada yang menolong,” ujarnya.

Lam Hot dan Rima pergi keliling kota, Laura pulang kerumahnya untuk menemani maminya ke salon sementara aku duduk bengong nggak tahu mau melakukan apa. Laura melarangku keluar sendirian, terpaksa aku masuk kekamar hotel, tidur. Dalam kesendirian, wajah Magda tampak dalam bayang. Aku mau telepon dia, tetapi aku enggan memakai jasa telepon Hotel. Meski aku yakin, Laura tidak akan melarangku memakai telepon saluran jarak jauh dari hotel, tetapi aku tak tega menambah beban Laura membayar rekening telepon selain sewa kamar yang telah ditanggungnya.

Tak tahu pula kemana aku harus mencari kantor telpon. Sebelum masuk kamar, iseng aku menanyakan kantor telpon ke salah seorang karyawan hotel; Dia menjelaskan secara lengkap alamatnya, serta jenis kenderaan untuk mencapai alamat kantor telepon itu.

“ Bapak punya saudara disana ? Mau diantarkan kesana pak? “ tanya karyawan lainnya. Aku menolak tawarannya, perasaan dihinggapi rasa takut bila ketahuan kepada Laura. Memang, semua karayawan bersikap ramah dan hormat kepadaku dan Lam Hot melebihi kepada tamu lainnya. Apakah karena kedekataanku dengan Laura atau aku dan Lam Hot tamu istimewa Laura? Hingga saat itu aku belum tahu apa dan bagaimana hubungan Laura dengan Mathias, manager Hotel.

Ditengah kerinduan, aku mengharap Magda dapat menghubungiku, tetapi harapanku segera pupus karena aku lupa memberi nomor telepon kemarin malam sebelum aku berangkat. Bayang-bayang wajah Magda menghantar tidur siang diiringi tembang-tembang Jawa yang disiarkan melalui radio lokal.

Sore menjelang malam, aku terjaga mendengar suara perempuan memanggil namaku; Segera aku bangkit dan meloncat kearah pintu kamar setelah mendengar ketukan dan memanggil namaku dari luar. Pikiran menukil kenangan lama, aku seakan berada di kamar kosku dulu yang kami tahbiskan ruang “ perpustakaan”.
“ Ya, tunggu sebentar,” jawabku dari dalam sembari buru-buru memperbaiki pakaianku yang masih semraut. Panggilan Laura berikut menyadarkanku, kalau aku bukan di ruang"perpustakaan" tetapi didalam ruangan lain. Ah...suara itu bukan milik Magda!.

Kembali ketukan pintu dan suara Laura memanggilku ketika aku masih dikamar mandi membersihkan sisa air mata yang tak kusadari membasahi wajah saat mengingat malam nanti, Magda akan merayakan ulangtahun tanpa kehadiranku, juga tanpa ucapan selamat. Kali pertama selama lima tahun terakhir aku tidak mendampinginya pada saat Magda merayakan hari ultahnya.

“ Mas Tan Zung masih sakit? Matanya tampak merah.!” ujar Laura ketika baru saja pintu kubukakan.
“ Oh..ya tadi mataku kemasukan binatang kecil. Sudah nggak apa-apa kok.”
“ Sebentar aku ambilkan obat tetes mata,” ujarnya lantas meninggalkanku dikamar. Oalah...manalah cukup obat tetes airmata kawan ini mengobati rasa siksa diri karena rindu, gumamku dalam hati. Cilakanya, Laura ingin meneteskan sendiri ke kelopak mataku. Padahal tadi aku rencanakan pergi kekamar mandi pura-pura meneteskan obat itu. Disuruhnya pula aku telentang ditempat tidur. “ Rebahan mas, biar obatnya lebih cepat meresep,” ujarnya.

Hampir saja ketawaku meledak, mataku jadi korban gara-gara ingin menutupi kebohongan. Ingat, dulu, aku tergolek lemah ditempat tidur, pura-pura sakit karena takut dimarahi Magda. Saat itu aku dibelikan makanan kesukuaanku kwetiau goreng kemudian menyuapiku. Kini jari perempuan lain menyentuh kelopak mataku dalam pembaringan. ( Bersambung)

Los Angeles. June 2009
Tan Zung


Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Wednesday, June 24, 2009

Telaga Senja (62)





http://www.youtube.com/watch?v=CtRDKi7dRg0

Westlife--Every Little Thing You Do
Hello, let me know if you hear me/Hello, if you want to be near/Let me know/And I'll never let you go / Hey love/When you ask what I feel, I say love/When you ask how I know/I say trust/And if that's not enough

It's every little thing you do/That makes me fall in love with you/There isn't a way that I can show you/Ever since I've come to know you


It's every little thing you say/ That makes me wanna feel this way/ There's not a thing that I can point to/'Cause it's every little thing you do

Don't ask why/Let's just feel what we feel/'Cause sometimes/It's the secret that keeps it alive/But if you need a reason why

(Chorus) : Is it your smile or your laugh or your heart?/Does it really matter why I love you?/Anywhere there's a crowd, you stand out

Can't you see why they can't ignore you?/If you wanna know/Why I can't let go/Let me explain to you/That every little dream comes true/With every little thing you do

It's everything, everything you do/That makes me fall in love with you/It's everything, everything you say/That makes me feel this way
====================
“ Mbak, ntar kalau abang pingsan nggak ada yang tahu. Biarkanlah kami satu kamar. Aku janji nggak gangguin abang,” ujarnya ketawa.
“ Nggak apa-apa kok, nanti adik Lam Hot sesekali ngecek mas Tan Zung ke kamar,” balas Laura serius.
====================

Siang harinya aku kaget ketika Laura membangunkanku; dia dan Lam Hot masuk kekamar tanpa sepengetahuanku. “ Abang nggak apa-apa kan,?” tanya adikku. Laura menimpali, “ Mas, tadi kami ketuk-ketuk kamar nggak ada sahutan. “
“ Kalian pikir aku sudah “lewat” iya.?” tanyaku dari atas tempat tidur
“ Lho, kok pikirannya sejauh itu mas!?,” tanya Laura serius.
“ Habisnya kalian masuk seperti garong!”
“ Maaf mas, aku khawatir penyakitnya kambuh.!” ujarnya memelas.
“ Iya, siapa tahu juga abang lupa bernafas.!” selah Lam Hot
Heh....Hot nggak baik omong seperti itu,” sergah Laura.
Sebenarnya aku dan Lam Hot hanya bergurau, tetapi Laura menjawab serius setiap pembicaraanku dan Lam Hot. Laura belum dapat mengimbangi gurauan lepasku dan Lam Hot. Kebiasaanku saling ngenyek dengan Magda terbawa-bawa. Bila celotehan semacam ini terjadi padaku dan Magda pastilah berlanjut seru bagai berbalas pantun.

“ Laura, aku sudah bisa pindah kamar. ?”
“ Kenapa mas, takut sendirian.?”
“ Iya, aku tadi mimpi tabrakan dengan kereta,” ujarku sambil bangkit dari tempat tidurku.
“ Abang remuk dong, “ balas Lam Hot.
“ Nggak keretanya yang berantakan.”
“ Mimpinya kok lucu,?” tanya Laura.
“ Iya, aku tabrakan dengan kereta angin,” ujarku lantas berjalan ke kamar mandi.
“ Begitu mbak, kalau orang desa mimpi hanya seputar kereta angin dan kereta lembu,” celutuk Lam Hot cengengesan. “ Cepatan bang, aku sudah lapar berat nih,”lanjutnya.

Aku melihat Laura tak mampu menahan tawanya hingga terduduk di tempat tidurku. “ Sudah mas, aku capek,” ujarnya masih ketawa.
Sementara aku berkemas dalam kamar mandi, aku mendengar suara Rima; Dia menyapaku setelah keluar dari kamar mandi,” Kakak tampak segar, “ sapanya.

Laura mengajak kami makan siang, ternyata dia sudah menyiapkannya untuk kami berempat. Sebelum kami duduk dikursi meja makan, aku membisikkan kepada Laura agar jangan menyuruhku berdoa makan. “ Kita doa sendiri-sendirlah,” kataku pelan, takut kedenganran Lam Hot. Laura mengganggukkan kepalanya sambil tersenyum mendengar permintaanku.

“ Mas belum selera makan,? “ tanyanya ketika dia melihatku kurang bergairah.
“ Apa perlu dipanggil ibu untuk suapin abang,?” celutuk Lam Hot. Siang itu, aku memang kurang selera makan, selain lidahku belum pas dengan menu makanan yang tersaji, aku tiba-tiba ingat Magda. Hampir saja aku kelupaan, hari itu adalah hari ulang tahunnya. Ini juga salah satu penyebab aku kurang menikmati makan siang kami. Aku ingin segera meninggalkan mereka, hendak mengucapkan selamat hari lahirnya Magda, namun aku masih enggan memakai jasa telepon hotel itu.

Laura dan Rima tak tega meneruskan santapannya setelah melihat aku meletakkan sendok diatas piringku, sementara Lam Hot tanpa peduli, terus melahap makanannya. Laura terus membujukku untuk menyantap makanan yang masih menumpuk diatas piringku, “ Makan sedikit lagi mas.”

Bujukan yang sama diajukan Rima. Aku berusaha mencicipi lagi setelah keduanya tak mau melanjutkan makan, meski kerongkonganku belum dapat diajak kompromi. Aku memaksakan mencicipi makanan. Kembali, Laura dan Rima mengangkat sendoknya dan melanjutkan makan.
Wajah Laura tampak prihatin melihat perubahanku begitu tiba-tiba. Selama di meja makan pandangannya hampir tak lepas dari wajahku membuat aku semakin kikuk.

Setelah habis makan, Laura meminta kunci kamar. ” Obatnya taruh dimana mas,?” tanyanya sambil beranjak dari kursinya. Lam Hot buru-buru mengambil kunci dari tangan Laura,” Biar aku yang ngambil mbak. Ah..manja kalipun abang ini,” ujarnya bersungut. Laura dan Rima saling pandang dan melemparkan senyuman melihat tingkah adikku Lam Hot.

“ Kakak Tan Zung beda bintang iya dengan mas Lam Hot?,” tanya Rima.
“ Bukan cuma beda bintang, beda rejeki dan beda ganteng. Biasanya hidung mancung kedepan, lihat hidung Lam Hot mancung kesamping alias bersayap. Entah kenapa dik Rima tertarik dengannya. Aku bintang Virgo, Lam Hot bintangnya lipan, makanya ucapannya berbisa dan selalu membelit ” jawabku.
“ Mana ada bintang lipan mas, mungkin Scorpio maskudnya,?” celutuk Laura.
“ Samanya itu, cuma beda bentuk tubuh, tapi sama-sama beracun dan mematikan,” jelasku disambut tawa cekikan Rima ( Bersambung)

Los Angeles. June 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Tuesday, June 23, 2009

Telaga Senja (61)

You've got me feeling emotions/Deeper than I've ever dreamed of/You've got me/feeling emotions/Higher than the heavens above

I feel good /I feel nice/I've never felt so/Satisfied/I'm in love/I'm alive
Intoxicated/Flying high/It feel like a dream/When you touch me tenderly/I don't know if it's real/But I like the way I feel/Inside

Chorus
In the morning/When I rise/You are the first thing/On my mind/And in the middle Of the night/I feel your heartbeat/Next to mine/It feels like a dream/When you love me tenderly/I don't know if you're for real/But I like the way I feel/Inside

Chorus
You know the way to make me lose control/When you're looking into my eyes/You make me feel so /High
=====================
Dari jawaban Laura aku menangkap , mereka menanyakan hubunganku dengan Laura. Akhir npecakapan mereka Laura menjwab,” Iya, teman satu kantor.”
======================
Perhentian berikutnya, pasangan suami isteri yang duduk didepan kami dan sebahagian penumpang lainnya mulai berkemas turun sementara laju kereta mulai berjalan pelan, tetapi tidak dengan Laura.
” Tiga jam lagi, kita turun di perhentian terakhir. Capek iya mas,” jawab Laura, ketika aku tanyakan pukul berapa tibanya.
“ Capek dan membosankan. Aku kira kita dapat melihat pemandangan sepanjang jalan,” ujarku pelan dekat telinganya.

“ Kalau mau lihat desa dan kota sepanjang jalan mestinya naik bus, mau nanti kita pulang naik bus.? “ tanyanya serius.
“ Naik kereta saja aku sudah modar, apalagi mau naik bus? Nggaklah!” jawabku sembari ketawa, takut dia tersinggung.
“ Enak memandang dari atas, nyampainya lebih cepat, mau, ?” tanyanya lembut.
“ Terlalu cepat juga nggak enak.”
“ Mau lebih lama? Jalan kaki .!” guyonnya.

Perjalanan yang memakan waktu belasan jam itu berakhir di stasion kereta yang kami tuju, Yogyakarta. Laura melarangku mengangkat barang bawaan kami. “ Mas, tunggu disini saja, aku keluar sebentar barangkali mas Mathias datang menjemput kita,” ujarnya lantas dia pergi keluar. Tidak berapa lama, Laura sudah kembali dengan seorang lelaki berpakaian necis serta adikku Lam Hot. Laura mengenalkanku seraya menyebut nama.

“ Oh....mas Tan Zung? Iya..iya kemarin mas Lam Hot sedikit cerita tentang mas,” ujar Mathias sambil membantu Laura mengemasi barang-barang kami. Mata Lam Hot menatapku tajam karena tak satupun barang aku sentuh, memang Laura tidak membiarkanku ikut mengemasi barang-barang kami. Lam Hot tidak tahu kalau selama perjalanan aku jatuh sakit. Namun, akhirnya dia maklum setelah melihat Laura buru-buru memegang tanganku ketika aku hampir limbung saat berdiri.

“ Kenapa bang?” tanya dia prihatin.
“ Aku nggak apa-apa, hanya kecapaian,” jawabku.
“ Begini nih mbak, kalau orang desa berpergian jauh,” .
“ Iya, kalau jalan jauh, biasanya aku di gendong,” jawabku disambut ketawa Laura, sementara Mathias berjalan mendahului sambil membawa sebagian barang kami.
“ Bang, buka dulu syalnya itu. Entar abang dikirain lelaki tak sempurna, mana jalannya melambai,” ujar Lam Hot pelan menyadarkanku. Laura hanya tersenyum melihatku karena buru-buru membuka lilitan syal dari leherku.

Ketika sudah turun dari kereta, adikku Lam Hot mulai usil; ” Mbak, lepaskan dulu tangannya biar abang belajar jalan, katanya olahragawan tetapi badannya kok rapuh, manja kalipun abang,” celotehnya. Laura hanya ketawa geli mendengar ocehan adikku.
“ Nanti juga pulih. Mas hanya butuh istrahat, “ ujar Laura.
“ Laura, tolong kamarku dipisahkan dengan Lam Hot. Aku nggak bakalan bisa istrahat, dia ini akan ngoceh terus sepanjang hari.”
“ Iya, tidur di emperanlah biar lebih segar, atau tidur dirumah mbak,” celetuk Lam Hot.

“ Mau mas tidur di rumahku,?” sambar Laura serius.
“ Laura ! wong ngawur kok ditanggapin,” jawabku.
Sepanjang perjalanan menuju penginapan, dalam mobil, Laura masih memberi perhatian khusus tentang kesehatanku. “ Nanti sore kita kedokter iya mas,” usulnya.
“Iyalah mbak, aku curiga dengan penyakit abang ini. Sudah tiga hari kok nggak ada perubahan,” ujar Lam Hot mendukung usul Laura. Mathias mengangguk setuju ketika Laura memintanya membawaku ke dokter sore harinya.
“ Terimakasih Laura, tetapi jangan buat appointment dulu. Mungkin aku hanya butuh istrahat.”

“ Nggak apa-apa mas. Kalau nanti sore sudah sehat, aku bisa batalin,” jawabnya.
“ Mungkin juga mbak abang hanya butuh istrahat. Soalnya belakangan ini kerjanya lembur terus hingga larut malam. Biar saja dulu abang tidur selama seminggu dikamarnya,” ujarnya berlagak serius.
“ Hot, kok sejak tadi kakaknya digangguin terus,” bela Laura.
“ Biarkan Laura, beraninya kan karena aku sedang sakit,” ujarku disambut tawa Lam Hot. Mathias senyam senyum mendengar percakapan kami, sesekali melirik kebelakang lewat kaca spion.

Tiba di hotel dua orang karyawati menyambut kami dengan sangat ramah; keduanya menyalami Laura sembari sedikit membungkkan tubuh, lantas menyalamku. “ Mas Tan Zung, kakaknya Lam Hot,” ujar Laura mengenalkanku kepada kedua karyawati. Laura bergegas meninggalkan kami, dia pergi ke kantor hotel, sejenak bicara dengan Mathias. Tak berapa lama Laura datang menemuiku.

“ Ini kunci kamarnya mas,” ujarnya .
“ Lho, kenapa aku pisah kamar dengan Lam Hot ?” tanyaku heran.
“ Ngga apa-apa mas biar istrahatnya lebih nyaman.” jawabnya ketawa.
Aku dan Lam Hot saling pandang lantas ketawa bersamaan. “ Mbak, ntar kalau abang pingsan nggak ada yang tahu. Biarkanlah kami satu kamar. Aku janji nggak gangguin abang,” ujarnya ketawa.
“ Nggak apa-apa kok, nanti adik Lam Hot sesekali ngecek mas Tan Zung ke kamar,” balas Laura serius. ( Bersambung)

Los Angeles. June 2009


Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Monday, June 22, 2009

Telaga Senja (60)

Its amazing how you can speak right to my heart/Without saying a word, you can light up the dark/Try as I may I could never explain/What I hear when you dont say a thing

The smile on your face lets me know that you need me/Theres a truth in your eyes saying youll never leave me/The touch of your hand says youll catch me when ever I fall/You say it best..when you say nothing at all


All day long I can hear people talking out loud/But when you hold me near, you drown out the crowd (the crowd)/Try as they may they can never define/Whats been said between your heart and mine

Chorus x 2
(you say it best when you say nothing at all/You say it best when you say nothing at all..)
The smile on your face/The truth in your eyes/The touch of your hand/Lets me know that you need me..


Chorus
(you say it best when you say nothing at all/You say it best when you say nothing at all..)
The smile on your face/The truth in your eyes/The touch of your hand/Lets me know that you need me../(you say it best when you say nothing at all/You say it best when you say nothing at all..)
==================
Sepertinya ada yang”tersembunyi” dalam benaknya yang akan ditunjukkan kepada tante Martha, hanya saja dia masih enggan mengungkapkannya secara langsung. Gejala ini mulai aku rasakan, sebelum dia jatuh sakit, beberapa kali aku diajaknya kerumah tante Martha sepulang dari kantor dengan berbagai alasan.
===================
Ketika kami tiba di stasion Gambir, aku berusaha lebih aktif dari Laura untuk menutupi kegamanganku, sebab, ini kali pertama berpergian keluar kota dengan menggunakan kereta api. Sepanjang ingatanku di Medan, belum pernah melihat kerumunan orang naik kereta bila bepergian keluar kota kecuali kereta barang atau atau muntik sebagai alat trasportasi antar perkebunan.

Melihat kesigapan Laura, aku merasa jengah ditengah sumpeknya penumpang yang tak sabar menunggu giliran masuk, padahal masing-masing sudah mempunyai tiket. Aku dan Laura berada diantara jejalan manusia, berjalan melalui gang, diantara kursi kereta, sambil menghindari tubuh penumpang yang telah lebih dulu duduk di lantai kereta.

Stamina tubuhku tiba-tiba melorot menahan pengapnya udara didalam kereta, kebetulan pula dua malam berturut-turut kurang tidur. Keringat dingin mengucur di seluruh kujur tubuh, sementara peluhpun terus mengalir diwajah. “ Mas sakit? Wajah mas tampak pucat,” tanya Laura ketika kami telah duduk dikursi sesuai dengan nomor tiket yang kami miliki.

Laura mengeluarkan minuman ringan dan obat dari tas kecil yang sengaja dia bawa; Dia melap peluhku dengan syal warna pink yang dikenakannya sebelum aku minum dan makan obat yang diberikan dokter sehari sebelumnya. Tampak wajahnya sangat prihatin; dia mantapku penuh belas kasihan.

” Mas, boleh aku tinggal sebentar,?” tanyanya masih dengan wajah cemas. Otakku kurang berfungsi normal, aku hanya mengangguk, walau aku tak tahu dia mau pergi kemana dan untuk apa. Laura meninggalkanku duduk dikursi sendirian, dengan mata berkunang aku melihatnya melangkah diantara himpitan penumpang yang duduk dilantai dan penumpang lainnya berdiri di gang yang memisahkan deretan kursi kereta. Pengaruh obat yang baru dicekokin kemulutku belum bereaksi sempurna, tubuh semakin lemah, leherku tak mampu lagi menahan kepala yang hampir “meledak”, akhirnya terkulai disandaran kursi kereta.

Aku berusaha membuka mata, tetapi terasa berat ketika sepasang tangan telanjang menyentuh dan mengangkat kepalaku, lantas menyisipkan bantal diantara kepala dan sandaran kursi. Jari lentik pemillik sepasang tangan itu “merayap” menjelelajah sisi kiri kanan keningku, lembut, pijatannya sedikit mengusir rasa nyut-nyutan dikepala. Sesekali dia mengipas wajahku membantu udara masuk lewat jendela kereta yang tak mampu lagi mengusir hawa panas akibat berjubelnya penumpang.
“ Sebentar lagi kereta akan jalan mas,” bisiknya pelan ditelingaku. Lagi, telapak tangannya mengusap sisa peluh di wajahku. Bagaikan sutera, sentuhan jari tangannya lembut, menepis peluh diujung batang hidung dan bibirku, namun aku tak kuasa membuka mata karena terasa tersedot oleh sakitnya kepala.

Aku hanya memegang tangannya, lemah, pengganti ucapan terimakasih. Telapak tangannya yang lain menyambut tangaku erat, seakan menjawab, “ I’ll do everything for you.” Saat itu Laura memberi pelayanan yang terbaik, mungkin berlebihan jika disebut, pengorbanan. Bak pelantun lagu bersenandung: “ When you love someone - youll sacrifice. Youd give it everything you got and you won’t think twice.”

Sendok demi sendok minuman ringan disorongkannya pelan diantara kedua bibirku yang terkatup menahan sakit, sedikit membantu. Laura memperbaiki posisi kepalaku diatas sandaran kursi, ketika merasakan getaran kereta pertanda akan berangkat. Tak lama kemudian, perlahan dia menggeser kepalaku ke sisi bahunya setelah beberapa saat kereta meninggalkan stasion Gambir, jari tangannya masih memegang erat telapak tanganku .
***
Aku terbangun setelah kereta berhenti. Sebahagian penumpang yang duduk dilantai dan berdiri di gang bergegas mau turun. Laura tersenyum melihatku ikut berkemas mau turun. “ Mas keretanya hanya berhenti sebentar,” katanya.
“ Kita belum turun?”
“ Belum. Masih jauh, tibanya besok pagi,” jawabnya dengan tawa geli seraya membetulkan syal yang lilitkan membungkus leherku. “ Mas sudah nggak sabaran iya.?” tanyanya lembut.

Sepasang suami isteri ( pasutri,pen) paruh baya duduk berhadapan dengan kami, sejak keberangkatan dari stasion Gambir memperhatikan keseriusan Laura merawatku. Wajah keduanya teduh dan bersahabat. Beberapa kali menawarkan uluran tangan ketika aku duduk dikursi terkapar lemah; mereka ikut memindahkan barang-barang bawanya dari atas dan bawah meja. Juga menawarkan minuman ringan dan obat gosok penolak angin dengan bahasa yang sedikitpun tak kumengerti.

Setelah kesehatanku sedikit pulih sang suami menyapa ramah dalam bahasa Jawa. Aku kelimpungan, tak sedikitpun mengerti apa yang diucapkan. Laura mengambil alih pembicaraan dengan bahasa yang sama. Pasangan suami isteri itu ketawa bersama Laura, menyusul kalimat yang diterjemahkan. Akupun menimpali ketawa mereka.

Dengan bahasa Indonesia, Laura melanjutkan permbicaraan dengan memperkenalkanku, dia beritahukan kalau aku orang Sumatera dan baru kali pertama berkunjung ke Yogya. Pasutri masih mengajak Laura bicara dengan bahasa Jawa, tetapi Laura selalu menjawab dengan bahasa Indonesia, sesekali terselip dengan bahasa Jawa. Dari jawaban Laura aku menangkap , mereka menanyakan hubunganku dengan Laura. Akhir percakapan mereka, Laura menjawab,” Iya, teman satu kantor.” (Bersambung)

Los Angeles. June 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Saturday, June 20, 2009

Telaga Senja (59)

(music: right click on mouse then click “open in new window”)

She used to cry when I'd come home late/She couldn't buy the lies I told /All she wanted was to be needed /Someone that she could call her own /The love I know I took for granted /Until she/ walked out of my door /Too little too late to say I'm sorry /'Cause she's not cryin' anymore

She's not cryin' anymore /She ain't lonely any longer /There's a smile upon her face /A new love takes my place /She's not cryin' anymore

I hear she's really doin' well now /She's picked herself up off the ground /I wasn't there when I was needed /But I was there to let her down /Sometimes you know I feel so foolish /If I knew then what I know now /Another tear would never fall /'Cause I'd give our love my all /If we/ could work things out somehow

She's not cryin' anymore /She ain't lonely any longer /There's a smile upon her face /A new love takes my place /She's not cryin' anymore (2 X)

There's a smile upon her face /A new love takes my place /She's not cryin' any more .
=========================
“ Bang ! Tadi pagi sudah aku katakan, jangan menyakiti hati siapapun. Aku percaya abang rindu mau ketemu aku. Tetapi abang juga harus menjaga perasaan Laura. Percayalah bang, aku nggak keberatan. Ini adalah sebuah resiko karena kita ditempat yang berbeda.”
==========================

KELEMBUTAN suara dan ketegasannya bersikap masih ditunjukkan meski kami kerap berbeda menyikapi keterpautan hati yang sempat terluka. Aku tahu dalam relung hatinya masih ada sudut kasih yang tersisa, menyimpan setangkai bunga menebar aroma kesudut -sudut hati lainnya yang masih terdera duka; Juga masih menangkap seberkas sinar kerinduannya meski kadang redup karena rasa khawatir.

Tangis, marah dan cemburu adalah bagian dari cintanya yang masih tersisa, walau mulutnya sukar mengatakan “ya” manakala aku bertanya tentang kesediaanya bila aku memungut keping -keping cinta kami yang tercecer. Meski dia membiarkan aku ke Yogya dengan perempuan lain, agaknya, ini salah satu alasan mengapa dia semakin meragukan keseriusanku menata ulang cinta yang sempat tercabik.

Magda tidak setuju aku berlibur ke Medan, meski aku berulangkali memohon. Keinginan pulang berselibur bersamanya semakin “menyala" setelah diberitahukan, dia dan Rina akan berlibur ke Berastagi kemudian ke Danau Toba selama seminggu.
“ Mami , Jonathan ikut bersama kalian?”
“ Nggak, kami hanya berangkat bertiga.!”
“ Bertiga ? Bertiga dengan siapa?” tanyaku tak sabaran
“ Abang belum mengenal dia."

" Perempuan atau lelaki?"
"Lelaki bang.” jawabnya tertawa.
“ Magda, Siapa dia.”
“ Kok abang serius benar?”
“ Magda katakan siapa dia.”

“ Aku bilangpun abang bakal nggak kenal, percuma kan.?”
“ Besok aku akan pulang, kalau Magda nggak mau sebutkan siapa lelaki itu.!”
“ Abang pulang karena ingin tahu siapa lelaki itu? “ tanyanya masih diiringi ketawa. “ Padahal aku tak pernah ingin tahu siapapun perempuan sahabat abang. Kenapa begitu risau?” lanjutnya.
“ Magda, pertanyaanku sangat sederhana, siapa lelaki itu. Kenapa Magda bertele-tele?”
“ Percuma bang, aku menyebut namanyapun, abang tidak akan kenal.”
“ Magda! Aku boleh bicara dengan Rina?” tanyaku dengan hati geram.
“ Boleh. Nggak ada yang larang bang. Sebentar aku panggilkan. "

“ Hei...biang kerok, ngapain elu urusin kami disini? Urusin saja Lauramu itu.!” hentak Rina diujung telepon. Kedekatan diriku dengan Rina, tak membuat dirinya canggung berkata apapun terhadapku, mirip kelakuan Magda, ngomel bila tak seiring pendapat.
“ Rina! Aku hanya ingin tahu, siapa lelaki teman kalian berlibur ke Berastagi dan Danau Toba.?”
“ Gue sudah bilang, elu nggak perlu urusin kami. Cemburu iya mas? Mau lelaki, mau baby dan kakek-kakek, emang elu keberatan.?” tanya Rina diiringi tawa . Kembali aku membujuk Rina, “ Kalian ngerjain aku iya Rin?”

“ Nggak ! Apa untungnya ngerjain elu. Kami memang pergi bertiga. Aku, mbak Magda dan Thian. Masih ingat dengan Thian?” tanyanya masih ketawa disambut gelak lepas Magdalena. Sejenak aku terdiam sambil mengingat nama itu. Ah....Thian, nama bayi yang ada dalam kandungan Rina. Ketika itu memang, pada satu saat aku dan Rina sedang dalam obrol-obrol lepas, kemudian bicara tentang nama bayi yang akan lahir; Iseng, aku menyebutkan nama” Rundut Hian” dengan panggilan Thian, bila bayi dalam kandungan itu lelaki.

Rina menyerahkan telepon ke Magdalena; “ Sudah jelas bang? Kami juga belum kenal siapa lelaki itu!” ujarnya masih dengan ketawa. Eh..Zung, kenapa marah seandainya aku dan Rina pergi dengan lelaki lain.!?”
“ Ya, aku marah dan penasaran.”
“ Kenapa? Memang aku nggak boleh pergi seandainya itu lelaki lain?”
“ Kenapa Magda bertanya, pada hal sudah tahu pasti jawabannya. Bukankah karena ada lelaki lain duduk disampingmu, dulu, sehingga aku terkapar dipertigaan jalan, Jln Sudirman itu? Magda tahu, berapa lama aku didera siksa maha berat ketika itu!? Magda! Hingga sekarangpun aku belum siap bila Magda berpergian dengan lelaki lain,” tegasku.

“ Tetapi abang bebas pergi dengan perempuan lain, begitu iya bang.?” ketusnya.
“ Magda,berarti kamu tidak tulus mengijinkan aku pergi dengan Laura.!?” tanyaku gelisah. Magda hanya tertawa setelah aku mendengar kegelisahanku.
“ Zung, aku harus mengatakan apalagi? Pergilah dengan Laura, jaga dirimu baik-baik. Aku percaya abang masih mampu menjaga diri,” ucapnya sebelum kami mengakhiri pembicaraan malam itu. Aku juga semakin larut dalam sejuta tanya, hingga kapan aku dan Magda menunggu bersatu utuh. Akankah penataan ulang kisahkasih ini akan tumbuh bersama rumput berduri dan ilalang.?
***
Beberapa jam sebelum berangkat ke stasion Gambir, aku dan Laura agak berbeda pendapat. Laura mengajak aku berangkat dari rumah tantenya di Kebayoran Baru. Aku menolak usulannya sekedar menghindari bertumbuhnya kedekatan emosional dengan keluarganya. Selain itu, berangkat dari rumah tante Martha akan membuang-buang waktu mengingat stasion kereta lebih dekat dari tempat kosku dibanding dengan rumah tantenya di Kebayoran Baru.

Walau berteman beberapa bulan, aku belajar banyak darinya dalam bersikap, mengutarakan pendapat serta memutuskannya meski kadangkala harus melalui jalan melingkar. Laura dapat menerima alasanku kenapa tidak harus berangkat dari rumah tantenya. Sepertinya ada yang”tersembunyi” dalam benaknya yang akan ditunjukkan kepada tante Martha, hanya saja dia masih enggan mengungkapkannya secara langsung. Gejala ini mulai aku rasakan, sebelum dia jatuh sakit, beberapa kali aku diajaknya kerumah tante Martha sepulang dari kantor dengan berbagai alasan.( Bersambung)

Los Angeles. June 2009

Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Thursday, June 18, 2009

Telaga Senja (58)





http://www.youtube.com/watch?v=15xKfLSSQF4

There's so much life/I've left to live/And this fire's burning still / When I watch you look at me/I think I could find a way/To stand for every dream/And forsake this solid ground/And give up this fear within/Of what would happen if they end, you/I'm in love with you

'Cause I'd surrender everything/To feel the chance, to live again/I reach to you /I know you can feel it too/We'd make it through /A thousand dreams I still believe/I'd make you give them all to me/I'd hold you in my arms and never let go/I surrender

I know/I can't survive another night away from you/You're the reason I go on/And now I need to live the truth/Right now, there's no better time/From this fear, I will break free/And I'll live again with love/And know they can't take that away from me/And they will see... yeah

(I'd surrender everything)
To feel the chance, to live again/I reach to you/I know you can feel it too/We'd make it through /A thousand dreams I still believe/I'll make you give them all to me/I'll hold you in my arms and never let go/I surrender

Every night gets longer/And this voice's getting stronger baby/I'll swallow my pride
And I'll be alive/Can't you hear my call?/I surrender all...
(I'll surrender everything) (To feel the chance, to live again)/I reach to you/I know you can feel it too/We'll make it through


A thousand dreams I still believe/I'll make you give them all to me/I'll hold you in my arms and never let go/I surrender/Right here, right now/I'd give my life to live again/I'll break free/Take me, my everything

I surrender all to you (Right now)/Right now/(I'd give my life to live again)/I'd give my life/(I'll break free, Take me)/Take me, take me/(my everything)
My everything

(I surrender all to you, right now)/Right now (I'd give my life to live again)/I'd give my life to you baby/I'll break free, yeah free

Bang kenapa lagi aku harus dipaksa mengatakan “Ya”,kalau mau pergi, pergilah bang. Tetapi aku ingatkan, jangan ada lagi korban baru karena “belas kasih”mu itu. “
“ Apa yang kau tangisi Magda.”
“ Nggak tahu, kenapa aku harus menangis. Pergilah bang, aku tulus, hati-hati bang.”
======================

PENGALAMAN pahit masa lalu mengakibatkan Magda menjadi seorang peragu, bahkan menjadi paranoid khususnya menyangkut hubungan kami. Perjalanan kasih yang kami lalui kemudian berakhir tragis berakibat juga buat diriku sendiri, kurang percaya diri. Pada hal sebenarnya, jika diurut kebelakang, tidak ada lagi yang perlu diragukan.

Sehari sebelum ke Jakarta ketika menyelesaikan urusan Rina, tersirat, kami telah sepakat untuk menyambung tali kasih yang telah terputus, walau dilalui dengan pertengkaran panjang dan melelahkan. Di airport, Magda, disaksikan Rina, memberikan kalung untukku dan diapun bersedia menerima kalung yang akan kukirim nantinya. Namun, belakangan Magda semakin ragu setelah tinggal kami berjauhan dan berkaitan pula dengan hubunganku dengan teman sekantor Laura. Aku terus berusaha meyakini dirinya bahkan membawa -bawa kedua orangtuaku, sebagai senjata pamungkas. Tapi itupun Magda belum menjawab dengan tegas keinginanku untuk menyambung kembali simpul yang sempat putus.

***

Baru beberapa menit merebahkan tubuh, aku mendengar suara motor milik Laura; seperti biasanya dia selalu mampir kerumahku sebelum kekantor. Laura membuka pintu kamarku setelah dia memanggilku beberapa kali, tak ada sahutan. Pagi itu kepala terasa berat, karena tidak tidur semalaman dibumbui pula dengan hati gundah dan pikiran kalut. Dia kaget melihat aku masih tergeletak ditempat tidur, tidak seperti biasanya aku telah selesai berkemas saat dia tiba.

“ Mas sakit?” tanyanya sambil mendekatiku di tempat tidur. Aku kurang bergairah menjawab pertanyaannya, kecuali menatapnya. Laura meletakkan punggung tangannya ke atas keningku; “ Mas demam! Nggak usah masuk kantor, nanti aku beritahu sama pak Adrian,” ujarnya sambil memperbaiki selimutku yang acak-acakan. Dia bergegas ke dapur setelah permisi kepada ibu kos; Laura mengambil air hangat dan menyorongkan ke mulutku setelah sebelumnya dia mengangkat kepalaku bersandar di ujung tempat tidur.

Sebenarnya aku enggan dilayani seperti itu, karena akan menambah beban buatku dan buat dia sendiri. Pada sisi lain, aku enggan menolak melihat ketulusan hatinya. Aku mengharap dia akan menyikapi secara dewasa bila kelak mengetahui bahwa aku tidak akan menduakan cintaku dengan Magdalena.

Hingga saat itu, memang Laura belum pernah secara langsung berbicara tentang asmara, meski belakangan sesekali terselip kalimat bernuansa cinta. Seandainya aku belum “mengikatkan diri” kepada Magda, aku akan pertimbangkan untuk menikahi Laura, walaupun orang tuaku akan melarangnya. Aku tertarik dengan tutur bicaranya, santun, sabar dan pembawaanya lebih dewasa dari usianya.

Laura membawa serapan pagi, yang telah disiapkan ibu kos kekamar tidurku. Dia membujukku menyantap makan yang telah tersedia, namun aku menolak. Cukuplah Susan yang terakhir , setelah Magda, menyuapkan makanan kemulutku, kataku dalam hati. Aku menolak dengan dalih, perutku merasa mual, pada hal sesungguhnya aku sangat lapar setelah bergadang semalam dengan Magda.

Laura meninggalkanku setelah melihat aku tak mampu menahan kantuk. “ Mas, aku tinggal dulu, nanti aku kembali,” ujarnya lantas menarik satu lapisan bantal dari bawah kepalaku. Sepeninggalnya aku terlelap hingga Laura datang lagi. Aku melihat jarum arlojiku telah menunjukkan pukul 11.30 menjelang siang. Aku masih diatas tempat tidur, Laura menyapaku dengan lembut, “ Sudah mulai pulih mas ? Setelah aku dan mbak Magda kini giliran mas yang jatuh sakit. Bagaimana keadaan mbak Magda?” tanyanya. “ Dia sudah sehat.” jawabku.” Magda dan Rina titip salam untukmu,” imbuhku.

Laura mengajakku ke ruang makan. Disana telah tersedia makanan kesayanganku mie kuetiau goreng. Ah...kalau saja dia tidak ada diruangan itu, tak akan lama usia mie itu bertengger di atas meja. Meski seluruh tubuh masih terasa lemas, sengaja aku tegarkan dihadapan Laura agar dia tidak “memanjakanku”. Laura hanya mengambil sedikit mie dari piringku, selebihnya aku lahap tuntas, sementara dia menyantap jatah makananku yang disediakan ibu kos.

“ Tante Martha telah buat appoinment ke dokter yang aku pergi kemarin dulu, nanti sore pukul 6 sore. Kita pergi bareng mas,” ujarnya, diselah kami sedang santap siang di tempat kosku.
“ Lho, aku hanya kurang tidur, aku nggak sakit. Tolong telepon tante supaya appoinmentnya dibatalkan,” kataku menolak.
“ Nggak apa-apa toh mas, sekalian nanti kita minta obat persiapan perjalanan ke Yogya,” balasnya. Perlakuan ini buatku benar-benar berlebihan. Aku tetap menolak pergi ke dokter, meski Laura terus membujukku. “ Aku nggak ada apa-apa. Akupun masih mampu naik kereta, tidak usah khawatir. Sebentar malam aku akan tidur lebih awal agar staminaku segera pulih.” ujarku meyakinkan dirinya.

“ Mas, nggak enak lho sama dokter Joel; dia itu sahabat tante Martha.”
“ Tetapi aku nggak sakit Laura. Kenapa tante Martha tahu kalau aku sakit.?”
“ Kebetulan tante nyariin aku ke kantor. Adrian beritahu kalau aku ada disini karena mas sedang sakit,” jelasnya.
Oalahhhh, sempit kalipun dunia ini, kurang tidurpun awak beritanya sampai keseluruh penjuru angin. Dengan terpaksa aku menytujui pergi ke dokter walau dengan perasaan gondok.

Belum lama Laura meninggalkanku, adik Lam Hot dan pacarnya Rima datang kerumah ingin minta tolong untuk mengantarkan mereka ke stasion kereta Gambir pada sore harinya. Namun mereka mengurungkan permintaaanya setelah melihat kondisi tubuhku kurang fit.
" Tadi mau minta tolong abang untuk mengantar kami ke stasion. Tetapi nggak usalah, tampaknya abang kurang sehat. Bagaimana besok, masih mampu naik kereta? Kak Magda tahu abang sedang sakit,?" tanya Lam Hot.
" Aku tidak sakit, hanya kurang tidur," jawabku.

***
Malam, aku meringkuk dikamar sendirian bersama dengan kerinduanku kepada Magda. Dalam kegelisahan, sepi merajam kalbu. Kehadiran Laura hari ini, memicu rasa rinduku kepada Magda. Malam ini, aku ingin mencium kening dan pipinya sebagai pelepas rinduku. Tetapi dia ada jauh diseberang sana. Biarlah aku memeluknya meski dalam bayang, rindu dan cintaku menyatu. Gema-gema cinta bersenandung dalam kenangan, malam ini, lima tahun lalu menabur benih kasih pada sudut kalbu Magda hingga tiada sudut yang tersisa. Kebekuan malam, diakhiri deringan telepon. Suara maha lembut mengalir lewat jaringan kawat ajaib, telepon.

" Zung, sakit ? sapanya diujung sana. Rupanya adikku Lam Hot memberitahukan padanya. Lama aku tak menyahut. Aku tidak yakin dengan suara itu, seakan dalam mimpi. Baru saja aku memeluk bayangnya, kini, suaranya seakan memuaskan rindu. Mimpikah aku? Suara lembut itu terdengar lagi di telingaku, " Zung masih marah.?" Aku masih membisu ditengah keterharuanku, tenggorokanku tersumbat rasa haru.

" Abang nggak mau lagi bicara padaku? Abang sakit hati.?"
Aku paksakan mulutku menjawabnya meski lidahku masih kelu; " Magda, aku nggak sakit, juga nggak sakit hati. Aku hanya kurang tidur."

" Abang masih bisa berangkat besok.?"
" Belum tahu. Tergantung kesehatanku. Kalau aku bisa tidur malam ini, mungkin jadi. Tetapi hatiku masih mendua, mungkin jadi, mungkin nggak. Aku ingin pulang ke Medan, mau ketemu denganmu."
" Bang ! Tadi pagi sudah aku katakan, jangan menyakiti hati siapapun. Aku percaya abang rindu mau ketemu aku. Tetapi abang juga harus menjaga perasaan Laura. Percayalah bang, aku nggak keberatan. Ini adalah sebuah resiko karena kita ditempat yang berbeda." ( Bersambung)

Los Angeles. June 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Wednesday, June 17, 2009

Telaga Senja (57)



http://www.youtube.com/watch?v=pRr9c1oR0k0

=================
Tadi abang katakan mau bercerita tentang Laura, sekarang mau cerita tentang mamatua. Abang masih ngantuk iya.?”
“ Ya, keduannya saling berkaitan.”
“Ayo cepatan bang, sebelum aku ketiduran.”
==================

“ Sebenarnya aku mau ceritakan ini kepadamu sebelum aku berangkat ke Jakarta, tetapi urung karena aku takut Magda makin menjeng," ucapku dengan tawa.
“ Kenapa Zung? “
“ Kedua orangtuaku mengingatkan agar aku jangan mencontoh abangku. Orangtuaku wanti-wanti jangan sampai aku menikah dengan orang bukan suku batak. Soalnya, abangku menikah dengan perempuan suku lain meski orangtuaku telah mengingatkan sebelum abangku berangkat ke Jakarta. Namun demikian kedua orangtuaku terpaksa menuruti keinginan abangku menikahi perempuan asal Jawa Barat.”

" Kenapa bapatua melarang nikah dengan perempuan suku lain?"
" Karena abangku adalah anak panggoaran( anak sulung, pen)"
“ Bagaimana dengan Lam Hot? Dia pacaran dengan adiknya Rina.!"
“ Orangtuaku tidak keberatan karena dia anak ketiga dan orangtuaku tahu mereka sudah lama pacaran, Makanya aku diingatkan sebelum terjadi. Saat itu, aku menanyakan kepada ayah dan Ibu, kalau aku harus menikah dengan orang batak, pilih mana, Maya atau Magdalena? tanyaku.
Ibuku menjawab: “ Kamu yang lebih tahu dengan mereka. Tetapi Magda itu itomu. Masya aku besanan dengan maminya Magda, dia itu adikku?” disambut ketawa ayah.

“ Iya sudah, nikahlah abang dengan Maya.”
“ Magda , tunggu dulu, jangan potong ceritaku.”
‘ Sudah bang, aku mau tidur.”
“ Magda, tunggu dulu aku selesaikan tuturanku. Magda, ketika itu aku sempat marah dan mengancam ibu dan ayahku.”

" Magda masih dengar nggak?" teriakku. Berulangkali memanggil namanya tidak ada sahutan, namun telepon belum ditutup. Kembali aku membujuk agar mendengar kelanjutan ceritaku. ” Magda, aku belum selesai, kamu masih dengar?”
“ Ya, masih, lanjutkanlah bang.”

" Waktu itu aku mengancam tidak akan mau menikah kalau bukan kepadamu Magda. Ayah marah mendengar ancamanku. Ibuku juga kaget; dia menatapku dengan wajah kecewa, sedih. Sebelum kekecewaannya semakin mendalam, segera aku meralat ucapakanku,” Ya bu, nanti aku akan menikah dengan orang batak, tetapi nggak apa-apa dengan Magdalena kan.?” ujarku.

" Magda, tahu nggak apa jawabanya? Akhirnya ibu mengalah dan berucap: "Terserah kaulah amang ( nak, pen )” Segera aku merangkul dan menciumi pipi ibu disaksikan ayah. Ayah juga setuju dan senang dengan keputusanku, Magda akan menjadi menantunya.

Magda, itulah kesungguhan hatiku terhadap hubungan kita. Tak mungkin aku membohongi kedua orangtuaku, juga tak akan menduakanmu meski kilauan didepan mataku. Kecuali Magda bersikukuh mengatakan tidak mau menikah denganku, akupun akan mengambilan keputusan sepertimu, tidak akan menikah untuk selamanya. Biarlah kita menjadi penonton kebahagian orang lain."

Diirngi suara sendat dia berujar: “ Zung, aku membuat keputusan untuk tidak menikah karena abang sangat mengcewakanku. Demikian lamanya kita bersahabat bahkan sudah seperti bersaudara, tetapi begitu mudahnya mengakhiri ikatan kasih yang telah menyatu dengan jiwaku. Bagaimana lagi aku harus bersikap bang? Aku menghargai keputusanmu, tetapi.........” ucap Magda tanpa melanjutkan kalimatnya.

“ Berikanlah aku kali kesempatan terakhir , percayalah aku tidak akan mengecewakanmu lagi."
" Aku tak tahu berbuat apalagi bang. Kita baru berpisah beberapa bulan tokh sudah terjadi seperti ini. Aku sadar, aku belum dapat membahagiankanmu hingga kini, apalagi kita sedang berjauhan."
" Aku cukup bahagia meski kita berjauhan. Akupun masih menjaga ketulusan dan kemurnian persahabatan kita. Meski aku berteman dengan Laura, tidak sedikitpun terlintas dalam pikiranku untuk berteman khusus dengannya, yakinlah."

" Bagaimana aku meyakininya bang."
" Bila aku mengkhianatimu sama saja dengan mengkhianati kedua orangtuaku. Bukankah aku sudah berjanji kepada mereka bahwa aku akan menikahimu kelak.?"

" Zung, bukankah dulu, abang pernah berucap janji akan menikahiku? Ketika itu aku seperti dalam khayal, tetapi abang meyakiniku lagi dengan bisikan ditelingaku, katamu, kita akan kekampung. Disanalah aku kelak menunggumu hingga abang menyelesaikan kuliah, tetapi akhirnya abang menabur duka..."
" Magda, dulu, memang aku telah berbuat ceroboh. Aku akui, saat itu, aku terlalu gegabah mengambil kesimpulan, semuanya itu karena cintaku. Magda, katakanlah, kamu masih mau menungguku? Terserah Magda, berapa lama kamu beri waktuku menunggu."

" Zung, kita bicara yang lain sajalah.!"
" Ya ! tetapi jawab dulu pertanyaanku. Magda, kamu harus jawab saat ini juga. Atau aku kembali kepada kehidupan lamaku, minum hingga teler agar kamu puas!?"
" Bangngng...! Jangan paksa aku seperti ini. Kasihanilah aku bang, belum puaskah abang selama ini menyiksaku."

" Magda, kenapa kamu berteriak dan menangis? Aku telah menumpahkan semua isi hatiku, bahkan membawa-bawa kedua orangtuaku, tetapi Magda tak pernah mau mengerti?"
" Tetapi jangan abang paksa aku menjawab saat ini. Biarlah nanti waktu akan menjawabnya," jawabnya dengan suara getar.
" Tidak! Aku tidak punya waktu menunggunya. Magda, jika kamu mengatakan tidak, aku juga tak berhak memaksamu, tetapi jangan sesali apapun yang akan terjadi atas diriku. Aku ingin saat ini Magda memberi jawaban, atau..."
" Banggg....cukup!"

Aku membiarkan Magda dalam tangis beberapa saat hingga dia memanggil namaku lirih: " Bang, kalau masih mengasihaniku, jangan paksa aku. Aku belum sanggup menjawab saat ini, maafkan aku bang."

" Baiklah Magda, aku mengerti. Kapan aku menghubungimu?"
" Nantilah, aku akan telepon abang.?"
" Atau aku harus datang menemuimu ke Medan?"
" Nggak usah bang. Kan abang mau pergi dengan Laura.?"
" Aku bisa batalkan, jika Magda menginginkanku pulang."
“ Zung, aku juga perempuan punya perasaan yang sama dengan Laura. Abang nggak boleh berlaku kasar kepada siapapun dia. Abang telah mengiyakan pergi dengannya, pergilah tidak usah pikirkan aku. Aku juga jauh.”

“ Sepertinya Magda nggak tulus.”
“ Aku harus berkata apa lagi bang.!?”
“ Magda tulus mengijinkanku pergi dengan Laura.?”
“ Ya.! Sudah bang iya.” jawabnya pelan sambil menutupkan teleponnya.

Segera aku menghubunginya, setelah dia memutuskan pembicaraan kami. Untuk beberapa saat nada panggilan terus berdering. Magda akhirnya mengangkat telepon, dengan sesugukan dia berkata; “ Bang kenapa lagi aku harus dipaksa mengatakan "Ya",kalau mau pergi, pergilah bang. Tetapi aku ingatkan, jangan ada lagi korban baru karena “belas kasih”mu itu. “
“ Apa yang kau tangisi Magda.”
“ Nggak tahu, kenapa aku harus menangis. Pergilah bang, aku tulus, hati-hati bang.” ( Bersambung)

Los Angeles. June 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Tuesday, June 16, 2009

Telaga Senja (56)





http://www.youtube.com/watch?v=6N4-FFJAel8

================
“ Pergi bareng? Kok abang seperti orang gugup. Adik Lam Hot pergi dengan Rima besok, bukan? Abang kapan.?”
“ Besok lusa. Kebetulan tiket kereta yang sama dengan Lam Hot telah habis.”
“ Oh...begitu. Sudahan dulu iya bang, aku mau tidur. Malam baik .!

SELAMA kepindahanku ke Jakarta, Magda belum pernah bersikap sedingin itu, apalagi menyudahi percakapan melalui telepon secara sepihak. Sepertinya dia “nothing to lose”. Seandainya Magda sudah tekad tidak mau lagi melanjutkan persahabatan kami, agaknya akupun telah siap untuk itu. Tetapi apakah aku harus pasrah dihempas badai prasangka.?

Meski Laura sudah dalam”gemgaman”, sesuai dengan sikap yang diperlihatkan belakangan ini, namun dia belum berhasil sepenuhnya menebar bibit cinta sesempurna Magda. Aku akui Laura sangat santun, rendah hati dan tidak banyak maunya, tetapi belum terpikir untuk menjadi teman hidup. Ada pertimbangan kenapa aku tidak terlalu mengharap bahwa persahabatan kami akan berlanjut ketingkat pernikahan; dia amat religius dan sangat memegang teguh iman kepercayaannya.

Dalam tuturan awal persahabatan kami, dia telah ungkapkan secara langsung keteguhannya menyangkut iman bahkan dia bersedia mengakhiri persahabatannya dengan pacarnya terdahulu karena ketidaksediaannya pindah agama. Kala itu dia menyatakan kepadaku; “ Cinta bukanlah segalanya, bukan keputusan bijak bila “menggadaikan” iman oleh karena cinta,” ungkapnya. Sementara aku juga punya sikap yang sama meski aku tidak setaat Laura.

***

Malam merangkak menjelang subuh, sayup aku mendengar suara kenderaan mulai ramai memenuhi jalan raya, namun mata tetap tak dapat dipejam sejak Magda menutupkan telepon secara tiba-tiba. Walau waktu sudah menjelang subuh, aku memberanikan diri menghubungi Magda melalui telepon. Aku yakin dia juga nggak bakalan bisa tidur karena pembicaraan kami berakhir dengan rasa kesal. Keyakinanku benar, baru saja kali kedua nada panggil berbunyi, Magda langsung mengangkat telpon;
“ Apalagi bang?” ujarnya.
“ Magda belum tidur ? Kok kamu tahu aku yang telepon.?”
“ Siapa lagi yang usil pagi-pagi seperti ini kalau bukan abang.”
“ Magda, aku bukan usil. Aku serius. Aku ingin pingin tahu, kenapa tadi kamu sinis dan langsung menutup telepon padahal aku belum selesai bicara.”

“ Jadi abang menelepon ku untuk marah-marah.?”
“ Bukan!! Aku tak habis pikir kenapa kamu sesinis tadi malam, ada apa.?”
“ Aku nggak sinis bang. Aku hanya bertanya, masya hanya abang yang bisa tanya? Iya nggak adil dong.!”
“ Tapi tidak harus sinis seperti itu.”
“ Bang, sudahlah. Aku sudah nggak mau ngomong lagi, biar abang puas.”
“ Masih boleh aku bicara, Magda.!?
“ Kapan aku pernah melarang abang bicara ? “

“ Aku mau terus terang tentang Laura. Magda mau mendengar.?"
“ Apa gunanya sekarang abang menceritakan itu? Bagiku sudah cukup mengerti dalam percakapan kita tadi malam.”
“ Belum! Magda salah duga tentang hubunganku dengan Laura. Ini yang akan kujelaskan, aku mau katakan sejujurnya.”
“ Apa perlunya lagi abang mengaku jujur untukku. Lagi bang, aku nggak punya hak melarangmu berteman dengan siapapun. Demikian juga denganku, abang nggak punya hak melarangku jika bersahabat dengan siapapun.”

“ Magda!!!!! Aku tidak mengijinkanmu berteman dengan lelaki manapun."
" Apa hak abang melarangku berteman dengan lelaki lain? Kalau dulu abang berkata demikian aku masih bisa terima.!"
" Karena aku masih mencintaimu. Jadi Magda sudah membatalkan niat untuk tidak menikah untuk seumur hidup, seperti tekadmu dulu.?"
“ Jadi apa yang abang harapkan dariku selama ini.?”
“ Aku semakin tak mengerti pertanyaanmu Magda, sungguh.”
“ Ternyata pemahamanku juga selama ini salah. Aku juga bingung, apa yang kita ributkan selama ini bang.!”
“ Kita ribut karena berbeda pendapat dan ingin menyamakan pemahaman yang sama sebelum kita melangkah ke jenjang pernikahan.?"

" Ternyata lima tahun belum cukup untuk saling belajar dan memperbaiki diri iya bang.?"
" Tidak ada batasan waktu untuk saling belajar dan memperbaiki. Magda, aku masih mencintaimu seperti aku mencintaimu lima tahun lalu. Kamu juga tahu itu.”
“ Pengalaman itu juga yang membuat hatiku tidak pasti. Kini, Laura telah ikut mengisi bejana dan memberi warna lain, yang kala itu, kata abang bejana itu diciptakan hanya untuk ku. Zung, aku tidak mau kali kedua membunuh diriku sendiri oleh karena kebodohanku.”

“ Jadi Magda meragukanku hanya karena teman sekantorku Laura?”
“ Bukan karena Laura, tetapi karena abang tidak mau jujur.”
“ Itu sebabnya aku meneleponmu, aku mau berkata sejujurnya.”
“ Zung, kejujuran tidak hanya diucapkan tetapi mesti dillakoni bukan ?’
“ Magda, mungkin ini kali terakhir kita akan saling menyapa, tetapi sebelumnya aku mau uatarakan yang selama ini kupendam. Masih boleh aku lanjutkan.”
“ Mengenai apa bang.”
“ Mengenai pembicaraanku dengan ibu , inagtuamu ( bu'de, pen) sebelum aku berangkat ke Jakarta.”

“ Apa hubungannya dengan diriku bang.?”
“ Ya, ini berkaitan dengan hubungan kita. Mau dengar kan?”
“ Tadi abang katakan mau bercerita tentang Laura, sekarang mau cerita tentang mamatua. Kok jadi ngelantur, abang masih ngantuk iya.?”
“ Tidak! Aku tidak ngantuk bahkan tak akan dapat tidur sebelum semuanya kuceritakan kepadamu. Cerita tentang Laura dengan ibuku saling berkaitan."
“Ayo cepatanlah bang, sebelum aku ketiduran.” ( Bersambung)

Los Angeles. June 2009
Tan Zung

Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

Monday, June 15, 2009

Telaga Senja (55)

Highway run/Into the midnight sun/Wheels go round and round/You're on my mind
Restless hearts/Sleep alone tonight/Sending all my love/Along the wire


They say that the road/Ain't no place to start a family/Right down the line/It's been you and me/And lovin' a music man/Ain't always what it's supposed to be/Oh, girl, you stand by me/I'm forever yours/Faithfully

Circus life/Under the big top world/We all need the clowns/To make us smile/Through space and time/Always another show/Wondering where I am/Lost without you

And being apart/Ain't easy on this love affair/Two strangers learn to fall in love again/I get the joy of rediscovering you/Oh, girl, you stand by me/I'm forever yours/ Faithfully

Whooa, oh-oh-ooh/Whooa, oh-oh-ooh, oh/Whooa, oh-oh-oh, oh-whoooooa-oh/Faithfully/I'm still yours/ I'm forever yours/Ever yours/Faithfully
=======================
Sebelum Rina menutup telpon, aku terhenyak mendengar suara kejauhan ; Rin, bilangin Magda nggak bisa diganggu, suruh telpon besok malam.”
=======================
Suara Maminya Magdalenakah itu? Kenapa maminya yang selama ini membelaku telah berubah? Hening sejenak, tanpa suara, irama detak jantungku semakin tak terkontrol, telepon aku tutupkan dengan tangan gemetar dijejali rasa tanya. Kenapa semuanya berubah begitu tiba-tiba? Inikah akhir dari segalanya, hanya karena aku terlambat telepon Magdalena. Lalu kenapa, inangudaku, maminya Magda sudah ikut mencampuri hubunganku dengan Magda? Aku terhempas dalam kesunyian malam, bunyi detak jam dinding diruang tamu menambah rasa getir dan menakutkan.

Kesunyian itu tak berlangsung lama, ketika dering telepon memecah keheningan, aku segera mengangkat telepon, mengharap, Magda atau Rina menelponku.
“ Zung, kenapa teleponnya diputus,? suara mirip Magda diujung telepon.
“ Kamukah itu Magda? Aku tadi mendengar suara kejauhan melarang bicara denganmu.”
“ Zung! Abang sukar mengenal suaraku? Padahal suaraku tak pernah berubah sejak abang mengenalku, lima tahun lalu. “

“ Magda, aku mengira itu suara mami.”
“ Sejak kapan mami melarangmu bicara denganku? Bukankah selama ini sikap mami berlebihan, selalu membela abang, jika kita bertengkar.?”
“ Makanya aku tadi hampir limbung. Tanpa aku sadari tanganku menutup telepon. Ya, sudahlah, perasaanku kini pulih. Bagaimana dengan kesehatanmu?”

“ Sudah agak baikan, tetapi om dokter belum mengijinkan aku kerja. Kebetulan berlanjut lagi dengan liburan panjang. "
" Kamu terlalu lelah atau rindu?"
" Om dokter nggak beritahu aku sakit apa, mungkin terlalu capek, pekerjaan dikantor menumpuk dan harus diselesaikan sebelum lebaran ."

"Apa rencana abang waktu liburan lebaran besok.”
“ Magda dan Rina punya acara?”
“ Aku tanya abang, kok malah tanya aku?”
“ Magda mau jika aku pulang?”
“ Bangngng....aku tanya, apakah abang punya rencana liburan besok nggak? Susah benar jawabnya.!”
“ Ya, Kami mau pergi ke Yogya.”
“ Kami? Siapa “kami” itu bang?”
“ Kami bertiga, Lam Hot, Rima dan aku.”
“ Siapa lagi Zung.?”
“ Teman sekantorku, Laura.”

“ Tadi abang bilang bertiga. Kenapa abang berpura-pura tanya , jika aku mau abang pulang?”
“ Magda, aku tak berpura-pura. Kalau Magda menginkan pulang, aku akan pulang, jelas?”
“ Bang. Sejak dulu aku sering katakan, berpikirlah matang sebelum mengambil keputusan. Seandainyapun aku mengatakan abang pulang, abang tega membatalkan janji yang telah kalian sepakati sebelumnya, bahkan tiket dan penginapanpun sudah tersedia.?”

“ Demi kau Magda, apapun akan kulakukan.”
“ Demi aku? Menurut abang, siapakah aku ini sebenarnya, jujurlah bang.”
“ Kamu sahabatku, itoku dan engkau adalah segalanya.”
“ Abang kayak pelantun lagu,” jawabnya renyah.
“ Tahu darimana kalau aku mau liburan ke Yogya.?”
“ Apa perlunya abang tahu, aku tahu dari siapa.?”
“ Magda, sebelum kami putuskan pergi ke Yogya, aku berulangkali meneleponmu, tetapi Magda selalu nggak ada di rumah.”

“ Oh...abang telepon aku, hanya untuk memberitahu kalau abang dan Laura berlibur ke Yogya.?”
“ Bukan Magda. Aku telepon karena aku tahu Magda sakit dan aku juga rindu, sekalian minta ijin pergi liburan.”
“ Minta ijin dari aku? Aku nggak punya hak melarang atau memberi ijin kepada abang untuk berpergian dengan siapapun.!”

“ Magda! Kenapa tidak sedikitpun menghargai rasa respekku terhadapmu.?”
“ Sebutkan bang, hal yang mana aku tidak respek.?”
“ Sejak tadi, Magda selalu curiga dan bertanya sinis.!”
“ Baiklah bang, aku hanya mendengar saja, itupun kalau masih ada yang perlu dibicarakan.”
“ Magda! Kenapa jadi begini.?”
“ Aku serba salah bang, diam salah, bertanya dianggap nggak respek dan sinis.!”
“ Magda, kamu tahu kan bila aku masih menyayangimu.!?”
“ Kalimat yang sama juga abang nyatakan kepada perempuan lain, bukan.?”
“ Nggak pernah, kecuali dulu, kepada Susan.”
“ Zung, dulu abang katakan kepadaku, menyatakan sayang tidak selalu dalam ucapan, ingat nggak bang.?”
“ Ya, iii...iya Magda, tetapi kami berpergian bareng dengan Lam Hot dan Rima.”
“ Pergi bareng? Kok abang seperti orang gugup. Adik Lam Hot pergi dengan Rima besok, bukan? Abang kapan.?”
“ Besok lusa. Kebetulan tiket kereta yang sama dengan Lam Hot telah habis.”
“ Oh...begitu. Sudahan dulu iya bang, aku mau tidur. Malam baik .! (Bersambung)
Los Angeles. June 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/