http://www.youtube.com/watch?v=Via2IbRudB4
( Butet fajar telah menyingsing / meyambut petang hari)
Unang be ho sai tumatangis da boru butet burju maho inang.
( Jangan engkau terus menangis bersabarlah engkau inang)
Nungga tinodo ni amang mu da butet/ingkon songonon si taononmu hasian/
( Itu adalah pilhan ayah mu butet/ demikian engkau harus menanggung derita
Parsoadahon sinuan na boruhu/ butet dung di bortian ho.
( Menyangkal engkau putrinya setelah engkau dalam kandungan
Dung tolu bulan da boru martunas si ubeonhi/ hu paboa do tu amangmu naung songon i di ahu/ Alai lao do mangaririt tu nadao
Reff
Butet boha na ma boru/ tuisema paboan hu/ sitaonon ni inangmon
( Butet, entahlah bagaimana jadinya/ kepada siapa aku hendak mengadu)
Tubu ma ho so marama borunghu/ Butet sai unang be masa songon on.
( Engkau lahir tanpa ayah/ Butet kiranya janganlah terjadi hal seperti ini)
Hohooo butet..hoho butet/ sai unang tangis ho inang.
Mas, biarkan aku menapak lorong gelap itu.”
“ Rina! Itu sebabnya aku datang, ingin menemanimu dengan lenteraku menyibak gelapnya lorong itu.!”
“ Terimakasih mas, biarkan aku menapak dengan sumbu lenteraku yang tersisa.”
======================
Hati terenyuh melihat penderitaannya, aku juga khawatir janin dalam rahimnya akan mengalami gangguan. Diatas pangkuan, aku memijat kepalanya dengan perlahan, sementara kedua tangannya memegang perutnya. Wajahnya pucat pasi bercucur keringat dingin menahan rasa sakit, mengingatkan erangan ibuku ketika melahirkan adikku yang ke 6.
Dibalik punggungnya aku menahan getir, tak mampu melihat penderitaannya. “Rina, bertahanlah, sebentar kita akan tiba." Rina mengangkat wajahnya dari pangkuanku. “ Iya mas aku masih tahan,” jawabnya dengan bibir bergetar. Tangannya mengusap airmata.
“ Bapak mau langsung ke rumah sakit,?” tanya sopir taksi ketika aku meminta agar mempercepat laju kenderaanya.
“ Tidak usah mas, kita kerumah tante dulu aku butuh istirahat,” jawab Rina. Melihat kondisi Rina yang semakin melemah, aku meminta sopir mampir di klinik dr.Robert, spesialis kandungan, namun Rina tetap menolak.
“ Mas, aku nggak apa-apa, kita langsung kerumah tante saja. Aku mau istrahat.”
“ Iya mas, tetapi nanti aku ditanyakan macam-macam?”
“ Kita ke dokter bukan kekantor polisi,” ujarku menghibur dirinya.
“ Memang aku belum pantas menjadi seorang suami? Usia duapuluh lima jalan, sarjana, pekerja, punya kumis tipis dan brewok tumbuh merata.”
“ Mas, aku serius. “
“ Kurang serius apa hingga aku meninggalkan pekerjaan, terbang dari Jakarta hanya untuk menemuimu.!?”
“ Jadi mas bersedia jika aku mengaku isterimu.”
“ Buktikan nanti di ruang periksa dokter.”
Rina akhirnya bersedia mengikuti saranku. Aku menuntunnya ke klinik dr. Robert berlagak seorang suami. Wajah perawat Maria yang telah mengenalku heran melihat kehadiranku dan Rina. Dengan sigap Maria menjemput dari teras dan mendahulukan Rina masuk ke ruangan dokter.
Dr. Robert tidak dapat menutupi wajahnya dari rasa heran meski dia menyapaku dengan akrab. Aku berpura-pura tidak mendengar ketika dia menanyakan kapan menikah. Segera aku keluar ruangan setelah dr. Robert mulai memeriksa Rina.
“ Tadi mampir sebentar beli obat pening, maksudku obat pusing,” jawabku.
Wiro mengajakku ke serambi di belakang rumahnya. Pembantu rumah tangga menyuguhkan tiga cangkir kopi panas dan pisang goreng. Aku agak heran, pembantu menyediakan tiga cangkir kopi untuk kami berdua. Tidak lama, keherananku terjawab, ketika seorang dengan rambut cepak muncul, dari pinggangnya tersembul gagang pistol dengan gaya tengik pula. Ah...gaya intel Melayu, gerutuku dalam hati.
“Kenalkan, adikku Mario, polisi Tekab ( team khusus anti bandit, pen),” kata Wiro. Setelah basa-basi, Wiro memberitahukan, bahwa kakaknya, papi Rina telah memberitahu permasalahan putrinya.
“ Terimakasih nak mau bertanggungjawab. Semuanya sudah om persiapkan. Maksudku, pak penghulu dan resepsi kecil-kecilan sudah siap. Terserah nak Tan Zung, kita langsungkan besok atau lusa.
“ Maksud om, aku menikah dengan Rina?” tanyaku sedikit gusar.
“ Iya nak. Kenapa? Jangan lama-lama lagi, mumpung perutnya belum ketara.”
“ Sebelum aku menjawab, alangkah lebih baik om menanyakan Rina,” jawabku.
“ Rina nggak ada masalah, dia pasti mau apa kata om.”
“ Tetapi aku harus dengar sendiri, apa kata Rina. Yang mau nikah dengan aku, om atau Rina.?”
“ Jangan bercanda bung,” selah Mario, anggota Tekhab tengil.
“ Aku tidak bercanda, aku serius. Kalau Rina katakan sekarang juga, aku siap. Tunggu aku panggilkan Rina,” ujarku sambil meninggalkan mereka.
” Tunggu! Jangan sekarang, dia masih kelelahan. Om akan tanyakan nanti setelah makan malam,” cegah Wiro.
“ Jangan lama-lama om, nanti perutnya semakin ketara,” ujarku menirukan ucapan dia sebelumnya. Mario melirikku dengan wajah kesal. Dia sadar kalau jawabanku kepada Wiro kakaknya, ngenyek.
“ Ada apa mas, kok wajahnya murung ? Mas sakit?” tanyanya. (Bersambung)
Los Angeles. April 2009
Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “:
http://tanzung.blogspot.com/