Thursday, June 25, 2009

Telaga Senja (64)

Ingat, dulu, aku tergolek lemah ditempat tidur, pura-pura sakit karena takut dimarahi Magda. Saat itu aku dibelikan makanan kesukuaanku kwetiau goreng kemudian menyuapiku. Kini jari perempuan lain menyentuh kelopak mataku dalam pembaringan.
===================
Aku merasakan perihnya mata karena tetesan cairan yang semestinya untuk mata yang sedang sakit terpaksa kutahankan, korban kebohongan. Laura semakin prihatin ketika aku meringis kesakitan, perih. Segera aku memiringkan tubuh untuk mengeluarkan cairan itu dari mata. Perlahan dia membalikkan tubuhku, wajah menghadap keatas; Dia mengusap cairan yang mengalir diwajahku.

Disisi pembaringan Laura berusaha menghilangkan rasa sakit mataku melalui pembicaraan ringan berikut rencana kunjungan wisata apabila kesehatanku sudah pulih. Dia menyebutkan daerah wisata yang sering aku dengar dari kawan-kawan yang sudah pernah mengunjunginya. Dari semua tempat wisata yang disebutkannya, hanya satu yang paling tertarik, Candi Borobudur. Suatu saat temanku bercerita, ada suatu stupa atau entah apalah namanya di candi itu, bila tangan kita dapat menjangkau patung didalamnya, pertanda kita akan mendapat rezeki. Apa yang kita inginkan akan tercapai. "Mau kaya, mau perempuan cantik bisa, apabila patung didalam itu dapat dijangkau." ujarnya.

Aku manggut-mangut mendengar bualan kawan itu. Ah..belumpun kujangkau patung itu, semua temanku perempuan cantik-cantik. Soal kekayaan? Akupun sudah pernah kaya, sayang uangku ditilap oleh si Ria, perempuan ketemu di casino itu. Tetapi aku mulai tergoda, barangkali kalau aku dapat menjangkau patung itu, uang yang dibawa kabur si Rina itu dapat kembali.?

“ Mas, pakai obat apa sih, rambutnya bisa hitam seperti ini?” tanyanya menyadarkan pikiran liarku. Laura bertanya sambil menggerai rambutku yang bergelombang. Pertanyaan itu, seingatku, kali ketiga diajukannya.

“ Aku tidak pernah pakai jenis obat apapun. Rambut ini turunan dari ibuku."
“ Mas, gantian hidung yuk,?’ godanya.
“ Mau! Asal diganti tanpa operasi. Ini juga turunan ibuku. Hidung ayahku mancung kesamping seperti hidung adikku Lam Hok,” jawabku lalu dihadiahi ketawa derai Laura, sambil menarik tanganku bangkit dari pembaringan. Laura menyodorkan lengannya ketika kami mau melangkah keluar dari kamar.

Baru saja kami menutupkan pintu, Laura kembali masuk kamar setelah mendengar dering telepon. Aku mendengar volume suara Laura bernada surprise, setengah teriak, senang. " Oh...mbak Magda? Ya mbak, aku Laura, apa khabar mbak? Aku mau temani mas Tan Zung ke dokter. Kata mas Tan Zung mbak sakit. Sudah sembuh?. Oh..iya mau bicara dengan mas Tan Zung, boleh, sebentar mbak," ujar Laura lantas memberikan gagang telepon kepadaku.

Suara Magdalena bergetar, tak tahu karena geram atau karena rindu. " Zung, tadi siang adik Lam Hot beritahu abang sakit. Kenapa abang nggak mau telepon aku.?"
" Iya aku tadi mau telepon tetapi aku tak tahu dimana kantor telepon. Rencana, malam nanti setelah pulang dari dokter aku mau telepon sekalian mengucapkan selamat hari ulang tahunmu."

" Abang berdua satu kamar dengan Laura?" tanyanya masih dengan suara bergetar.
" Bukan! Aku hanya sendiri."
" Abang masih ingat hari ulangtahunku iya.?"
" Masih! " jawabku singkat, lantas membalikkan badanku membelakangi Laura. Aku tak ingin dia melihat perubahan wajahku, sendu, meski setitik embun telah menyejukkan kerinduanku. Sementara aku bicara dengan Magda, dengan bahasa isyarat Laura memberitahukan kalau dia sebentar pergi kekantor. Saat Laura masih dikantor, aku menjelaskan kepada Magda perihal kehadiran Laura dikamarku.

" Magda, Laura baru saja masuk, dia menjemputku mau pergi ke dokter."
" Kenapa abang paksakan berangkat kalau masih sakit.?"
" Kemarin sudah hampir pulih. Tetapi dalam perjalanan aku lemas lagi karena sumpeknya didalam kereta."
" Tetapi abang memaksakan diri bepergian karena ada yang merawat iya,?" ujarnya mulai timbul rasa cemburu.
" Magda, aku merawat diriku sendiri." Jawabanku ini memicu amarahnya.
" Merawat diri sendiri, tetapi Laura ada dikamar abang.!?"
" Tadi sudah aku katakan, dia baru saja datang menjemputku. Dia mau menolongku pergi ke dokter. Magda, aku belum bisa pergi sendirian, lagipula aku belum tahu situasi kota ini."

" Zung, aku kira wajarlah kalau Laura menolongmu sejak abang sakit di dalam kereta hingga sekarang. Seandainyapun aku punya teman entah itu perempuan atau lelaki, aku pasti "merawat"nya pertanda sebagai seorang sahabat. Benar kan abang sakit selama di dalam kereta?"

" Darimana Magda tahu kalau aku sakit selama dalam perjalanan? Aku cuma lemas."
" Bang, kenapa sih abang selalu berkelit kalau ditanya? Nggak mungkin aku tahu kalau tidak ada orang yang memeberitahu. Abang tak pernah berkata jujur, selalu berbelit-belit."
" Makanya Magda jangan curiga terus dan marah-marah. Iya, aku sakit selama dalam kereta."

Laura mengakhiri percakapanku dengan Magda setelah dia kembali menemuiku kekamar.
" Mas, sebentar aku mau bicara," potong Laura sembari memutarkan tubuhku menghadapnya.
" Mbak, selamat hari ulang tahun, panjang umur. Salam untuk Tante dan Rina," ujarnya. Laura mengembalikan telepon. Aku tak mendengar lagi suara Magda diujung sana.
" Magda, kami mau pergi dulu kedokter. Nanti aku telepon lagi iya."
" Iya bang," jawabnya hampir tak kedengaran. ( Bersambung)

Los Angeles. June 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment