Wednesday, August 12, 2009

Telaga Senja ( 99)

I will be the answer/At the end of the line/I will be there for you/While you take the time/In the burning of uncertainty/I will be your solid ground/I will hold the balance/If you can't look down

If it takes my whole life/I won't break, I won't bend/It will all be worth it/Worth it in the end/‘Cause I can only tell you what I know/That I need you in my life/And when the stars have all gone out/You'll still be burning so bright

Cast me gently /Into morning/For the night has been unkind/Take me to a /A place so holy/That I can wash this from my mind/The memory of choosing not to fight

If it takes my whole life/I won't break, I won't bend/It will all be worth it/Worth it in the end/‘Cause I can only tell you what I know/That I need you in my life/And when the stars have all burned out/You'll still be burning so bright
Cast me gently /Into morning/For the night has been unkind
===================
“ Makanya aku kemarin langsung pulang sebelum aku dibilang keterlaluan.”
“ Masss....!!! Aku maksudkan Gunawan, bukan mas,” suaranya pelan, sendu diujung telepon.
===================
HARI pertama masuk kantor terasa lebih segar setelah dua hari dua malam berturut-turut “nyepi”. Pesan Magda dan Susan agar segera menghubunginya sengaja kuabaikan agar pikiran lebih segar persiapan masuk kantor. Tak terkecuali, telepon Lam Hot dan Laura sejak Sabtu hingga Minggu malam kuhiraukan.

Pagi hari pertama kerja, sengaja aku berangkat ke kantor lebih awal menghindari jemputan Laura sebagaimana dilakukan sebelumnya. Hingga pukul sembilan, aku tidak melihat Laura dikantor. Neneng menanyakan kemana Laura. Tidak seperti biasanya, bila dia tidak masuk selalu memberitahukannya, hal yang sama dikatakan manager simata keranjang; “ Laura dimana?” tanyanya.
“ Kok tanya aku pak ? Aku tidak tahu dimana dia. Dua hari belakangan kami nggak ada komunikasi," jawabku.

Tak berapa lama, Adrian, dirut perusahaan tempat aku dan Laura bekerja memanggil ke ruangan kerjanya. Adrian menyuruh aku menjemput Laura dari rumahsakit. Menurutnya, Laura masuk kerumahsakit sejak Sabtu malam, sekitar pukul sepuluh malam. “ Tolong jemput Laura dari rumahsakit. Dia nggak ada jemputan,” ujarnya seraya menyerahkan kunci mobil perusahaan. Selama perjalanan menuju rumahsakit, aku sangat menyesal ketika aku memberi pesan kepada ibu kos, agar tidak membangunkanku bila ada yang menelpon, dari mana dan siapapun orangnya.

Tiba di rumahsakit, aku berjalan cepat menuju kamar tempat Laura dirawat tetapi ruangan telah kosong kecuali perawat yang sedang membenahi tempat tidur. Perawat mengatakan, Laura baru keluar sepuluh menit lalu. Aku segera mengejar kelantai dasar, juga tak ketemu. Dari kejauhan, aku melihat Laura sedang berdiri di mulut pintu selatan rumahsakit. Laura menoleh ketika kupanggil, namun dia bergegas menjauhiku. Kembali aku berteriak memanggil sembari berlari kecil menemuinya, malah dia mempercepat langkahnya kearah sisi jalan raya.

Laura kalah langkah, aku segera menarik lengannya ketika hendak masuk kedalam taksi: “ Laura, aku disuruh pak Adrian menjemputmu. Maaf, aku tak tahu kalau kamu masuk rumah sakit. Laura, Sakit apa? Kenapa nggak beritahu kalau kamu sakit, ?” tanyaku. Laura bergeming, dia hanya memandangku tanpa sepatah kata, dia menarik lengannya dari peganganku kemudian masuk kedalam taksi.


“ Laura pulang kerumah atau kerumah om Felix?” tanyaku, ketika dia dalam taksi, namun dia tetap membisu. Aku segera berlari ke mobil dan berusaha mengejarnya tetapi aku kehilangan arah, lupa pula nomor taksi yang ditumpanginya. Mobil kupacu melebihi batas kecepatan maksimum, menyalip beberapa kenderaan seperti orang kerasukan menuju tempat kostnya. Disana aku menunggu sekitar sepuluh menit namun tak kunjung datang. Akhirnya kuputuskan menemuinya ke rumah om Felix. Tiba disana, Laura sudah masuk kamar. " Mbak baru masuk," kata pembantu ketika aku tanyakan dimana Laura.

Aku minta tolong kepada pembantu rumahtangga untuk memanggilnya. Aku mengaku manager; “ Tolong panggilkan Laura, sampaikan, manager mau ketemu.” Lalu pembantu rumahtangga memanggil Laura dari depan kamar: “ Mbak, mbak...om manager yang sering datang bersama mbak mau ketemu. Mbak...mbak.!” serunya dipintu kamar Laura. Yachk..dasar pembantu, polos. Sama saja dia memberitahu kalau yang datang itu aku, bukan manager. Khawatir dia menilik dari kamarnya sebelum keluar, buru-buru aku meninggalkan ruang tamu ke teras rumah. Segera aku masuk ke ruang tamu setelah Laura diruang tamu. Laura berjalan ke dapur dan menanyakan kepada pembantu:” mbok, managernya dimana.”

“ Aku!” jawabku dari pintu ruang tamu, sementara pembantu kebingungan mendengar pertanyaan Laura.
Laura kaget mendengar suaraku. “ Sejak kapan mas jadi manager?” tanyanya sambil memutar tubuhnya kerahku.
“ Sejak kita di Yogya? Maaf Laura. Aku tak tahu kalau kamu masuk kerumah sakit. Kenapa nggak menghubungiku. Kamu marah?” tanyaku, namun dia tetap tak menggubris pertanyaanku, bahkan dia berbalik kearah kamarnya.

“ Baiklah Laura, kalau nggak mau bicara lagi denganku nggak apa-apa. Hanya saja, begitu tragisnya akhir persahabat kita yang terjalin kurang lebih lima bulan. Berakhir tanpa alasan yang jelas.” ujarku. Laura berbalik kearahku. Namun dia tetap membisu, sepasang mata menatapku dingin. Tampak dia ingin menyampaikan sesuatu, tetapi airmatanya telah mendahului. Dengan bibirnya bergetar akhirnya dia membuka mulutnya, berucap; “ Sabtu malam sebelum aku berangkat ke rumah sakit, menelepon mas berulangkali untuk minta tolong menamaniku ke rumahsakit. Tetapi ibu itu bilang, mas sudah tidur dan nggak boleh diganggu. Mas, sejak Sabtu pagi kemarin dulu tidak ada orang dirumah, om dan tante pergi keluar kota bersama anak-anak. Aku juga telepon Lam Hot tetapi nggak ada di rumah.”

“ Siapa yang mengantarkanmu ke rumah sakit,?”
“ Aku terpaksa telpon Gunawan......”
“ Terpaksa....? Jadi, Gunawan yang mengantarkanmu ke rumahssakit,?” potongku.
“ Ya mas, karena nggak ada pilihan lain. Saat itu tidak seorangpun yang mau membantuku kecuali dia,” jawabnya dengan suara tersendat.
“ Dimana Gunawan? Kenapa bukan dia yang jemput.?” tanyaku sambil beranjak hendak pulang.

Tiba-tiba pembantu menyelah pembicaraan kami; ” Maaf mbak. Tadi kelupaan. Om Gunawan telepon, dia nggak bisa jemput mbak dari rumahsakit. Katanya, om itu kurang tidur selama jaga dirumah sakit.” Mendengar pesan Gunawan yang disampaikan pembantu kepada Laura, entah kenapa "antena" ku seperti korselet, lantas aku permisi pulang.

Masih dengan suara tersendat, Laura berusaha menahanku," Mas, jangan pulang dulu. Temanin aku, sebentar om Felix dan tante kembali," pintanya. Dia terus menghalangiku ketika hendak keluar dari rumah.
" Aku mau kembali ke kantor," ucapku sambil menepis tangannya.
" Tunggu sebentar lagi mas," mohonnya. " Ntar, aku telepon om Adrian," lanjutnya memelas.
" Kenapa nggak kamu telpon Gunawan,?" ujarku lalu meninggalkannya.
" Mas...jangan pergi dulu......!?" panggilnya ketika aku terus melangkah ke mobil.(Bersambung)

Los Angeles, August 2009


Tan Zung
Magdalena & Dosenku “Pacarku “: http://tanzung.blogspot.com/