Thursday, April 23, 2009

Telaga Senja (20)


http://www.youtube.com/watch?v=Via2IbRudB4

Nungga be ro si balik hunik da butet/ Na pareak on potang ari hasian.
( Butet fajar telah menyingsing / meyambut petang hari)
Unang be ho sai tumatangis da boru butet burju maho inang.
( Jangan engkau terus menangis bersabarlah engkau inang)
Nungga tinodo ni amang mu da butet/ingkon songonon si taononmu hasian/
( Itu adalah pilhan ayah mu butet/ demikian engkau harus menanggung derita
Parsoadahon sinuan na boruhu/ butet dung di bortian ho.
( Menyangkal engkau putrinya setelah engkau dalam kandungan
Dung tolu bulan da boru martunas si ubeonhi/ hu paboa do tu amangmu naung songon i di ahu/ Alai lao do mangaririt tu nadao

( Setelah tiga bulan dalam kandungan/ Aku beritahukan kepada ayahmu/ Namun dia pergi mencari wanita lain ke tempat jauh
Reff
Butet boha na ma boru/ tuisema paboan hu/ sitaonon ni inangmon
( Butet, entahlah bagaimana jadinya/ kepada siapa aku hendak mengadu)
Tubu ma ho so marama borunghu/ Butet sai unang be masa songon on.
( Engkau lahir tanpa ayah/ Butet kiranya janganlah terjadi hal seperti ini)
Hohooo butet..hoho butet/ sai unang tangis ho inang.
( Hohooo btet...hoho butet/ jangan lagi engkau menangis. )

======================
Mas, biarkan aku menapak lorong gelap itu.”
“ Rina! Itu sebabnya aku datang, ingin menemanimu dengan lenteraku menyibak gelapnya lorong itu.!”
“ Terimakasih mas, biarkan aku menapak dengan sumbu lenteraku yang tersisa.”
======================

TUBUH Rina semakin lemas setelah beberapa kali muntah selama perjalanan. Aku ingin memijat punggungnya seperti pernah aku lakukan kepada Susan. Tetapi aku khawatir akan menggangu kandungannya. “ Mas, kepalaku pusing. Aku mual mas,” ujarnya diiringi rintihan.
Hati terenyuh melihat penderitaannya, aku juga khawatir janin dalam rahimnya akan mengalami gangguan. Diatas pangkuan, aku memijat kepalanya dengan perlahan, sementara kedua tangannya memegang perutnya. Wajahnya pucat pasi bercucur keringat dingin menahan rasa sakit, mengingatkan erangan ibuku ketika melahirkan adikku yang ke 6.

Dibalik punggungnya aku menahan getir, tak mampu melihat penderitaannya. “Rina, bertahanlah, sebentar kita akan tiba." Rina mengangkat wajahnya dari pangkuanku. “ Iya mas aku masih tahan,” jawabnya dengan bibir bergetar. Tangannya mengusap airmata.

“ Bapak mau langsung ke rumah sakit,?” tanya sopir taksi ketika aku meminta agar mempercepat laju kenderaanya.
“ Tidak usah mas, kita kerumah tante dulu aku butuh istirahat,” jawab Rina. Melihat kondisi Rina yang semakin melemah, aku meminta sopir mampir di klinik dr.Robert, spesialis kandungan, namun Rina tetap menolak.
“ Mas, aku nggak apa-apa, kita langsung kerumah tante saja. Aku mau istrahat.”

“ Rina, wajahmu pucat, tubuhmu tampak lemah sekali. Aku khawatir janin dalam kandunganmu akan terganggu. Kita mampir iya Rin.!?” bujukku.
“ Iya mas, tetapi nanti aku ditanyakan macam-macam?”
“ Kita ke dokter bukan kekantor polisi,” ujarku menghibur dirinya.
“ Iya aku tahu, nanti aku ditanya dimana suamiku.!”
“ Memang aku belum pantas menjadi seorang suami? Usia duapuluh lima jalan, sarjana, pekerja, punya kumis tipis dan brewok tumbuh merata.”
“ Mas, aku serius. “
“ Kurang serius apa hingga aku meninggalkan pekerjaan, terbang dari Jakarta hanya untuk menemuimu.!?”

“ Jadi mas bersedia jika aku mengaku isterimu.”
“ Buktikan nanti di ruang periksa dokter.”
Rina akhirnya bersedia mengikuti saranku. Aku menuntunnya ke klinik dr. Robert berlagak seorang suami. Wajah perawat Maria yang telah mengenalku heran melihat kehadiranku dan Rina. Dengan sigap Maria menjemput dari teras dan mendahulukan Rina masuk ke ruangan dokter.

Dr. Robert tidak dapat menutupi wajahnya dari rasa heran meski dia menyapaku dengan akrab. Aku berpura-pura tidak mendengar ketika dia menanyakan kapan menikah. Segera aku keluar ruangan setelah dr. Robert mulai memeriksa Rina.
“ Katanya abang sudah di Jakarta! Kapan? Dimana menikahnya bang ? Kok nggak ngundang kita,?” tanya Maria ketika aku kembali keruang tunggu. Aku juga tak menjawab. Aku hanya tersenyum mendengar pertanyaannya. Dalam benakku, tidak lama lagi berita ini akan sampai kepada Magdalena, ponakan dr. Robert.
***
KELUARGA Wiro, om Rina, telah menunggu kedatangan kami dirumah, mereka menyambut dengan ramah. “ Kenapa tiba kesiangan? Kapalnya terlambat?” tanya isteri Wiro.
“ Tadi mampir sebentar beli obat pening, maksudku obat pusing,” jawabku.

Wiro mengajakku ke serambi di belakang rumahnya. Pembantu rumah tangga menyuguhkan tiga cangkir kopi panas dan pisang goreng. Aku agak heran, pembantu menyediakan tiga cangkir kopi untuk kami berdua. Tidak lama, keherananku terjawab, ketika seorang dengan rambut cepak muncul, dari pinggangnya tersembul gagang pistol dengan gaya tengik pula. Ah...gaya intel Melayu, gerutuku dalam hati.

“Kenalkan, adikku Mario, polisi Tekab ( team khusus anti bandit, pen),” kata Wiro. Setelah basa-basi, Wiro memberitahukan, bahwa kakaknya, papi Rina telah memberitahu permasalahan putrinya.
“ Terimakasih nak mau bertanggungjawab. Semuanya sudah om persiapkan. Maksudku, pak penghulu dan resepsi kecil-kecilan sudah siap. Terserah nak Tan Zung, kita langsungkan besok atau lusa.

“ Maksud om, aku menikah dengan Rina?” tanyaku sedikit gusar.
“ Iya nak. Kenapa? Jangan lama-lama lagi, mumpung perutnya belum ketara.”
“ Sebelum aku menjawab, alangkah lebih baik om menanyakan Rina,” jawabku.
“ Rina nggak ada masalah, dia pasti mau apa kata om.”

“ Tetapi aku harus dengar sendiri, apa kata Rina. Yang mau nikah dengan aku, om atau Rina.?”
“ Jangan bercanda bung,” selah Mario, anggota Tekhab tengil.
“ Aku tidak bercanda, aku serius. Kalau Rina katakan sekarang juga, aku siap. Tunggu aku panggilkan Rina,” ujarku sambil meninggalkan mereka.

” Tunggu! Jangan sekarang, dia masih kelelahan. Om akan tanyakan nanti setelah makan malam,” cegah Wiro.
“ Jangan lama-lama om, nanti perutnya semakin ketara,” ujarku menirukan ucapan dia sebelumnya. Mario melirikku dengan wajah kesal. Dia sadar kalau jawabanku kepada Wiro kakaknya, ngenyek.
Aku segera meninggalkan Wiro dan Mario di serambi setelah selesai berbicara tentang rencana pernikahan dengan Rina. Rina keheranan melihat perubahan wajahku usai berbicara dengan Wiro.
“ Ada apa mas, kok wajahnya murung ? Mas sakit?” tanyanya. (Bersambung)

Los Angeles. April 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “:
http://tanzung.blogspot.com/

Telaga Senja (19)



http://www.youtube.com/watch?v=nDgLq3lkZQU

=============
Esok harinya, pukul 05:00 dini hari, dering telephon mengagetkan aku dan orangtua Rina ketika polisi meminta kami datang ke rumah sakit. Aku terhuyung dikamar adikku, hatiku hancur membayangkan penderitaannya dan nasib janin dalam kandungannya.
===============
“ Seorang perempuan meninggal ditabrak mobil dengan ciri-ciri mirip putri bapak,” ungkap polisi. Mami Rina pingsan mendengar uraian polisi sementara penyakit sesak nafas papinya kambuh. Aku, Lamhot dan Rima segera meluncur ke rumah sakit. Aku, Lam Hot dan Rima diam membisu selama dalam perjalanan menuju rumah sakit.
Segera aku melompat dari taksi, berlari keruang gawat darurat, diikuti adikku dan Rima. Aku gemetar setelah melihat celana jeans yang sedikit tersingkap dibawah kain penutup jenazah. Aku berteriak sekerasnya memanggil nama Rinaaaaa...!!! Keseimbanganku hilang karena tidak tidur sejak malam, aku limbung, tak sadarkan diri
"Lam Hot dan Rima membangunkanku dipembaringan di rumah sakit.
" Mas, bangun. Kita pulang," ajak Rima .
" Rina dimana.?" tanyaku.
" Bang, Dia bukan Rina."
Aku segera bangkit dari pembaringan : " Kalian sudah pasti, kalau mayat tadi bukan Rina.?"

" Iya. Kami sudah periksa, wajahnya sudah hancur. Tetapi setelah diperiksa dengan seksama, ternyata bukan Rina. Memang ada beberapa ciri mirip dengan Rina. Yang memastikan mayat bukan Rina adalah, korban tidak ada tanda-tanda hamil," jelas adikku Lam Hot.
" Mari kita pulang," ujarku sambil melompat dari temapt tidur rumah sakit. Tiba dirumah, kedua orangtua Rina agak lega mendengar penjelasan kami. Papi Rina didampingi adiknya, oknum dari kesatuan militer itu, mengajak bicara di ruang makan.
“ Nak, aku ingin bantuanmu,” ujarnya dengan iba, sembari menyerahkan buku harian yang lain milik Rina putrinya. Aku merasa terpojok dengan situasi yang sangat mencekam ini, sementara oknum militer selalu mempelototiku mulai dari kaki hingga keujung ramputku, fuighhh...

Untuk kesekian kalinya aku menghubungi Rihat mealui telefon. Tetapi dia bungkam, tidak banyak informasi dapat kuperoleh. Dini hari, Rihat gelagapan ketika aku mendatangi ke rumah kostnya ditemani omnya Rina, anggota militer itu. Akhirnya, Rihat mengaku bahwa Rina menemuinya dua hari lalu menanyakan informasi tentang keadaan kota Medan.
“ Tadi pagi aku menghantarkannya ke pelabuhan Tanjung Priok. Menurut Rina, dia mau berkunjung kerumah tantenya di Medan Baru, “ jelas Rihat. Dibawah pengawasan ketat om Rina, kami berangkat ke Tanjung Priok. Benar, aku menemukan nama Rina dalam daftar penumpang. Papi Rina membujukku agar mau menemui Rina ke Medan.
***
Direktur perusahaanku memberikan izin empat hari, setelah memberitahukan situasiku saat itu. Adikku meminjamkan uang untuk kebutuhanku selama empat hari, sementara aku masih mempunyai tiket open date pemberian Susan ketika aku mau berangkat ke Jakarta beberapa bulan lalu.
“ Tolong mas, ini emergency, aku ingin berangkat siang ini!” bujukku kepada petugas maskapai penerbangan, ketika dia menolak ikut penerbangan pagi itu.
“Pesawat sudah penuh,” dalihnya. Tetapi akhirnya tiket langsung confirm setelah melihat sejumlah uang ku selipkan didalam tiket. Selama perjalan, dalam pesawat, aku membayangkan betapa hati Rina terluka atas sikap keluarganya. Rina meninggalkan keluarga dengan bayang semu entah apa yang akan terjadi diujung jalan. Cukupkah sinar matahari menuntun jalan masa depan dan bayi dalam kandungannya? Dalam hatiku menyumpahi kebengisan orangtuanya; kelakuannya seperti Pontius Pilatus.
***
Rina kaget melihat kedatanganku di pelabuhan Belawan. Dari jauh, dia meyakinkan dirinya dengan memangil namaku. “ Mas Tan Zung!?”
“Bukan, aku kembarannya,” jawabku bergurau setelah Rina mendekatiku. Antara percaya dan tidak, Rina menyebut namaku lagi. “ Mas Tan Zung!?” Rina memelukku ketika aku ingin mengangkat koper kecilnya.
“ Rina aku mau menjemputmu, besok kita harus kembali ke Jakarta. Semua keluarga khawatir dengan kesehatannmu." Rina menolak ajakanku.
“ Aku ingin jauh dari keluarga, ingin menenangkan diri. Tolong antarkan aku kerumah tanteku. Ini alamatnya,"pintanya.

Aku terus berusaha membujuknya selama dalam perjalanan Belawan-Medan, tetapi Rina terus menolak ikut kembali ke Jakarta. Aku berhenti membujuknya ketika Rina menatapku tajam dengan wajah marah.
“ Mas, biarkan aku sendiri menjalani hidupku sendiri. Aku tak butuh pertolongan siapapun, juga dengan kamu, faham!?” sentaknya geram.
Rina menutup wajah dengan kedua tanngannya, dia menahan tangis. Rinta meronta ketika aku membujuk sambil memegang bahunya yang terus terguncang menahan isaknya. “ Jangan sentuh aku! Aku perempuan busuk.!”

“Rina, aku hanya kasihan dengan kesehatanmu.”
“ Mas, sudah! Aku tak butuh diakasihani. Pak sopir, berhenti. Aku mau turun,” ujarnya histeris.
“ Rina ! Tempat tantemu masih jauh. Iya aku akan diam. Baik, besok aku akan kembali tanpa Rina. Atau aku juga mau tinggal di Medan bersamamu, Rina mau,?” tanyaku.

” Mas, biarkan aku sendiri menapak dalam lorong gelap itu.”
“ Rina! Itu sebabnya aku datang, ingin menemanimu dengan lenteraku menyibak gelapnya lorong itu!”
“ Terimakasih mas. Biarkan aku menapak dengan sumbu lenteraku yang tersisa.” (Bersambung)
Los Angeles. April 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “:
http://tanzung.blogspot.com/

Telaga Senja (18)



http://www.youtube.com/watch?v=IkDBBSHUIyA

An empty street,/An empty house,/A hole inside my heart,/I’m all alone, the rooms are getting smaller/ I wonder how,/I wonder why,/I wonder where they are,/The days we had,/The songs we sang together(oh yeah)./ And ohhh.. my love,/I’m holding on forever,/Reaching for a love that seems so far,
Chorus:
So I say a little prayer,/and hope my dreams will take me there,/where the skies are blue to see you once again,/My love,over seas from coast to coast,/to find the place I love the most,/where the fields are green to see you once again, my love.

I try to read,/i go to work,/i’m laughing with my friends,/but i can’t stop to keep myself from thinking(oh no)

I wonder how/I wonder why/I wonder where they are/the days we had, the songs we sang together(oh yeah) / And ohhh.. my love/I’m holding on forever, reaching for a love that seems so far
Chorus
To hold you in my arms,/To promise you my love,/To tell you from a far/You’re all I’m thinking of/ Reaching for the love that seems so far


====================
Di akhir percakapan Magda mengingatkanku, agar tidak teler, jangan main judi dan main perempuan lagi.
" Nggak lagi, aku janji. Kecuali kepepet," godaku.
" Banggggg!!!!!" teriaknya diujung telephon.
====================
SEMINGGU setelah Rina kerumah, adik Lamhot menemuiku. Dengan wajah kusam. Aku mengira dia mau curhat kepadaku karena dia ada masalah dengan pacarnya Rima atau di kantornya.
" Bang, boleh kita bicara diluar. Ada yang sangat penting," ajaknya.
" Kamu punya masalah dikantor atau dengan pacarmu?"
" Bukan.! Masalah dengan abang."
" Aku bermasalah? Masalah apa?. Aku baik-baik saja. Kenapa harus bicara diluar? Kita bicara di kamarku saja. Ah kamu bikin aku sesak nafas. Dengan siapa aku bermasalah, ?" cecarku.
" Bang, Rina menghilang. Dia pergi dari rumah sejak kemarin malam."

" Ada apa dengan dia? Kenapa Rina menghilang? Bagaimana kalian tahu Rina menghilang. Boleh jadi dia menginap dirumah temannya."
Rima menemukan surat diatas meja kamarnya. Rina berpesan:
" Papi, mami dan Rima, tolonglah Rina tidak dicerca lagi. Aku mengaku salah karena menorehkan aib ditengah keluarga kita. Papi, Rina bukan perempuan jalang. Biarkan aku sendiri menentukan jalan hidupku. Hidup akan kugapai dengan jalanku sendiri. Maafkan Rina, anak durhaka.!"

" Rina ribut dengan papi-maminya? Sebabnya apa? Kalian sudah mencarinya,?" tanyaku gusar.
" Sudah bang.! Sejak tadi pagi kami sudah cari kerumah teman-temanya, tetapi mereka tidak tahu keberadaannya."
" Rina menghilang, kenapa kamu bilang itu masalahku.?"
" Memang abang nggak tahu dimana Rina.?"

" Nggak! Aku terakhir ketemu dia minggu lalu di rumah ini, ketika kalian menghantarkan surat Magdalena."
“ Rina hamil bang! Kedua orangtuanya sangat marah, karena dianggap menaruh aib ditengah keluarga,” ujar adikku.
" Hah...! Rina hamil!?"
“ Abang memang nggak tahu.?”
“ Bagaimana aku tahu. Aku juga tahu dia menghilang dari kamu."
" Itulah masalahnya bang. Sebaiknya abang jujurlah."
" Aku nggak mengerti arah pernyataanmu. Jadi kamu pikir aku menghamilinya,!?”
“ Soalnya, sebelum abang pindah selalu berdua dirumah. Juga sering pulang larut malam. Abang serius nggak tahu dimana Rina.?”

“ Sekali lagi kau ulang pertanyaanmu, akan kukuncir bibirmu,” teriakku marah.
Lho, kenapa abang marah,?”
“ Lam Hot, aku tak sepicik itu. Berani berbuat harus berani bertanggung jawab."
“ Benar! Bang, penjara tak muat, kalau semua penjahat mau mengaku jujur.”
“ Jadi, kau dan keluarganya menuduhku.?”

“ Bang, Rima adiknya menemukan catatan harian Rina. Aku telah membacanya, juga kedua orangtuanya.”
“ Apa hubungannya catatan hariannya denganku?”
“ Dari semua lembaran buku hariannya, hanya nama abang yang paling sering disebut, “ujar adikku seraya menyerahkan buku harian Rina.
" Isinya apa dik.?"
"Abang baca sendiri."
***
Sabtu, 14 Februari: Hari yang tak dapat aku lupakan, aku dan mas Tan Zung menikmati indahnya malam sepulang nonton. Aku tak menyangka kalau dia lelaki berhati lembut. Dia seorang pria jantan yang belum pernah aku temukan diantara teman priaku termasuk Paian.

Minggu 15 February: Aku dan mas Tan Zung duduk di rerumputan taman Ancol dibawah sinar rembulan hingga menjelang tengah malam.

Senin, 16 Februari: Tan Zung membantuku mempersiapkan makan siang. Dia sering mencuri pandang kearahku. Ah...aku salut dengannya; Dia berdoa sebelum mencicipi makanan. Hal seperti belum pernah aku lihat adiknya Lam Hot.

Sabtu, 21 Februari: Aku marah karena Tan Zung terlalu banyak minum ketika kami ke bar. Tetapi, mas Tan Zung pintar meluluhkan hatiku. Rasa dongkol berubah sejuk, aku terlena dengan kalimat puitisnya. Lengan tangannya yang kokoh menggapit lenganku, menunutunku keluar dari bar menuju tepi pantai dibelakang bar itu.

Gema suaranya bagai genta menghentak heningnya malam; Gejolak sukma bagai gemuruh ombak mengubur masa laluku ketika aku dan dia duduk dibebatuan pinggar pantai. Malam itu dia berucap, “ Rina, tengok nelayan itu bungkuk menaruh jala kecilnya kedasar laut. Tangannya mengapit lentera kecil seakan mengejek cahaya rembulan. Tetapi aku tak mengerti makna ucapan mas Tan Zung.

Semeilir angin malam menghantarkanku terlena diatas kedua pahanya. Dia membiarkan rambutku , menutupi wajahnya yang tergerai oleh hembusan angin dari samudera luas. Kami terbangun ketika nelayan itu mengingatkan: sebentar lagi laut akan pasang.

Aku bangun, tersipu malu ketika ibu nelayan menatap wajahku, teduh. Pasangan nelayan itu terus menatapku senyum dalam pangkuan Tan Zung hingga dibalik batang pohon rindang. Tan Zung tak membiarkan diriku menapak diatas pasir putih; dia memopongku hingga kemobil. Malam indah mengukir sejuta kenangan. Ah..belum...belum seorangpun sahabat lelaki memperlakukanku semesra itu.
***
“ Bang, nanti baca lanjutannya. Mereka menunggumu dirumah. Abang harus kesatria, jangan pengecut.”
Iyalah. Aku tetap bertanggungjawab atas apa yang telah aku lakukan. Aku akan mencari Rina hingga keujung langit sekalipun,” janjiku untuk menenangkan hatinya.
“ Seorang berpakaian militer mengetuk pintu rumah. Segera adikku menemuinya ke luar. Aku melihat mereka berbicara serius, agaknya dia sudah mulai bosan menunggu pembicaraanku dengan Lam Hot. Oknum militer mendengar dengan seksama uraian adikku, dia mengangguk-angkuk kepalanya.
“ Mas, aku tunggu dirumah !” suaranya menggelegar dengan tatapan tajam ke arahku.
***
Aku melanjutkan membaca seluruh buku hariannya, sekaligus ingin mencari beberapa informasi yang dapat membantu menemukan Rina. Aku melihat nama Rihat lengkap dengan alamat dan nomor telephon pekerjaannya. Nama ini masih melekat dalam ingatanku, ketika Rina menceritakan kedekatannya dengan Paian. Segera aku menghubunginya lewat telephon, dia mau membantu tetapi menolak bertemu denganku.

Sejak pagi, Rima, adikku Lamhot dan aku bersama-sama mencari Rina kerumah sahabat-sahabatnya, tetapi tak ketemu. Kedua orangtuanya menyesali diri sendiri karena mengusir Rina dari rumah. Mereka takut Rina akan bunuh diri. Setelah menunggu selama dua hari Rina tak kunjung pulang, atas inisiatipku, Rima dan Lam Hot melaporkan ke polisi, Rina hilang, dengan menyebutkan ciri-ciri serta pakaian yang dikenakannya.

Esok harinya, pukul 05:00 dini hari, dering telefon mengagetkan aku dan orangtua Rina ketika polisi meminta kami datang ke rumah sakit. Aku terhuyung dikamar adikku, hatiku hancur membayangkan penderitaannya dan nasib janin dalam kandungannya. (Bersambung)
Los Angeles. April 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/