Thursday, April 23, 2009

Telaga Senja (19)



http://www.youtube.com/watch?v=nDgLq3lkZQU

=============
Esok harinya, pukul 05:00 dini hari, dering telephon mengagetkan aku dan orangtua Rina ketika polisi meminta kami datang ke rumah sakit. Aku terhuyung dikamar adikku, hatiku hancur membayangkan penderitaannya dan nasib janin dalam kandungannya.
===============
“ Seorang perempuan meninggal ditabrak mobil dengan ciri-ciri mirip putri bapak,” ungkap polisi. Mami Rina pingsan mendengar uraian polisi sementara penyakit sesak nafas papinya kambuh. Aku, Lamhot dan Rima segera meluncur ke rumah sakit. Aku, Lam Hot dan Rima diam membisu selama dalam perjalanan menuju rumah sakit.
Segera aku melompat dari taksi, berlari keruang gawat darurat, diikuti adikku dan Rima. Aku gemetar setelah melihat celana jeans yang sedikit tersingkap dibawah kain penutup jenazah. Aku berteriak sekerasnya memanggil nama Rinaaaaa...!!! Keseimbanganku hilang karena tidak tidur sejak malam, aku limbung, tak sadarkan diri
"Lam Hot dan Rima membangunkanku dipembaringan di rumah sakit.
" Mas, bangun. Kita pulang," ajak Rima .
" Rina dimana.?" tanyaku.
" Bang, Dia bukan Rina."
Aku segera bangkit dari pembaringan : " Kalian sudah pasti, kalau mayat tadi bukan Rina.?"

" Iya. Kami sudah periksa, wajahnya sudah hancur. Tetapi setelah diperiksa dengan seksama, ternyata bukan Rina. Memang ada beberapa ciri mirip dengan Rina. Yang memastikan mayat bukan Rina adalah, korban tidak ada tanda-tanda hamil," jelas adikku Lam Hot.
" Mari kita pulang," ujarku sambil melompat dari temapt tidur rumah sakit. Tiba dirumah, kedua orangtua Rina agak lega mendengar penjelasan kami. Papi Rina didampingi adiknya, oknum dari kesatuan militer itu, mengajak bicara di ruang makan.
“ Nak, aku ingin bantuanmu,” ujarnya dengan iba, sembari menyerahkan buku harian yang lain milik Rina putrinya. Aku merasa terpojok dengan situasi yang sangat mencekam ini, sementara oknum militer selalu mempelototiku mulai dari kaki hingga keujung ramputku, fuighhh...

Untuk kesekian kalinya aku menghubungi Rihat mealui telefon. Tetapi dia bungkam, tidak banyak informasi dapat kuperoleh. Dini hari, Rihat gelagapan ketika aku mendatangi ke rumah kostnya ditemani omnya Rina, anggota militer itu. Akhirnya, Rihat mengaku bahwa Rina menemuinya dua hari lalu menanyakan informasi tentang keadaan kota Medan.
“ Tadi pagi aku menghantarkannya ke pelabuhan Tanjung Priok. Menurut Rina, dia mau berkunjung kerumah tantenya di Medan Baru, “ jelas Rihat. Dibawah pengawasan ketat om Rina, kami berangkat ke Tanjung Priok. Benar, aku menemukan nama Rina dalam daftar penumpang. Papi Rina membujukku agar mau menemui Rina ke Medan.
***
Direktur perusahaanku memberikan izin empat hari, setelah memberitahukan situasiku saat itu. Adikku meminjamkan uang untuk kebutuhanku selama empat hari, sementara aku masih mempunyai tiket open date pemberian Susan ketika aku mau berangkat ke Jakarta beberapa bulan lalu.
“ Tolong mas, ini emergency, aku ingin berangkat siang ini!” bujukku kepada petugas maskapai penerbangan, ketika dia menolak ikut penerbangan pagi itu.
“Pesawat sudah penuh,” dalihnya. Tetapi akhirnya tiket langsung confirm setelah melihat sejumlah uang ku selipkan didalam tiket. Selama perjalan, dalam pesawat, aku membayangkan betapa hati Rina terluka atas sikap keluarganya. Rina meninggalkan keluarga dengan bayang semu entah apa yang akan terjadi diujung jalan. Cukupkah sinar matahari menuntun jalan masa depan dan bayi dalam kandungannya? Dalam hatiku menyumpahi kebengisan orangtuanya; kelakuannya seperti Pontius Pilatus.
***
Rina kaget melihat kedatanganku di pelabuhan Belawan. Dari jauh, dia meyakinkan dirinya dengan memangil namaku. “ Mas Tan Zung!?”
“Bukan, aku kembarannya,” jawabku bergurau setelah Rina mendekatiku. Antara percaya dan tidak, Rina menyebut namaku lagi. “ Mas Tan Zung!?” Rina memelukku ketika aku ingin mengangkat koper kecilnya.
“ Rina aku mau menjemputmu, besok kita harus kembali ke Jakarta. Semua keluarga khawatir dengan kesehatannmu." Rina menolak ajakanku.
“ Aku ingin jauh dari keluarga, ingin menenangkan diri. Tolong antarkan aku kerumah tanteku. Ini alamatnya,"pintanya.

Aku terus berusaha membujuknya selama dalam perjalanan Belawan-Medan, tetapi Rina terus menolak ikut kembali ke Jakarta. Aku berhenti membujuknya ketika Rina menatapku tajam dengan wajah marah.
“ Mas, biarkan aku sendiri menjalani hidupku sendiri. Aku tak butuh pertolongan siapapun, juga dengan kamu, faham!?” sentaknya geram.
Rina menutup wajah dengan kedua tanngannya, dia menahan tangis. Rinta meronta ketika aku membujuk sambil memegang bahunya yang terus terguncang menahan isaknya. “ Jangan sentuh aku! Aku perempuan busuk.!”

“Rina, aku hanya kasihan dengan kesehatanmu.”
“ Mas, sudah! Aku tak butuh diakasihani. Pak sopir, berhenti. Aku mau turun,” ujarnya histeris.
“ Rina ! Tempat tantemu masih jauh. Iya aku akan diam. Baik, besok aku akan kembali tanpa Rina. Atau aku juga mau tinggal di Medan bersamamu, Rina mau,?” tanyaku.

” Mas, biarkan aku sendiri menapak dalam lorong gelap itu.”
“ Rina! Itu sebabnya aku datang, ingin menemanimu dengan lenteraku menyibak gelapnya lorong itu!”
“ Terimakasih mas. Biarkan aku menapak dengan sumbu lenteraku yang tersisa.” (Bersambung)
Los Angeles. April 2009

Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “:
http://tanzung.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment